CakNun.com
Daur 1296

Makrifat Kecil

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 2 menit
Tahqiq“...Mungkin karena perjalanan batin manusia selalu memerlukan peningkatan dan pendalaman rahasia. Memerlukan yang baru dari yang lama. Membutuhkan pagi sesudah gelapnya malam.....”

“Apa yang lucu, Tul”, Sundusin sekarang yang bertanya. “apakah baik itu lucu, apakah mulia itu menggelikan, dan apakah indah itu layak menerbitkan tertawa?”

“Saya sedang GR, Pakde”, jawab Jitul, “yang kita alami ini rasanya seperti adegan Nabi Musa dengan Nabi Khidlir….”.

“Bukan GR, Tul”, Ndusin merespons, “Tuhan memperkenankan kepada kita untuk mencicipi momentum semacam itu. Sebuah makrifat kecil. Satu dlouq, ketersentuhan sesaat, ngeng, atau apapun namanya. Mungkin pada tingkat kerdil saja, karena kapasitas dan maqam kita di kerendahan, tetapi tetap rasa makrifat”.

“Makrifat bagaimana maksudnya, Pakde”, Seger bertanya.

“Kita sedang disentuh atau dicampakkan dan terhanyut oleh suatu gelombang, entah apa. Mungkin muatannya adalah kebodohan, tetapi tetap itu suatu kebaikan, karena kita sangat bersungguh-sungguh merenungi kehidupan…”, jawab Sundusin.

“Mungkin tidak ada buah manfaat apapun yang kita hasilkan, tetapi minimal bagi diri kita sendiri ini semua tetap merupakan kemuliaan, karena kita mempersembahkan seluruh diri kita untuk menyelami hakiki-hakiki kehidupan”, Brakodin menambahkan.

“Mungkin konyol, seperti sia-sia, dan sangat bisa disebut mubadzir, tetapi tetap mulia, karena kita semua tekun dan telaten merawat makna-makna hidup, meskipun yang mendengarkan dan mempedulikan hanya kesunyian”, Tarmihim melengkapi.

“Ah, agak lebai, Pakde”, Jitul protes.

“Bukan lebai, Tul, menurut saya itu melankolik”, Toling membantah Jitul.

“Romantik”, kata Seger.

“Maksud kalian ungkapan Pakde Tarmihim yang terakhir tadi?”, Junit bertanya.

“Ya”, Toling Seger Jitul menjawab serempak.

“Menurut saya, mungkin sedikit lebai dan melankolik, mungkin juga romantik, tetapi keseluruhannya adalah kekhusyukan terhadap kehidupan yang dianugerahkan oleh Tuhan”

“Itu juga agak lebai”, kata Toling.

“Kok lebai?”, Junit mempertahankan diri, “Bukankah memang demikian yang sedang kita alami?”

“Memang benar demikian”, kata Jitul, “tapi maksud Toling kenyataan dan pengalaman ini tidak perlu didramatisir”

“Itu soal ukuran rasa”, Tarmihim mencoba menengahi, “ada bagian dari kehidupan yang perlu kita rumuskan dan ungkapkan. Ada sesuatu dalam kehidupan yang tak perlu dirumuskan, cukup dialami dan disadari. Bahkan ada nuansa lain dari kehidupan yang kita tidak perlu memperlakukannya dengan kesadaran, rumusan atau pernyataan. Cukup mengalami saja dan menikmatinya diam-diam”

Jitul tertawa. “Kalimat Pakde Tarmihim tadi bahwa kita semua tekun dan telaten merawat makna-makna hidup, meskipun yang mendengarkan dan mempedulikan hanya kesunyian – itu sebenarnya cukup kita alami saja diam-diam di wilayah rahasia batin kita…”

“Itu juga melankolik, Tul”, Toling memotong.

“Kok gitu itu melankolik?”, Jitul tidak terima.

“Setiap orang pasti mengetahui itu”, jawab Toling, “tidak perlu dijelas-jelaskan….”

“Sekali lagi itu soal ukuran rasa”, Tarmihim menengahi lagi, “Jitul dan saya sendiri mengungkapkan apa yang menurut Toling tidak perlu diungkap-ungkap. Tetapi mungkin ada saat di mana suatu rahasia perlu dibabar atau dikuakkan, dengan risiko ia batal sebagai rahasia. Kenapa dibiarkan batal? Mungkin karena perjalanan batin manusia selalu memerlukan peningkatan dan pendalaman rahasia. Memerlukan yang baru dari yang lama. Membutuhkan pagi sesudah gelapnya malam. Supaya sepanjang siang ia merindukan senja dan kemudian menggelamkan diri kembali di kelamnya malam. Karena selalu saja di setiap tahap kita menantikan pagi yang baru. Merindukan matahari terbit kembali….”

Brakodin yang kemudian tertawa terkekeh-kekeh.

“Saya tahu sebenarnya Toling akan mengatakan bahwa ungkapan panjangmu itu sangat-sangat lebai, Him”, katanya, “cuma dia merasa nggak enak mengungkapkan….”

“Ah nggak bener, Pakde Tarmihim”, kata Toling.

“Jangan sampai kita orang-orang tua dipinteri dan diakali oleh anak-anak muda”, Brakodin membantah lagi, “mereka ini sudah semakin piawai mengendarai gelombang, mengelola getaran dan menelusuri aliran. Tidak penting lebai atau tidak, benar atau salah, bermanfaat bagi dunia dan manusia atau tidak. Yang utama adalah bahwa anak-anak muda ini sudah belajar tidak berputus asa untuk bertafakur….”

Lainnya

“M” FRUSTRASI Setengah Abad Kemudian

“M” FRUSTRASI
Setengah Abad Kemudian

Ternyata judul “M Frustrasi” diam-diam merupakan ramalan atas nasib saya sendiri. Hari-hari sekarang ini adalah puncak frustrasi yang saya alami di senjahari usia 69 tahun saya.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib

Pancasila

Topik