CakNun.com
Catatan Mocopat Syafaat Maret 2016

Maiyah: La Roiba Menjalani Ketentuan Allah

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 8 menit

“Mbak Dewi Islami yang dipanggil Allah menjelang melahirkan, maka tidak ada kata semoga, melainkan kontan masuk surga, itulah pesan Cak Nun saat menjelang pemakaman Ahad kemarin. Maka malam ini kita mendoakan semoga di sorga, almarhumah ditempatkan seruangan dengan ibunda Siti Maryam dan Siti Hawa.” Mocopat Syafaat 17 Maret 2016 dibuka dengan pembacaan tahlil untuk almarhumah Mbak Dewi Islami (istri Mas Islamiyanto) dipimpin oleh Mas Imam Fatawi dan Mas Niam.

Selepas Tahlilan dan beberapa shalawatan, Mas Hariyanto memandu segmen awal dan mengajak semua jamaah menyimak sejumlah perwakilan simpul Maiyah berbagi cerita tentang bagimana Maiyahan mereka jalankan di tempat masing-masing. Di antaranya simpul JS, MQ, NM, Sragen, Gunungkidul, dan Wonosobo.

Jamaah Mocopat Syafaat membludak
Jamaah membludak. Foto: Adin.

Pukul 23.00 Cak Nun didampingi Dokter Eddot, Pak Mustofa W, Hasyim, Mas Baim dari Kenduri Cinta Jakarta, dan Mas Tyas Jamparing Asih Bandung. “Jangan khawatir tentang jalan keluar. Jalan keluar itu ada, tetapi kita jangan mengatakan atau mengharuskan jalan keluarnya harus begini,” pesan Cak Nun di awal.

Seperti pada bulan-bulan sebelumnya selama hampir 20 tahun, jamaah Mocopat Syafaat sangat membludak dan nyaris tak tertampung di tempat-tempat yang ada. Tak terkecuali anak-anak kecil yang diajak oleh orangtua mereka.

Cak Nun menuturkan kembali kesaksian dan pandangannya mengenai sosok Mbak Dewi Islami sebagaimana beliau sampaikan saat mengantarkan jenazah Mbak Dewi. Ditambahkan pula, ayat irji’i ila robbiki rodhiyattan mardhiyyah mengandung ilmu, kita jangan sibuk meminta ridho Allah, sebab yang terpenting kita yang ridho dulu, kita harus men-setup diri kita agar ridho dengan apa yang Allah berikan, nanti kalau kita ridho, Allah pasti akan meridhoi. Rodhiyatan mardhiyyah.

Pelan-pelan Cak Nun mengantarkan kepada muatan-muatan yang menggedor kembali kemapanan. “Kita ini saking miskinnya, sehingga ada sedikit saja yang baik dilakukan orang, kita langsung menyebutnya prestasi. Padahal itu sesuatu yang semestinya dilakukan, tak ada kaitannya dengan prestasi,” kata Cak Nun. Lalu diceritakan bagaimana Cak Nun dan Sabrang bisa sampai di Hajar Aswad di tengah arus orang-orang yang thawaf yang sangat besar tanpa bersenggolan dengan mereka. Sangat mudah sampai ke Hajar Aswad. “Tapi jangan bilang itu prestasi. Allah bisa memberikan sesuatu itu kepada orang yang paling lemah atau tak punya kekuatan apapun.”

Cak Nun tak lupa mengingatkan jamaah, bahwa di Maiyah ini kita harus terus belajar, belajar mengetahui mana akar mana pohon, dahan ranting dan buah. Yang dilakukan Maiyah adalah menanam biji, bukan buah.

Parkir motor dan jalan-jalan pun penuh.
Parkir motor dan jalan-jalan pun penuh. Foto: Adin.

Lebih jauh, jamaah diminta untuk memaksimal kebersamaannya di hadapan Allah, dan hendaknya tidak mengandalkan cinta yang tak awet. Cinta seorang lelaki/suami kepada wanita/istri bisa tidak awet. Tetapi cinta kepada Allah itu abadi. Ia bukan cinta yang cengeng, seperti yang mungkin terjadi antara suami-istri.

