Maiyah Blangkon
Melalui Maiyahan yang sudah bertahun-tahun berlangsung, Cak Nun, KiaiKanjeng, dan masyarakat adalah sebuah kedekatan dan hubungan yang unik. Seperti tampak malam ini di dusun Beji Sidoarum Godean Sleman.
Antusiasme warga masyarakat sangat terasa. Letak panggung di pertigaan jalan dusun dan posisi tanah yang lebih rendah dibanding rumah-rumah di sisi kiri menyebabkan jamaah yang datang harus rela berada di tempat manapun. Selain di jalan, sebagian anak-anak muda mengikuti perjumpaan malam ini di teras rumah, di atas dak bangunan yang belum selesai, yang jaraknya hanya tiga meter dari panggung. Area depan panggung pun tentu sudah penuh. Sebagian jamaah yang berada di samping kiri dan belakang panggung dibantu oleh layar lebar. Sementara itu, di sisi kanan panggung adalah jalan turunan dari arah berlawanan dan kini dipenuhi jamaah juga yang tampak melengkung ke atas. Semuanya memancarkan passion dan chemistry yang khas, suatu cahaya di tengah yang bukan bukan dan bukan cahaya.
Masyarakat Beji ini sudah lama menantikan kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng. Mereka sangat ingin di-rawuhi Cak Nun. Sosok Kiai lain daripada lain yang selama ini mereka ikuti secara setia melalui saluran televisi lokal ADiTV. Kepada mereka, pada menit-menit awal, Cak Nun meminta maaf apabila selama mereka menyimak di televisi ada hal-hal yang kurang pas, karena sesungguhnya Cak Nun tidak berbicara untuk audiens yang seluas jangkauan televisi, melainkan hanya omong-omong terbatas dengan yang hadir secara tatap-muka di Maiyahan. Sehingga begitu muncul di TV bisa ada situasi, konteks, atau pemahaman yang sedikit bergeser. Lagi pula, Maiyahan yang kemudian menjumpai masyarakat lewat TV itu bukan sedari awal diniatkan sebagai tayangan, tetapi bahwa televisi-televisi meminta izin untuk ikut menayangkan dokumentasi acara-acara Cak Nun dan KiaiKanjeng. Itu pun tidak dijalankan dengan bentuk transaksi komersial, melainkan shadaqah penuh kepada televisi yang menayangkannya.
Ada yang berbeda malam ini pada KiaiKanjeng. Panitia memberi mereka tanda cinta dan paseduluran berupa blangkon warna hitam, dan kompak mereka mengenakannya saat ini. Kebetulan kostum yang dipakai adalah hitam-hitam. Jadilah cocok dengan blangkon yang baru diberikan saat cek suara tadi. Mas Doni, Mas Imam, Mas Jijid, Mas SP Joko, Pak Jokam, Mas Bayu dan lain-lain semuanya berblangkon dan menjadi bagian dari keseluruhan keindahan yang enak dipandang dan disyukuri karena berangkat dari niat baik menggembirakan teman-teman panitia dan masyarakat pada umumnya. Pada persembahan awal KiaiKanjeng mengajak hadirin untuk bersama-sama melantunkan do’a Khotmil Qur’an.
Malam ini adalah malam perdana di mana Tadabburan sebagai nama baru bagi Maiyahan digunakan untuk perjumpaan langsung bersama masyarakat luas. Tadabburan menggantikan Sinau atau Ngaji Bareng karena istilah yang terakhir ini sudah sangat sering dipakai oleh banyak kalangan. “KiaiKanjeng memang bagian bikin makanan baru, dan karena makanan itu sudah dipakai banyak orang, sekarang saatnya menciptakan yang baru,” tutur Cak Nun. Tadabburan. Tadabburan. Tadabburan. Perlahan-perlahan bibir mulai mengucapkannya.
Rezeki awal di Tadabburan perdana ini adalah anak-anak TPQ dan Paud yang diminta naik ke panggung oleh Cak Nun. Wajah-wajah polos itu dipeluk, disentuh, digendong, dan diusap oleh Cak Nun sembari diajak berbicara, dikenali karakternya, dan dilatih-keluar potensinya, walau dalam waktu yang singkat. Mereka diminta di antara mereka ada yang berani tampil duluan dan memimpin. Didorong mereka untuk terdengar suaranya yang otentik. Anak-anak itu memperlihatkan kemurnian jiwa mereka. Dik Feriska misalnya fasih melantunkan doa Takhiyyat Akhir. Kepolosan juga terlihat ada di antara adik-adik mungil berjilbab itu duduknya medongkrong. Sementara ada pula yang laki-laki yang awalnya berani berdiri dan akan membaca sesuatu, tapi akhirnya malu-malu dan malah ngambruk ke dalam pelukan Cak Nun. Anak-anak itu jujur. Hapal nama Ayah dan Ibunya, bahkan juga Kakek-Neneknya.
