Maiyah Bebrayan
Memasuki jalan kecil menuju kompleks Pondok Pesantren Al-Islah, orang-orang sudah berjejer berdiri di pinggir jalan. Tua muda, remaja, juga anak-anak. Petugas-petugas pertahanan sipil bersiaga di beberapa titik. Seorang ibu menyeret anaknya dari dalam rumah, saat rombongan Cak Nun pelan-pelan melewati dusun mereka. Seakan Ibu itu mengatakan kepada si anak, “Sini Nak, Cak Nun sudah datang.”
Di pinggir-pinggir jalan itu pula, warga banyak yang menjajakan macam-macam barang yang dijual. Juga makanan minuman. Mereka mengantisipasi banyaknya orang yang berduyun-duyun datang untuk Tadabburan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Tiba di rumah transit yang tepat di samping lokasi acara, Cak Nun turun dan langsung disambut para panitia, tuan rumah, dan sejumlah tokoh masyarakat setempat. Semuanya menjabat dan mencium tangan Cak Nun dengan penuh ta’dhim. Ada warga di sini yang sampai menangis tak percaya kalau Cak Nun datang di kampungnya ini.
Duduk lesehan di ruang tamu, hidangan buah-buahan dan penganan lain sudah terhidang. Sejenak duduk, kemudian panitia segera menyampaikan hal-hal yang dirasa perlu diketahui Cak Nun. Seorang dari mereka langsung mengemukakan persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama di bidang ekonomi yang saat ini ditandai dengan menurunnya harga sayuran, rendahnya daya beli masyarakat, keluhan para pengusaha menengah, dan lain-lain, seolah Cak Nun adalah seorang petinggi yang harus dilapori ihwal keadaan masyarakat.
Seorang yang lain berbisik dekat entah menyampaikan apa, tapi dari respons Cak Nun, tampaknya ia menceritakan sesuatu yang berkaitan dengan pemahaman agama, serasa Cak Nun adalah ulama tempat dia meminta nasihat, ilmu, dan penyikapan hidup. Berada di ruang transit yang salah satunya untuk bertemu KiaiKanjeng sebelum naik panggung dan perlu sedikit koordinasi, Cak Nun sudah dikerubungi orang-orang yang membutuhkan respons ilmu dan sikap, dan dengan sabar Cak Nun membagi konsentrasi, untuk mereka dan untuk KiaiKanjeng.
Di luar rumah, masyarakat sudah rapat menempati area acara. Suasana khas pedesaan berlatar sosial-keagamaan Nahdhiyyin kental terasa. Bapak-bapak mengenakan sarung dan berpeci. Peci hitam beludru maupun peci putih haji. Sebagian mengenakan baju koko putih. Pak Kiai dan sesepuh, lebih dari itu, memakai serban yang diselempangkan di pundak atau dilingkarkan di lehernya. Sementara mbak-mbak atau ibu-ibu mengenakan jilbab, dan itu sudah terlihat sejak mobil Cak Nun memasuki dusun Kalilawang itu. Di situ, Cak Nun teringat akan perjuangan Lautan Jilbab dua puluh enam tahun silam ketika jilbab belum banyak dikenakan kaum perempuan dan jika dipakai banyak mendapat tentangan.
Area utama untuk jamaah yang berada di depan panggung ini sesungguhnya tidak terlalu luas untuk orang sebanyak itu, sehingga menyebabkan mereka harus berdiri di jalan. Kebetulan area utama ini lebih rendah dari jalan, sehingga jamaah yang berdiri di atas jalan menjelma menjadi deretan orang, umat, jamaah yang begitu antusias menyimak Tadabburan pagi-siang ini. Tidak seperti pada acara-acara umumnya di mana panggung disewa dari persewaan, panggung Tadabburan di sini dibikin secara swadaya oleh masyarakat dari bambu-bambu panjang. Dan di bawah panggung itu adalah sungai kecil, sehingga dibutuhkan bambu yang cukup panjang dan tinggi untuk menopang papan-papan kayu panggung tersebut.
Di sebelah kiri dan belakang panggung, memanjang mengikuti arah sungai terdapat area kuburan. Siang itu, para hadirin yang tak kebagian tempat memanfaatkan area pemakaman itu untuk numpang duduk demi bisa mengikuti pengajian dari jarak yang cukup dekat. Kondisi yang ada jalan menanjak, kontur tanah yang tidak rata, kedekatan dengan sungai, kuburan, rumah-rumah warga, dan gunung yang tampak melatarbelakangi panggung menjadikan suasana pengajian atau Tadabburan menjadi unik dan khas. Belum lagi jika dilihat dari detail-detail ekspresi dan pelbagai yang dapat dirasakan dari orang-orang yang datang. Di antaranya, seorang kakek yang menyimak acara dengan menghisap rokok lintingan Klembak Menyan khas Wonosobo. Alangkah cocok dan nikmatnya. Dan sangat banyak dari yang hadir itu adalah orang-orang tua atau sepuh.