Dari beberapa poin ini, sejenak kemudian Cak Nun membawa semua jamaah masuk ke dalam diri melalui shalawatan bareng-bareng Da‘uni Da‘uni. Dan sekarang suasana beralih ke kegembiraan. Mas Alay Nugraha, road manajer KiaiKanjeng diminta membawakan lagu Marhaban Ya Nurol ‘Aini. Disusul selanjutnya nomor Kunanti-nanti dari Album Dangdut Kesejukan KiaiKanjeng dan dibawakan malam ini oleh Mas Imam Fatawi. Bagi jamaah Maiyah yang sudah lama mengikuti Maiyahan, sangat terasa bagaimana Maiyahan diatur iramanya berdasarkan naluri dan sifat manusia. Ada saatnya berpikir, ada saatnya berkeindahan, ada saat sublim-merenung dan khusyuk.

***

Mocopat Syafaat adalah juga rumah KiaiKanjeng. Sejak Mocopat awal digelar pada Juni 1999 di Aula yang sekarang menjadi Aula TKIT Alhamdulillah hingga saat ini tahun 2016, KiaiKanjeng sangat setia hadir dan membersamai keindahan bersama para Jamaah. KiaiKanjeng mengalami pelbagai dinamika Mocopat dari tahun ke tahun. Termasuk mengalami dan melihat bergenerasinya jamaah yang hadir sejak awal hingga saat ini. KiaiKanjeng menyaksikan wajah-wajah yang datang, yang sudah lama maupun yang baru-baru atau yang muda.

Kejujuran, kedewasaan, keluasaan, dan saling mengamankan.
Kejujuran, kedewasaan, keluasaan, dan saling mengamankan. Foto: Adin.

Pergerakan, pengolahan, dan persentuhan-persentuhan Cak Nun dengan masyarakat sudah sangat lama berlangsung. Seperti diceritakan Mas Andityas dari Majelis Ilmu Maiyah Jamparing Asih. Sebelum JA ada, dulu Cak Nun sudah menyemaikan benih-benih Maiyah di Bandung pada tahun 99-an melalui forum yang bernama Tali Kaasih. Bahkan lebih jauh lagi, dulu Cak Nun sangat aktif berinteraksi dan berkreativitas memacu para mahasiswa ITB di Masjid Salman.

Persebaran jamaah Mocopat Syafaat sangat beragam dari sisi usia. Ada yang sudah sepuh, ada sudah paruh baya, ada yg kelahiran tahun 80-an, dan sangat banyak yg saat ini hadir adalah anak-anak muda kelahiran pertengahan 90-an. Mereka datang dari pelbagai kota. Juga ada remaja-remaja pLettonic yang setia hadir di MS.

Ngaji di Mocopat Syafaat sangat enak. Tidak ada peraturan yang gimana-gimana. Yang diandalkan adalah kejujuran, kedewasaan, keluasaan, dan saling mengamankan. Di mana mereka harus duduk pun bebas. Nggak kebagian tempat di depan panggung pun bisa menikmati di halaman TKIT, bahkan ada yang duduk di ayunan, dan tertidur di atas lantai tak beralas apapun. Tetapi dalam semua situasi itu, para jamaah penuh perhatian mengikuti ilmu-ilmu yang dibagikan oleh Cak Nun dan narasumber lainnya.

Dalam suasana seperti itu pula mereka mencerna bagaimana Cak Nun menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dan menggunakan terminologi/konsep fikih, misalnya, untuk proyeksi pengamalan pada bidang kehidupan yang seluas-luasnya. Sebagai contoh, Allah menggambarkan dalam al-Qur`an surat Ibrahim ayat 24-25, pohon yang baik adalah yang akarnya menghunjam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit. Yang demikian itu juga berlaku misalnya dalam ekonomi. Dagang yang baik pun bisa dipahami dengan ayat ini.

Jika di tempat lain, mungkin anda ditekan dan ‘dimatikan‘, maka di Maiyah anda dikondisikan untuk membangkitkan apa-apa yang ada di dalam dirimu, kedaulatan, kreativitas, dan kecerdasanmu. Begitulah Cak Nun menggambarkan salah satu esensi pendidikan yang berlangsung di dalam Maiyah dalam caranya yang khas dan unik.

Mustofa W.H, Sabrang dan Imam Fatawi
Mustofa W.H, Sabrang dan Imam Fatawi. Foto: Adin.

Kembali ke soal pohon tadi, Cak Nun meminta jamaah untuk benar-benar belajar mengenai perkawinan antara biji dan tanah, dan itu berlaku untuk konteks yang luas.