Tidak setiap anak berkesempatan mendapatkan usapan dan sentuhan dari Cak Nun. Anak-anak itu mungkin belum paham siapa sosok yang berada di tengah-tengah mereka, tapi interaksi beberapa saat itu akan menorehkan dan menancapkan file doa dari Cak Nun untuk masa depan mereka, bahkan juga masa depan masyarakat.
Bahkan ketika anak-anak sudah berhasil diajak berjajar berdiri, tegap menghadap bapak-bapak ibu-ibu dan orangtua mereka tentunya, Cak Nun loncat turun panggung dan kemudian dari bawah menghadap mereka, meminta mereka bareng-bareng membaca al-Qur’an surat al-Fatihah, al-Ikhlas, al-Falaq, dan an-Naas.
Berbagai harapan, maksud, dan tujuan yang terkandung dalam acara yang diprakarsai masyarakat sendiri ini mungkin mustahil secara normal tercapai jika hanya mengandalkan pertemuan beberapa jam Tadabburan. Belum lagi kandungan harapan, aspirasi, dan doa masing-masing individu yang datang ke sini yang jumlahnya bisa ribuan seperti Maiyahan di lapangan atau alun-alun pada masa-masa sebelumnya. Tetapi karena Maiyah “terdesak” dalam situasi seperti itu, yang bisa dilakukan adalah setoran-setoran kepada Allah, dengan harapan Allah mengabulkan secara lebih cepat dan berlipat. Hanya Allah yang bisa memenuhi kumulasi harapan masyarakat. Maiyah mengajak mereka setor kepada Allah, melalui cinta, ketulusan, kesetiaan kepada kebaikan, dan kemurnian. Maiyah mengajak mereka bergerak siklikal. Itu pun disertai kepasrahan penuh kepada kehendak, takdir, dan ketentuan Allah. Cak Nun dan KiaiKanjeng dalam beberapa jam bersama mereka merangsang naiknya harapan dan doa mereka kepada Allah. Malam ini salah satunya Cak Nun lewatkan melalui nomor Ilir-ilir.
“Di masyarakat, umat Islam banyak yang bertengkar karena perbedaan madzhab atau pemikiran, tidak kompak, tidak sanggup menjadi satu badan yang yasyuddu ba’dhuhum ba’dhon (menguatkan sebagian atas sebagian lainnya). Bangsa Indonesia juga demikian. Dipecah belah. Dijajah terus-menerus. Anda umat Islam sekaligus bangsa Indonesia. Anda dua-duanya. Tetapi, ancaman-ancaman itu tidak akan bisa benar-benar menghancurkan kita, kalau anak-anak ini pendidikannya berjalan dengan baik, asal masjid-masjid makmur dan dijaga dengan baik pula…,” pesan Cak Nun kepada para orangtua khususnya, dan masyarakat umumnya, setelah tadi berinteraksi dengan anak-anak TPQ dan PAUD tadi.
Saat akan mulai bersama-sama melantunkan Ilir-ilir, jamaah diajak menyadari takdir yang jarang disadari secara mendasar. Bahwa menjadi orang Jawa misalnya adalah Allah yang menyuruhnya atau mentakdirkannya. “Membawakan Ilir-ilir ini adalah menjalankan takdir Allah Anda sebagai wong Jowo. Sebagai wong Jowo kalau bisa Anda tahu Slendro tahu Pelog,” pesan Cak Nun.
Melihat istiqamah mereka, cara duduk yang tetap penuh perhatian, ekspresi-ekspresi yang gembira dan tetapi terbalut hasrat mendalam mencari sesuatu, dan jumlah mereka yang amat banyak, memenuhi jalanan dan tempat-tempat yang ada, seperti melihat proyeksi kecil dan miniatur dari apa yang dinamakan ummat, dengan aura-aura yang terpancar langsung, yang tak mungkin bisa dipahami dan dirasakan oleh bermacam-macam teori sosial-akademis, selain dengan cara merasakan dan mencerap langsung di tengah-tengah mereka. Di tengah nyaris tak adanya sensibilitas akan ummat, Maiyah menyuguhkan gambaran muatan jiwa-jiwa ummat. Menyentuhnya dengan ulang-alik ilmu, rasa, bunyi, musik, dialog, dan kedalaman nilai dan prinsip, dan membawa mereka mengalami setetes pengalaman “umat” di mana satuan ummat itulah yang terus-menerus dipecahbelah, seperti dijelaskan Cak Nun tadi.