Ini adalah Tadabburan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren Al-Islah Kalilawang, Sitiharjo, Garung, Wonosobo. Lebih seringnya Maiyahan di malam hari, kali ini berlangsung di siang hari, terang, cuaca tidak panas bahkan cenderung dingin sebagaimana hawa di kawasan pegunungan. Entah kebetulan atau bagaimana, ini adalah Tadabburan kedua yang diintroduksi Cak Nun dan KiaiKanjeng dan digelar di tengah-tengah masyarakat, dan yang pertama dan kedua ini adalah di masyarakat dusun dan desa. Mungkinkah karena Tadabburan memang salah satunya berbuah dan berfungsi membebaskan masyarakat “awam” dari ketidakpercayaan diri merasa tidak paham agama. Padahal mereka setiap hari menjalankan perintah dan ajaran-ajaran agama. Bahwa siapa saja tidak terutama dilihat dari apa dan bagaimana tafsirnya terhadap al-Quran, melainkan bagaimana perilakunya, bagaimana kesungguhan hatinya bersetia kepada Allah, dan apakah dia baik kepada sesama manusia.
Setelah KiaiKanjeng membuka Tadabburan siang ini dengan nomor Pambuko dan do’a Khotmil Quran, Cak Nun segera masuk ke panggung, dan menyapa dengan kedekatan hati kepada para jamaah yang sudah menanti kedatangannya. Cak Nun menyampaikan rasa syukur dan rasa senang dapat bersaudara dan paseduluran dengan mereka. Cak Nun membesarkan hati mereka, “Urip koyo ngene iki ra popo, sing penting ora petal kaliyan Gusti Allah. Jarene urip susah, tapi kok neng ruang tamu mau suguhane akeh banget.”
Mereka yang berdiri di jalan sambil payungan dan menggendong anak-anaknya didoakan mendapatkan banyak “cicilan” kepada dan dari Allah. Juga mereka yang bersusah payah jauh-jauh datang ke sini dengan keikhlasan. Mereka perlahan-perlahan diajak masuk ke dalam cara berpikir yang berbeda, yang bukan kemakmuran-sentris. Cak Nun menggelitik pikiran mereka, karena berdoa pun harus jelas konsepnya, “Kalau berdoa, mohon diringankan beban hidupnya atau mohon diberi kekuatan meski kondisi seperti apapun?” “Diberi kekuatan….” serempak jawab mereka.
Menyisip sedikit-sedikit, beberapa nilai dan ilmu diberikan. Cak Nun menjelaskan kalau tafsir silakan dipakai masing-masing, jangan dipakai untuk pertentangan. Bahwa ada yang perlu dipelajari selain tafsir, yaitu tadabbur. Petikan-petikan lembut ilmu yang disampaikan berpadu dengan wajah-wajah yang penuh senyum dan gembira dari masyarakat yang hadir di sini. Sebab Cak Nun mengolah dan menyentuh semua unsur di dalam batin manusia. “Nanti kita reuni ya di Surga. Sebab orang yang tinggi derajatnya di surga adalah mereka yang tidak bersaudara secara darah, tetapi mau nyedulur (menjadikan orang lain sebagai saudara)”. Di awal, masyarakat diajak mengikatkan diri kepada Allah dengan membaca al-Fatihah, surat Al-Ikhlas, Al-Falaq, dan An-Naas.
Keindahan Tadabburan di Ponpes Al-Islah ini adalah suasana komunikasi para Bapak-bapak yang turut naik ke panggung ini yang sangat kultural, santri, tawadddhhu’, ringan, dan sarat kelenturan jiwa. Yang memperkenalkan Bapak-bapak ini pun juga enak dalam membawakan diri dengan bahasa Jawa yang halus, tapi akrab. Ia menyebut Cak Nun dengan Allahu Yarham Cak Nun. Sementara itu, Kiai Kharirirrahman, salah satu pengasuh pesantren ini, juga memberikan sambutan dalam unggah-ungguh yang santun dengan bahasa Jawa yang dekat logat Banyumasan. Ia menceritakan latar belakang keluarganya dan pendidikan dia dan saudara-saudaranya. Semua ketika ditanya ayahnya memilih ngaji di Pesantren, dan bukan sekolah. Ia memanggil Cak Nun dengan Mbah Nun.
