CakNun.com
Catatan Tadabburan Ponpes Al-Ibrohimy

Maiyah Jembar Ati

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 7 menit

Usai jeda sehari dalam rangkaian perjalanan di Jawa Timur ini, malam ini Cak Nun dan KiaiKanjeng berada di Desa Sumberwaru Wringinanom Gresik untuk kembali Tadabburan bersama masyarakat. Penyelenggara Tadabburan ini adalah Pondok Pesantren Al-Ibrohimy. Acara dilangsungkan di depan halaman masjid kampung yang berada di kawasan bawah jalan tol Surabaya-Mojokerto.

Selain memiliki santri yang mondok, Pesantren Al-Ibrohimy memiliki santri yang sangat banyak yang kebanyakan adalah orang-orang yang pernah menjadi pengguna narkoba, preman, atau anak-anak jalanan, sehingga pesantren ini berfungsi sebagai pusat rehabilitasi buat mereka. Pesantren ini juga merupakan pusat jam’iyah Shalawat Ibrohimiyah dengan anggota atau orang-orang yang rutin mengikuti majelisnya berasal dari Gresik, Mojokerto, dan Surabaya.

Tadabburan malam ini diselenggarakan dalam rangka memeringati Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw sekaligus puncak peringatan Harlah Ke-6 Jam’iyah Shalawat Ibrohimiyah, dan Khaul pendiri Pesantren ini KH. Khoirurrozi dan H. Syamsuddin.

20160524-ibrohimiy-03
Foto: Jamal.

Semenjak tiba di lokasi pada pukul 19.00, KiaiKanjeng  disambut suasana khas pengajian di kampung atau desa-desa. Di pinggir-pinggir jalan, berjejer para pedagang kecil yang menjajakan berbagai aneka jualan. Ada makanan ringan dan minuman, mainan anak — anak, pakaian, odong-odong, dan macam-macam lainnya. Pasukan Banser serta panitia yang mengenakan baju hitam-hitam dan rata-rata berambut gondrong sibuk menyambut dan melayani kedatangan KiaiKanjeng.

Lokasi acara sudah dipenuhi oleh hadirin menjelang pukul 19.45, dan dari panggung tampak mayoritas adalah ibu-ibu. Mereka mendominasi bagian depan dan sangat antusias menanti kedatangan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Sementara bapak-bapak tersebar di pelbagai titik, pinggir jalan, depan-depan halaman rumah, serta di kanan kiri panggung. Di area terluar, disediakan layar bagi para jamaah yang tak tertampung di lokasi utama.

Tidak seperti desain backdrop Tadabburan biasanya yang kontemporer, teks, foto, dan khas shalawat Ibrahimiyah yang melatari panggung di-frame dengan desain arabesque. Demikian pula dengan yang di luar kotaknya. Ornamennya mengingatkan pada desain khas klasik dan sering ditemui di pesantren-pesantren pada tiga dekade silam.

KiaiKanjeng datang lebih dulu, dan saat naik panggung, Mbak Nia dan Mbak Yuli memimpin interaksi awal dengan jamaah. Para ibu-ibu dan seluruh hadirin yang latar belakangnya Nahdhiyyin diajak melantunkan Shalawat Badar. Di antaranya aransemen yang dibuat KiaiKanjeng dan tergabung dalam album Menyorong Rembulan. Salah satu album KiaiKanjeng yang sangat “magis” dan menggetarkan hati. Di hotel tempat KiaiKanjeng menginap, pengelola hotel siang tadi menyetel album KiaiKanjeng ini.