Memasuki pukul 24.00, Cak Nun mempersilakan empat vokalis KiaiKanjeng untuk membawakan beberapa nomor persembahan dan ajakan. Yang pertama adalah Mbak Nia yang dengan oktaf tingginya mengajak seluruh jamaah khusyuk melalui nomor shalawat dan senandung lirih berbahasa Madura. Lagu ini didapat KiaiKanjeng dari seorang perempuan gila yang berjalan terus di jalan karena tak kuat menanggung kehilangan anaknya yang meninggal dunia. Ia bersedih, dan bersenandung. Semua hadirin tampak tertunduk dan khidmat saat Mbak Nia bawakan shalawatan itu, menghayati dan merasakan sesuatu yang jauh di dalam dasar jiwa manusia. “Mudah-mudahan dengan shalawatan ini, Rasulullah tidak kerasan untuk tidak segera memberikan syafaat-nya kepada kita, tidak nanti di akhirat saja, tetapi di dunia ini sekarang juga,” doa Cak Nun.
Bergulir padat kebersamaan Maiyah malam ini menuju Mas Doni. Kali ini kembali Ia hadirkan One More Night-nya Maroon 5. Suasana menjelma meriah, gembira, dan senang. Nomor ini pun menjadi terasa lebih baru dan sempurna, karena di tengah-tengahnya untuk kali pertama Mas Jijid ikut bernyanyi dengan mengajak hadirin bareng-bareng nyanyikan Cublak-cublak Suweng. Bahkan Mas Jijid sangat interaktif, berlari ke pinggir panggung, dan mengulurkan mic meminta suara jamaah. Dengan blangkon hitamnya, Ia terlihat lebih ganteng dari biasanya. Saat eksposisi masing-masing alat musik pada nomor ini, ketika layar menampakkan wajah Pak Nevi, jamaah spontan memberikan aplaus. Pada nomor ini, pasukan infaq untuk pembangunan Masjid Nurul Islam diberi kesempatan untuk beredar di tengah-tengah jamaah.
Dan seperti biasanya, lanjutan kegembiraan lagu Mas Doni adalah cengkok Melayu Mas Imam Fatawi yang mengusung Beban Kasih Asmara. Badan bergerak, kepala bergoyang, dan hati meliuk, tetapi terukur dan terlandasi oleh kematangan ilmu hidup. Dan seperti Mas Doni dan Bapak-bapak KiaiKanjeng lainnya, Mas Imam Fatawi juga mengenakan blangkon hitam hadiah panitia, menyebabkan wajahnya terlihat lebih lebar dan jembar, seakan selebar dadanya menampung bait-bait lagu Beban Kasih Asmara yang dilantunkannya.
Tentu Cak Nun menjelaskan apa itu tadabbur, karena ini adalah Tadabburan perdana di masyarakat. Dalam bahasa yang sederhana dijelaskan bahwa tadabbur berbeda dengan tafsir. Yang terakhir bersifat akademis, ilmiah, dan dilingkupi banyak syarat. Tafsir lebih dekat ke rasio. Sedangkan Tadabbur lebih kuat kepada rasa. Al-Qur’an sendiri menggunakan istilah tadabbur untuk menggambarkan interaksi manusia kepada al-Qur’an, dan bukan tafsir. Contoh paling sederhana, walaupun pengetahuan kita terbatas, tak tahu banyak tentang bahasa Arab, dan ilmu-ilmu lain, asalkan hati yakin, segera wudlu, ambil al-Qur’an lalu buka halaman secara langsung, dua halaman segera terbuka. Di dua halaman itulah terletak penjelasan akan persoalan yang sedang kita hadapi, informasi yang kita butuhkan saat ini, dan hal-hal yang berkaitan dengan petunjuk yang kita perlukan. “Tanda qabulnya Tadabbur Anda adalah hidupmu lebih dekat kepada Allah, hatimu lebih baik, pikiranmu lebih jernih, dan perilakumu juga lebih baik. Sikap kepada orang lain juga lebih baik. Jadi, hidupmu menjadi lebih baik dan sehat dengan Tadabbur,” terang Cak Nun.