Terkesan dan apresiatif kepada Pak Yai Kharirirohman, Cak Nun sejenak mengajak masyarakat mengingat-ingat beda mendasar antara pesantren dan sekolah. Dunia sekolah sebenarnya kecenderungannya dalam beberapa hal mengarah kepada pesantren. Pesantrennya sendiri jangan malah meninggalkan apa yang dimilikinya. Cak Nun meminta Pak Yai untuk harus bangga dengan pesantren. Sekolah-sekolah harus diberi atmosfer pesantren. Kemudian dalam kaitannya dengan nilai-nilai Pak Yai diberikan rumus sederhana ilmu Maiyah: Arab digarap, Jowo digowo, Barat diruwat.
Sampai lewat pukul 11.30, jamaah yang berjejer, berpadat-padat satu sama lain, yang duduk di tempat terjauh, yang berdiri di ceruk tanah sisi kiri panggung, juga ibu-ibu mengikuti Tadabburan sambil menyusui anak-anaknya, semuanya masih khidmat dan penuh perhatian mendengarkan apa-apa yang disampaikan dengan bahasa yang dekat di hati, sebuah bahasa yang bermuatan kesediaan untuk mengayomi. Para vokalis KiaiKanjeng di tengah-tengah tadi membawa mereka untuk beberapa saat melantunkan shalawat Nariyah.
“Wong cilik atau orang lemah nggak bisa dituntut menjadi wong gede. Camat dan bupati juga demikian. Ditekan dari bawah dan dari atas. Sesungguhnya dan seharusnya Indonesia itu bukan negara yang bukan Indonesia. Bangsa Indonesia tak bisa dipenek atau ditekan sampai benar-benar kepenek (tergencit-gencit), asalkan dekat dengan Allah. Memang berat hidup itu, siapa yang bilang tidak. Tetapi setidak-tidak enaknya Anda, masih tidak enak orang di luar sana. Tanda bahwa negara itu benar adalah ikut membela petani, sebab mereka adalah orang-orang yang menggarap langsung sesuatu dari Allah. Sementara pedagang berada di level kedua, sudah melewati pengolahan, tapi untungnya seringkali lebih tinggi,” Cak Nun memberikan beberapa poin-poin sembari mengingatkan bahwa Kanjeng Sunan Kalijogo sangat cocok dengan kita dan keadaan kita. Wirid Kanjeng Sunan Kalijogo adalah Allahumma Tekno Allahumma Tuhno (Ya Allah kalau habis datangkanlah Ya Allah kalau pas butuh datangkanlah). Cak Nun berpesan agar wirid ini sering dibaca.
Sesudah interaksi hati dan pikiran, Tadabburan membuka kesempatan bertanya bagi para jamaah. Pertanyaan yang dimunculkan ternyata sangat mencerminkan suatu nilai. Yakni nilai yang menurut Cak Nun adalah kemauan untuk bertahan kepada kebenaran Allah. Seorang santri dari Ponpes Al-Islah ini bertanya tentang money politic dalam Pilkada. Yang lain bertanya mengenani manakah sebaiknya yang diminta kepada Allah: rahmat Allah dulu atau barokah Allah. Ia berpendapat di masyarakat ini banyak rahmat Allah diberikan pada orang, tapi dijauhkan dari barokah-Nya. Seorang lagi bertanya mengapa Gus Dur dulu juga nyantri atau belajar di lingkungan Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta. Seorang Ibu yang hari ini sangat gembira karena bisa bertemu Cak Nun. Hari ini ia meminta izin suaminya setelah mengantarkan anaknya sekolah untuk datang ke pengajian ini. Sehari-hari ia bekerja di sawah tandur bibit padi. Ia bertanya mengapa kok ada orang diajak salaman atau berjabat tangan kok nggak mau. Ringkasnya ia bertanya tentang jabat tangan antara laki-laki dan perempuan.
Di tengah bagian pengemukaan pertanyaan-pertanyaan ini, Gus Yusuf Khudlori Tegalrejo Magelang datang dan dipersilakan langsung naik ke panggung. Merasakan getaran di balik pertanyaan-pertanyaan itu, terutama pertanyaan pertama, Cak Nun mengatakan, “Bertanya dengan pertanyaan seperti itu saja sudah mendapatkan pahala, nilai, dan penghargaan dari Allah, karena Anda sangat ingin dekat dengan kebenaran. Soal pertanyaan dapat terjawab atau tidak, nggak masalah.” Ketiban sampur, Gus Yusuf yang barusan datang langsung diminta Cak Nun merespons pertanyaan tentang money politic dan Gus Dur tadi.