Dua puluh menit kemudian Cak Nun datang, dan dikawal Mas Alay dan pasukan pengamanan berjalan membelah jamaah. Mas Alay meminta tidak mensterilkan Cak Nun dari jamaah. Cak Nun tetap menerima orang-orang yang hendak menyalaminya, tetapi dengan tetap berjalan menuju rumah transit atau saat menuju panggung. Dalam Maiyahan, satgas diminta bertugas merapikan dan melancarkan salaman itu. Jamaah bisa menyalami Cak Nun dan Cak Nun tetap lancar berjalan menuju panggung. Jangan sampai satgas, Banser, atau siapapun yang mengawal  menghalangi jamaah untuk menyalami Cak Nun sebab Cak Nun pun ingin juga mengekspresikan kedekatan hati dan cintanya kepada mereka.

Selama berjalan melewati para jamaah, Cak Nun agak menunduk memandang mereka sembari kedua telapak tangannya bersetangkup sejajar dengan dadanya memberi tanda hormat kepada para ibu-ibu, bapak-bapak, dan semua hadirin yang sudah duduk menunggu kedatangannya. Senyumnya tak berhenti terulas membahasakan rasa gembira bisa bertemu mereka.

Inilah salah satu dekonstruksi Cak Nun. Saat naik ke panggung, beliau langsung mengajak para sesepuh, kiai, atau para narasumber atau siapa-siapa yang relevan untuk naik. Sebab Cak Nun tak hendak ceramah (apalagi sendirian) melainkan bareng-bareng menciptakan kebersamaan dan jika perlu berdiskusi akan coba dijawab atau diolah bersama-sama. Maiyahan dapat dibaca sebagai dekonstruksi atas pola-pola pengajian yang baku selama ini. Dengan cara ini, kebersamaan dan ajur-ajer dapat benar-benar dirasakan, batas-batas yang selama ini menjadi jarak antara masyarakat dengan pemukanya bisa dilebur, dan pelbagai kebutuhan sosial manusiawi bisa terpenuhi pula.

Salamun qaulan min robbir rokhim wamtazul yauma ayyuhal mujrimun...,” buka Cak Nun dan kemudian mengungkapkan pujiannya kepada banyaknya ibu-ibu yang hadir. “Ibu-ibu luwih akeh mbangane bapak-bapak. Sumringah kabeh. Seneng. Sregep nyambut gawe. Wiraswasta. Ubet. Gemi nastiti. Upomo ora ono wong lanang yo apik…hehehe…,” sapa Cak Nun dalam bahasa Jawa penuh apresiasi dan langsung disambut senyum dan tawa mereka.

Pelan-pelan Cak Nun berbicara kepada jamaah, menggambarkan ideologi KiaiKanjeng, memperkenalkan wujud-wujud kerjasama, sedikit menggoda logika dalam memahami Isra’ dan Mikra’, al-mutahabbina fillah, dan filosofi dari Sunan Kalijogo. “Orong-orong Sunan Kalijogo. Tidak ada orang sakti. Tidak ada orang kuat. Tidak ada orang kuasa. Sesungguhnya yang punya kekuatan adalah Allah. Sambungkanlah pikiran dan hatimu, hatimu dan pikiranmu. Jangan ke bawah. Jodohnya hati adalah pikiran.”

Foto: Jamal.
Foto: Jamal.

Sesudah obrolan yang akrab dan respons yang tak kalah akrabnya dari jamaah, Cak Nun membawa untuk beberapa waktu berikutnya untuk bershalawat. Beliau baca pembukaan Maulid Simthut Duror. Transisi dari maulid ini menuju beberapa nomor shalawat beliau antarkan dengan suluk yang indah: Ya rasulallah ya syafi’ana ya habiballah ji’na lizziyaroh qaashidiina. Duhai utusan Allah, duhai pensyafaat kami, duhai kekasih Allah, kami datang berziyaroh penuh dengan harapan. Sesudah itu jamaah diajak melantunkan shalawat yang sudah akrab bagi mereka: Shalli wa sallimda dan Sidnan Nabi.