***

Kerinduan pada seseorang bisa sedikit diobati dengan cara menghadirkan kembali apa yang dulu suka dibawakan oleh orang yang kita rindu. Rindu dan kangen kepada almarhum Mas Zainul Arifin malam diungkapkan lewat nomor dangdut kesejukan Rindu Wajahmu yang dulu dibawakan Mas Zainul dan malam ini dinyanyikan oleh Mas Imam Fatawi.

Dalam konteks Maiyah, pelok atau biji adalah bagaimana embrio terbentuknya Maiyah itu sendiri. Mengajak Jamaah mengenal pelok Maiyah, Cak Nun meminta dokter Eddot bercerita bagaimana awal terbentuknya Padhangmbulan, dan perkembangan-perkembangannya pada tahun-tahun selanjutnya. Dokter Eddot termasuk salah satu orang yang ikut serta dalam proses lahirnya Padhangmbulan di Jombang. Pada masa-masa itu, Dokter Eddot sangat sering datang dari Jogja ke Jombang untuk Padhangmbulan. Dalam proses lahirnya Mocopat Syafaat pun Dokter Eddot turut serta mengikuti tahap-tahap terbentuk dan fase-fase awalnya, bahkan hingga malam ini. “Semoga begitu banyaknya jamaah ini bukanlah buih, melainkan padatan-padatan seperti yang Cak Nun ceritakan tadi…,” kata Dokter Eddot.

Sudah seperti naturalnya, Maiyah berlangsung antara 7-8 jam. Sebuah durasi yang sangat panjang, tetapi ternyata stamina jamaah sudah terlatih untuk bertahan penuh konsentrasi hingga sekian jam itu. Untung pula, suasananya sangat enak dan rileks. Yang mau makan minum pun bisa beli di warung-warung. Pun KiaiKanjeng menjelang jam dua dini hari, sementara di panggung masih berlangsung diskusi, beberapa di antara mereka menyempatkan diri rehat sejenak untuk makan di dalam rumah, untuk nantinya kembali lagi dan menuntaskan hingga indal qiyam dan doa penutup.

Cak Nun (Emha Ainun Nadjib)
Cak Nun. Foto: Adin.

Bergulir saling berkait, Cak Nun menanggapi-meneruskan apa yang diceritakan dokter Eddot dengan menggambarkan lingkungan di mana pelok Maiyah itu ditandur, yaitu sosiopsikologi orang Menturo atau Jombang. Mereka adalah orang-orang yang tidak gampang kagum pada siapapun. Berbicara tanpa ada kompleks psikologi yang macam-macam. Karena itu, Cak Nun mengawali Padhangmbulan dulu dengan semangat tidak berani GR karena orang-orang itu tidak gampang kagum. Mereka berhati telanjang. Cerita tentang sejarah sosiologi masyarakat Jombang ini sampai pula pada penjelasan mengenai sejarah berdirinya Kabupaten Jombang dan berdirinya NU.

***

Maiyah adalah juga sebuah wadah, tapi bukan sembarang wadah. Yang diwadahinya adalah keluas-ragaman manusia sampai pada tingkat yang mungkin dunia modern tidak membayangkannya. Pak Mus yang groyok dan tak jelas artikulasinya sudah bertahun-tahun membaca puisi di sini. Cara bacanya pun aneh-aneh. Baca puisi dengan pengucapan yang tak jelas itu suka diselingi dengan lagu yang jenaka dibawakannya. Seperti malam ini, Ia nyanyikan lagu Balonku Ada Lima. Seorang lelaki yang sudah memasuki usia 60 tahun di depan umum menyanyikan lagu anak-anak itu. Lalu baca puisi dengan setiap bait dikomentarinya sendiri. Semua jamaah tertawa dibuatnya. Tapi mungkin tak sepenuhnya paham. Buktinya pada saling kroscek ke kanan-kirinya tentang apa tadi yang dikatakannya. Temannya yang ditanya pun tak selalu berhasil menangkap dengan utuh. Tetapi semua itu tak penting. Sebab semua sudah menjelma keindahan dan kegembiran. Itulah penyair rusak-rusakan Mustofa W. Hasyim.

Kegembiraan itu kini disambung dengan satu nomor musik Melayu dari M. Mashabi Untukmu Bungaku dibawakan Mas Imam Fatawi. Terlihat para jamaah menggerakan sedikit badan atau kepalanya. Lewat nomor-nomor musik KiaiKanjeng, satu sama lain tanpa disadari jamaah dikondisikan senang melihat orang lain atau saudaranya senang. Senang dalam kebersamaan.