Gus Yusuf menyitir hadis Nabi, bahwa hukum asalnya adalah ‘ar-roosyi wal murtasyi lahuma finnar (orang yang menyogok dan orang yang disogok keduanya masuk neraka). Itulah hukum asal-nya. Tetapi hukum atau fiqih itu bergerak berdasar illat (sebab, alasan, dan konteks). Dalam konteks money politics Pilkada, uang yang diberikan kepada calon pemilih itu “haram” apabila dia sudah punya pilihan yang baik dan berubah pilihan karena uang suap itu. Hal Gus Dur belajar di perkauman Muhammadiyyah, Gus Yusuf menambahkan bahkan tak hanya kepada orang Muhammadiyyah, tetapi juga ada salah seorang guru wanita Gus Dur yang bisa dikata sosialis atau kiri. Kemudian Gus Dur oleh ayahnya yaitu KH Wahid Hasyim dipondokkan ke Tegalrejo kepada romonya Gus Yusuf yaitu Kiai Khudhori. Kata KH Wahid Hasyim, “Iki anakku tulung dibilasi…” Walhasil, kata Gus Yusuf, walaupun belajar ke mana saja, Gus Dur tetap orang NU yang terbuka, toleran, dan penuh tasammuh.
Memasuki pukul 12.15 langit mendung dan mulai gerimis. Padatnya jamaah tak memungkinkan dirapatkan lagi agar yang di belakang terkena hujan. Cak Nun mengajak semuanya untuk bersikap khusnudhdhon dan percaya bahwa hujan itu rahmat Allah. Agar kita tidak gampang ngersulo atau mengeluh. Diterangkan oleh Cak Nun bahwa di dalam Maiyahan tak jarang jika hujan datang semua rela dan ikhlas berbasah-basah. Yang terkena guyuran hujan semoga diberikan rezeki berlimpah oleh Allah. Misal sedikit habis itu masuk angin, setelah itu dianugerahi Allah kesehatan yang lebih prima. Cak Nun mengajak semuanya melantunkan astaghfirullah dan Robbana ya Robbana. Semuanya di bawah guyuran lembut hujan khusyuk beristighfar. Hujan turun. Dan mereka tetap berdiri, siap dan ikhlas, untuk tetap meneruskan dan menikmati Tadabburan. Tak beranjak. Fokus kepada mendekatkan diri kepada Allah. Saat Cak Nun melantunkan Muhammadun Basyarun, hujan agak lebih deras dari sebelumnya. “Ya Allah terima kasih atas rahmat hujan yang Engkau turunkan…,” ungkap Cak Nun.
Berangsur-angsur hujan mereda. Pelan-pelan dari sublimasi, kini Cak Nun mulai urun merespons pertanyaan yang sudah dikemukakan beberapa jamaah. Pertama soal pilkada. Seharusnya pertanyaan tadi adalah pertanyaan kedua dan keempat. Pertanyaan awalnya semestinya adalah pertanyaan yang menyangkut tidak beresnya sistem pemilu. Dalam sistem itu, rakyat tidak punya hak pilih. Rakyat dipilihkan oleh Parpol. Jadi, kenapa ada money politics, ialah karena hak pilih rakyat diambil alih oleh parpol. Milikilah cita-cita untuk suatu saat bisa mengubah undang-undang dan sistem pemilu, bukan sekadar soal bagaimana menghindar dari money politic. Yakni sistem pemilu yang benar-benar berdaulat. “Anda memilih dan punya kiai dari hatimu, seharusnya seperti itu pula anda memilih bupati bukan dipilihkan parpol atau dipilihkan siapa saja,” tandas Cak Nun.
Mengenai rahmat dan barokah. Manakah yang sebaiknya dimohonkan kepada Allah. Sembari sedikit berlentur hati, Cak Nun mengatakan, “Barusan saya tanya kepada Malaikat, tentang rahmat dan barokah. Saya manut sepenuhnya kepada Allah, mana yang diberikan dulu. Rahmat siap. Barokah oke. Sebagaimana selama ini hidup saya, siap menerima apapun yang Allah berikan…,” tegas Cak Nun.
Pertanyaan tentang jabat tangan mendapat respons sangat menarik yang mungkin jarang dipikirkan oleh para ahli fikih. “Seandainya anda harus berjabat tangan dengan bukan muhrim anda dengan maksud hatimu untuk tidak menyakiti hatinya, dan karena jabat tangan itu anda harus berwudlu, kan bagus anda dibuat berwudlu. Makin sering wudlu kan makin baik. Anda mendapat kesempatan lebih banyak untuk membersihkan diri. Sementara itu kalau anda mau jabat tangan dengan seseorang dan ditolak, itu juga bagus. Masih mending ditolak manusia. Kan susah kan kalau ditolak Allah Swt,” terang Cak Nun. Para Kiai yang duduk di panggung manggut-manggut tanda setuju dan seperti mendapatkan penjelasan baru yang melegakan. Jawaban yang mungkin tak terpikirkan sebelumnya.