Dengan beberapa shalawat tadi, Cak Nun kemudian menegaskan bahwa beliau ingin bahwa di dalam hidup ini sebaiknya bersaudara, bersedulur, bukan mencari musuh. “Saya maunya sedulur….” Jamaah menyimak dengan penuh perhatian, meskipun juga lega bisa tertawa lepas setiap kali Cak Nun melontarkan logika yang mengagetkan dan lucu. Ternyata kedekatan dan perseduluran bisa dengan lembut memasuki pori-pori jamaah dan masuk ke dalam hati melalui cara yang sederhana tetapi berlandaskan rasa murni dan hati yang siap menerima. Mas Imam Fatawi lalu diminta menghadirkan sebuah nomor campursari Ojo Lamis karya maestro dan trendsetter Campursari (alm) Manthous. Bapak-bapak terlihat ikut bernyanyi, juga ibu-ibu. Lagu ini kemudian dipadukan dengan Everything I Do, I Do It For You Bryan Adams yang dibawakan oleh Mas Donni. Dua perpaduan lagu Jawa dan Barat yang menggambarkan kelenturan manusiaa Jawa dan Nusantara. Seperti pada rearansemen dua lagu tadi, masuk ke nuansa Barat dengan halus dan tak terasa, dan membuktikan tingkat keterampilan dan kecanggihan mereka sebagai bangsa. Itulah sebabnya manusia nusantara “dibunuh” sejak abad ke-14.

Tak terasa waktu sudah bergulir ke angka 00.30. Jamaah dari depan hingga belakang jauh tetap pada posisinya. Berbagai ekspresi terkeluarkan dalam Tadabburan. Kekhusyukan, egalitarianisme jamaah kepada Cak Nun dan sebaliknya, keikutsertaan bernyanyi, senyum dan tawa yang lepas: tak hanya ibu-ibu yang sebagian sambil menggendong anaknya, atau bapak-bapak sepuh yang duduk di jalan, para narasumber di panggung, atau santri-santri muda, bahkan pun dari kameramen yang mendokumentasikan acara ini. Juga ekspresi ndomblong dan terpaku menyimak uraian dari Cak Nun.

Sebelum itu, Cak Nun sudah membuka kesempatan tanya jawab dan sebagian pertanyaan berkisar soal Isra’ dan Mikra’ Nabi Muhammad — mulai bagaimana gambaran dialog Nabi Muhammad dengan Nabi Musa saat Mi’kraj apakah ruh dan jasad ataukah ruh saja, bagaimana menggambarkan Buraq kendaraan Nabi saat Isra’ Mi’raj kepada anak-anak sekolah di zaman sekarang, bagaimana memahami shalat mengapa begitu penting dan mendasar serta bagaimana memahami shalat dengan logika, apa yang dimaksud memayu hayuning bawono, hingga bagaimana meyakinkan orang lain yang bukan Islam misalnya bahwa Isra’ dan Mi’raj itu benar.

Kiai Muzammil yang malam ini hadir diminta ikut memberikan jawaban. Dikemukakannya beberapa versi pendapat ulama. Ada yang mengatakan ruh saja, ada pula yang mengatakan ruh dan jasad. Kiai Muzammil sendiri cenderung pada ruh dan jasad karena Nabi Muhammad adalah imam para Nabi dan Rasul. Kemudian Kiai Muzammil menguraikan mi’raj kaum muslimin yang semuanya bergantung pada tingkat spiritualitas masing-masing.

Sementara itu keluar dari mainstream pertanyaan, Cak Nun membawa pada cara melihat yang baru. “Pertanyaannya yang tidak tepat, karena masih ada ‘ruh’ dan ‘jasad’, masih ada ini ruh ini jasad, masih ada dua hal, dan itu adalah sekularisasi. Perhatikanlah air yang menguap dan air yang membeku atau menjadi es. Di situlah ada transformasi dan deformasi. Jadi ruh dan jasad itu bukan dua hal, melainkan satu garis kondisi transformasi.”