Tetapi dua hal mendasar dari Tadabbur harus digarisbawahi. Bahwa dengan tadabbur bukan berarti tafsir tidak dibutuhkan. Tafsir tetap diperlukan, bahkan terus dikembangkan, didalamkan akurasinya, sehingga makna-makna yang mendekati benar bisa dicapai. Pencarian melalui tafsir dengan kata lain tetap dilakukan, karena pencapaian tafsir yang ada pun menuntut ‘pengakuratan’ manakala dirasakan ada yang kurang pas. Cak Nun mencontohkan, di al-Qur’an terdapat kata ‘khurun’ yang selama ini dalam tafsir-tafsir diartikan sebagai bidadari-bidadari di surga. Kemungkinan penggambaran bidadari di surga ini diambil dari khasanah Hindu. Sementara, makna yang mungkin lebih tepat bagi khurun adalah segala yang kita cintai dan sukai. Di surga, apa-apa yang kita sukai dan cintai akan diberikan oleh Allah, tetapi dalam satuan-satuan jasadiah yang tak mesti sama dengan ketika di dunia.
Kemudian prinsip Tadabbur ini merupakan langkah pembebasan. Selama ini, kita barangkali ragu atau tidak percaya diri untuk ‘bergaul’ dengan al-Qur’an karena merasa tidak punya cukup ilmu. Padahal untuk ‘bergaul’ dengan al-Qur’an malahan akan lebih memberi jejak dan pengaruh dengan rasa, niat baik, niat ambil manfaat, niat ambil solusi, niat mengamalkan, dan niat-niat baik lainnya yang aksentuasinya menjadikan al-Qur’an nyata sebagai petunjuk bagi manusia dengan cara dan mekanisme yang terjangkau oleh siapapun, tak hanya melalui mekanisme para ahli tafsir. Kita tak boleh lagi merasa ‘awam’ kalau itu adalah ketidakpercayaan diri untuk menyentuh al-Qur’an. Boleh jadi term atau label awam ini mengandung relasi yang tidak setara di antara yang dianggap awam dan bukan awam. Tadabbur membongkar hal itu, dengan maksud agar setiap orang berinteraksi dengan baik dengan al-Qur’an. “Wong setiap hari Anda shalat lima waktu, mengurus Masjid, mendidik anak-anak di TPA, ndandani masyarakat kok masih bilang awam…,” komentar Cak Nun kepada Pak Warsidi, Kadus dan pengurus Masjid di sini saat bincang-bincang di rumah transit sebelum tiba waktu untuk menuju panggung.
Selain menguraikan pengertian Tadabbur, Cak Nun juga merespons beberapa pertanyaan dari jamaah, yakni tentang syahwat (nafsu) dan akal, tentang beda antara shaum dan shiyam, dan tentang kaitan antara manfaat dan tadabbur.
Secara ringkas dijelaskan, bahwa shoum itu puasa dalam konteks muatan atau tekanan pada sisi internal atau individual. Sedangkan shiyam lebih menunjuk pada dimensi sosial dan pendidikan. Demikian pula naum (tidur) dan niyam pada assholatu khoirum minan naum, serta qaum dan qiyamah.
Beberapa penekanan dari Cak Nun di sesi akhir adalah agar kita semua tidak mudah bertengkar satu sama lain, agar tidak gampang menyalahkan atau mengafirkan satu sama lain, agar sesama umat Islam kita mudah saling memaafkan apalagi untuk kesalahan yang sudah berabad-abad lamanya, yang tidak selayaknya dipelihara dan disubur-suburkan sebagai bahan pertengkaran.
Pukul 01.05, jamaah diajak khusyuk melantunkan Duh Gusti untuk memuncaki Tadabburan malam ini. Sekian menit hening di penghujung perjumpaan ini. Do’a dari batin setiap jamaah dihaturkan kepada Allah yang menguasai hidup dan alam semesta.
Maiyah atau Tadabburan Blangkon malam ini telah usai, walaupun rasanya tak pernah ada kata usai untuk segenap apa-apa yang telah dinikmati, disyukuri, diilmui, dijadikan bekal hidup, dan dijadikan sumber kebahagiaan personal maupun sosial melalui Maiyahan.