Selain itu, Cak Nun juga mengajak penanya dan jamaah pada umumnya untuk tidak terlalu melihat sesuatu dengan frame laki-laki versus perempuan. Dalam banyak hal, laki-laki dan perempuan itu tak ada, yang ada adalah manusia yang terutama hadir universalitas kemanusiaannya. Jadi, di samping soal pemahaman fikih yang bisa beragam, sebaiknya dilengkapi juga pemahaman fikih tersebut dengan jiwa kemanusiaan, dengan pemahaman ada keutuhan dan keutamaan manusia, dan kepekaan rasa.
Kemudian pertanyaan mengenai Gus Dur yang belajar di pusat Muhammadiyyah, Cak Nun merespons, “Kenapa tho dengan Muhammadiyyah, kok sepertinya ancaman atau bahaya sehingga Anda bertanya tentang Gus Dur belajar di Muhammadiyyah. Pelajari kembali sejarah NU dan Muhammdiyyah. Bukankah KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sama-sama seperguruan kepada Syaikhona Kholil Bangkalan Madura. Jadi pelajari kembali sejarah. Kalau mau cari jeleknya sesuatu ya ada, kalau mau cari baiknya insyaAllah lebih banyak.”
Situasi makin siang, angin berhembus, umbul-umbul di pinggir jalan bergoyang kecil, semua hadir sangat istiqamah menyimak dan menimba ilmu dari kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng yang sudah lama mereka rindukan. Paparan-paparan berbobot di sebuah dusun dalam Tadabburan masih berlangsung. Cak Nun berpesan agar masyarakat desa untuk tidak menggantungkan jawaban atas masalah yang dihadapi kepada “wong-wong nduwur” di sana, tetapi hendaknya mengandalkan soliditas dan kerjasama yang dekat antara masyarakat dengan Pak Lurah, Pak Camat, dan Pak Bupati.
Betapa bahagia masyarakat atas Tadabburan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng siang ini tercermin salah satunya dari penuturan Pak Lurah Sitiharjo. “Saya bersyukur dan bahagia Cak Nun kerso rawuh. Bahkan seandainya saya dipanggil Allah saat Tadabburan ini pun saya siap. Karena sekurang-kurangnya saya sedang melakukan hal yang baik, dan ada yang mengingatkan saya kalau saya melakukan kesalahan. Apalagi Tadabburan ini mengajak kita belajar Islam dan al-Quran dengan cara yang tidak ndakik-ndakik.”
Acara segera dipuncaki ketika jarum jam menunjuk angka menjelang 13.30. Gus Yusuf diminta memimpin doa. Selain mendoakan para jamaah dan masyarakat di sini, Gus Yusuf juga memohon kepada Allah agar Cak Nun senantiasa diberi kesehatan dan kekuatan untuk dapat selalu membimbing dan mengayomi masyarakat.
Setelah doa dari Gus Yusuf, seperti biasa jamaah meminta berjabat tangan dengan Cak Nun dan para bapak-bapak lainnya. KiaiKanjeng mengantarkan dengan beberapa nomor lagu yang meriah di hati, apalagi dengan salah satunya lantunan suara Pak Nevi Budianto pada nomor yang oleh KiaiKanjeng disebut Nunggu Imam.
Di bagian awal tadi, Cak Nun mempersilakan salah seorang panitia untuk memperkenalkan para narasumber, dan mempersilakan semua hadir untuk menikmati kebersamaan bersama Cak Nun. Kata dia, ada pepatah undhur ma qaala wal tandhur man qaala (lihat apa yang dikatakan, dan jangan lihat siapa yang mengatakan). “Di tadabburan ini Anda boleh mendengarkan penjelasan Cak Nun saja, menikmati wajah atau sosok beliau juga monggo…,” ujarnya. Dan sampai acara berakhir, tampaknya jamaah menikmati dan menyerap kedua-duanya, dengan kedalaman dan kekayaan dimensi yang masing-masing dapat rasakan. Jabat tangan masih mengalir, dan semoga juga akan mengalir terus besok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya di berbagai tempat, seiring Allah terus memperjalankan Cak Nun dan KiaiKanjeng menjumpai masyarakat.