Selepas Pak Mustofa W Hasyim, Sabrang mendapatkan giliran. Ia pun bercerita pernah pentas bersama Letto di Jombang dan menghadapi salah satu audiens yang aneh. Sabrang lalu bercerita mengenai warisan Syaikhona Kholil kepada Kiai Imam Zahid kakeknya Cak Nun. Satu versi mengatakan beliau mendapatkan warisan cincin, tetapi versi lainnya mengatakan beliau mendapatkan warisan berupa tikar. Dalam pandangan Sabrang, itu berarti Maiyah adalah sebuah tikar di mana banyak orang berdiri di atasnya. Ia menampung banyak orang. Ia menampung banyak kebenaran-kebenaran. Ia menampung, dan karena ia adalah tikar ia tidak ikut perlombaan dalam kebenaran. Dan itulah sifat ilmu Maiyah, mewadahi kebenaran dalam pendekatan yang arif dan bijaksana.

Mocopat Syafaat juga rumah KiaiKanjeng
Mocopat Syafaat juga rumah KiaiKanjeng. Foto: Adin.

Meneruskan ihwal warisan dan sosok Syaikhona Kholil Bangkalan Madura, Kiai Muzammil bercerita tentang bagaimana Syaikhona Kholil menuntun dan membimbing lahirnya NU. Wasilah pesan yang disampaikan kepada KH Hasyim Asy‘ari adalah sebuah tongkat yang disertai dengan ayat mengenai tongkat Nabi Musa. Sebuah isyarat yang menunjukkan bahwa NU semestinya berperan sebagai tongkat Musa di dalam perjalanan sejarahnya di Indonesia dan dunia.

Kiai Muzammil sempat menjelaskan perbedaan antara kiai dan ulama. Kiai adalah sebutan budaya dari sesama manusia. Begitu disebut kiai, biasanya langsung jadi kiai. Tetapi tidak demikian halnya dengan ulama. Yang menentukan seseorang ulama adalah Allah. Allahlah yang melantik seorang ulama. Yai Muzammil menyitir ayat al-Quran: Innama yakhsyallahu min ‘ibadihil ulama-u (al-Quran surat Fathir ayat 28).

Dari yang disampaikan Mas Sabrang dan Yai Muzammil, Cak Nun memproyeksikan ke hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh Jamaah Maiyah. Misalnya, jangan pernah berpikir untuk membesarkan Maiyah, sebab tujuan Maiyah adalah mengantarkan jamaah menjadi manusia-manusia yang bermanfaat.

Selain itu, Cak Nun mengingatkan pula bahwa Allah sangat memiliki dan membikin begitu banyak kemungkinan yang melampui linieritas-linieritas yang dibayangkan manusia.

***

“Ada pada sejarah hidupku”, begitu tulis Cak Nun di dalam salah satu Daur. Dan di bagian akhir Mocopat Syafaat ini Cak Nun banyak bercerita mengenai apa yang dialaminya, mulai disantet orang dan Allah memberi kesembuhan, hingga peristiwa Cak Nun di Gontor menuding salah satu anak Presiden kala itu, dan tidak terjadi akibat apa-apa sebagaimana mungkin dibayangkan orang. “Itu semua bukan gimana-gimana, saya hanya menjalankan ‘tulisan’ Allah,” tutur Cak Nun.

Terakhir Cak Nun berpesan kepada Jamaah Maiyah, “Kalian jangan pulang dari sini lalu bertanya ‘aku dapat apa ya’. Kalian meneng atau diam saja…nanti suatu saat kalian baru sadar bahwa ada yang masuk ke dalam dirimu. Ilmu di Maiyah bersifat acak dan random.”

Tepat pukul 04.00 pagi menjelang subuh, Mocopat Syafaat memasuki penghujung akhir. Cak Nun meminta jamaah bareng-bareng menembangkan nomor Duh Gusti diiringi KiaiKanjeng. Semua jamaah menata posisi dan mengikuti secara lebih khusyuk. Di dalam nomor ini Cak Nun melantunkan adzan. Seluruh jamaah meresapi rasa dan butiran-butiran rohaniah dari suasana khidmat yang muncul dari kerendahan hati dan sikap memohon petunjuk kepada Allah agar dihindarkan dari jalan orang-orang dimurkai Allah. Seluruh hadirin kemudian berdiri, dan berdoa bersama dipimpin Kiai Muzammil.

Lainnya