Kemudian lebih gamblang Cak Nun memberikan contoh implementasi dalam kehidupan sendiri. Kalau kita punya uang, harta, atau kekuasaan, kita rohanikan dengan cara digunakan untuk kebaikan. Ia menjadi bernilai ‘ruhani’. “Yang sampai ke Allah adalah nilainya. Itulah satu bentuk Isra’ Mi’raj.”

Hal lain yang dituturkan Cak Nun berkaitan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad adalah kecepatan kalah dengan momentum (sa-atan). Yang dialami Nabi lebih dari sekadar kecepatan melainkan momentum.

Sedangkan untuk pertanyaan mengenai shalat, Cak Nun mengajak jamaah untuk melakukan shalat bukan karena kewajiban atau laksana membayar pajak, tetapi karena “butuh”. Seandainya tidak diwajibkan pun kita tetap shalat. “Jadi, nggak enak ah, mosok nggak shalat.”

Setelah beberapa jawaban itu, jamaah diajak beralih masuk ke dalam rasa melalui nomor Tombo Ati. Dimulai dari versi Minang yang dibawakan oleh Cak Nun sendiri. Kemudian versi-versi daerah lain. Puncaknya adalah versi Jawa Timur sebagaimana dalam album Kado Muhammad. Pada versi ini semua jamaah khusyuk mengikuti melantunkan Tombo Ati ini.

Sejenak kemudian mereka diingatkan akan kejawatimurannya, akan etos kepahlawanannya. Ada saat ketika Jawa disebut itu maksudnya adalah Jawa Timur. “Kalau Solo-Jogja itu belum lama. Sebelumnya adalah Demak, sebelum Demak asalah Majapahit, sebelum itu adalah Gresik…,” ujar Cak Nun mengingatkan urutan sejarah.

Foto: Gandhi.
Foto: Gandhi.

Berbagai pesan-pesan ringkas terselip dalam setiap pembicaraan Cak Nun di dalam merespons atau mengawal lagu-lagu, mulai dari soal arti imsak (gandolono nafsumu), hidup itu kata kerja, kesadaran nge-rem, nyawiji, hingga dunia (donya) harus ditumbuk. Terakhir Cak Nun merespons pertanyaan tentang bagaimanakah meyakinkan orang lain untuk percaya kepada kebenaran Isra’ Mi’raj, “Pertanyaan yang sama sebenarnya berlaku ketika anda jualan, bagaimana meyakinkan pembeli bahwa dagangan kita itu baik, juga dalam hal-hal lain. Maka sering-sering baca dan mewiridkan ‘alaikad da’wah wa ‘alainal balagh ‘alaikad da’wah wa ‘alaina balagh. Intinya, pokoknya kerjakan upaya-upaya nanti Allah yang akan menyampaikannya.”

Tadabburan malam ini kemudian dipuncaki dengan shalawat ‘Indal Qiyam. Selepas itu, seperti biasa, para jamaah satu per satu bersalaman dengan Cak Nun, para kiai dan narasumber yang mengikuti acara hingga tuntas. Sementara proses salaman berlangsung, ibu-ibu pulang duluan terutama yang membawa anak-anak mereka. KiaiKanjeng mengiringi kemesraan itu dengan nomor Ya Rasulallah Salamun ‘alaik, dilanjutkan dua lagu Sing Jembar Atine dan Aku Wis Kondo.

Saat kepulangan itu, terlihat dua bis besar yang membawa jamaah yang mungkin datang dari luar kota. Juga serombongan adik-adik putri berseragam. Mereka semua adalah bagian dari jamaah yang sangat setia mengikuti Tadabburan hingga tuntas. Para jamaah Maiyah atau siapa saja yang datang ke Maiyahan dilatih oleh Cak Nun untuk setia pada kesepakatan. Jika sepakat selesai jam satu misalnya maka semua harus tanggung jawab untuk bersama-sama menepati kesepakatan itu. Sebuah upaya melatih masyarakat untuk berkomitmen.

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik