Maha Takabur
Tahqiq“…Mbah Markesot mewariskan kebodohan kepada Pakde Paklik”, kata Junit, “kemudian Pakde Paklik mewariskan kedunguan kepada kami anak-anak muda.…”
“Jangan-jangan selama ini kita sebenarnya dipinteri dan diakali oleh Pakde Paklik kita…”, terdengar suara Jitul sambil tertawa.
Tarmihim tertawa juga spontan menyusul suara Jitul. “Persis yang saya pikirkan”, katanya, “Jangan-jangan selama ini kalian anak-anak muda merasa dipinteri dan diakali oleh kami…”
Brakodin juga menyahut. “Jangan GR, Him. Keponakan-keponakan kita ini bukan anak-anak bodoh yang bisa kita akali dan pinteri, meskipun setengah mati sebenarnya kita memang selalu berupaya untuk minteri dan ngakali mereka”
“Bagaimana kalau terbalik, Pakde”, suara Junit.
“Terbalik gimana?”, Ndusin bertanya.
“Bahwa kami berhasil minteri dan ngakali Pakde Paklik sedemikian rupa tidak kentara, sehingga Panjenengan semua tidak tahu sama sekali bahwa sedang kami pinteri dan akali”
“Kami berlagak bertanya, padahal sebenarnya kami menggiring pikiran Pakde Paklik”, Toling menambahkan.
Seger melengkapi: “Sesungguhnya”, ia berhenti sejenak, “kita semua anak-anak muda dan Pakde Paklik sedang secara semena-mena diakali dan dipinteri oleh Mbah Markesot”
Semua tertawa.
“Mbah Markesot membikin kita sibuk memikirkan keadaan dunia dan manusia, sementara dunia dan manusia tidak pernah membutuhkan pikiran-pikiran kita”, Seger meneruskan.
“Jangankan membutuhkan”, Toling menyusuli, “dunia dan manusia tidak tahu-menahu tentang pikiran kita”
“Jangankan tahu-menahu tentang pikiran kita”, Toling meneruskan, “bagi dunia dan manusia kita ini tak ada”
“Jangankan kita semua ini ada atau tak ada bagi dunia dan manusia”, Jitul tak mau kalah, “manusia acuh tak acuh saja atas nasibnya, sementara dunia pun tak mempedulikannya”
Terdengar tertawa kemudian tertawa.
“Giliranmu, Junit”, Tarmihim mendesak.
“Mbah Markesot mewariskan kebodohan kepada Pakde Paklik”, kata Junit, “kemudian Pakde Paklik mewariskan kedunguan kepada kami anak-anak muda…”’
“Persisnya kebodohan dan kedunguan bagaimana?”, Sundusin memotong.
“Kebodohan dalam arti kita merasa bahwa yang kita pikirkan habis-habisan ini ada kaitannya dengan berlangsungnya kehidupan. Kedunguan dalam makna kita seolah-olah meyakini bahwa sebelum kehidupan ini melangkahkan kakinya dari satu detik menuju detik berikutnya – menantikan dulu apa rekomendasi kita…”
Semua tertawa lagi.
“Kalian tahu apa yang sebenarnya berlangsung?”, Brakodin bertanya.
“Apa Pakde”, anak-anak muda itu serempak bertanya.
“Pada hakikatnya kita sedang diakali dan dipinteri oleh kehidupan dunia dan manusia”, jawab Brakodin.
“Setengah mati kita memprihatini dan memikirkan dunia dan kehidupan”, Sundusin menambahi, “padahal dunia yang selalu diam itu sesungguhnya sedang mengakali kita, dan manusia yang bisu akal dan mulutnya atas kehidupannya itu semena-mena memintari kita. Buktinya tak sedebu pun terjadi perubahan pada mereka oleh pemikiran-pemikiran kita”
“Bagaimana kalau….”, Tarmihim bersuara sesudah semua terdiam beberapa lama, “Bagaimana kalau sesungguhnya Tuhanlah yang sejatinya mengakali dan memintari kita….”
“Sah!…”, Brakodin hampir berteriak.
“Allah Al-Mutakabbir”, Tarmihim menyahut, “Allah Maha Takabur. Ia Maha Lebih Besar dari semua ciptaan-Nya. Allah yang menciptakan dan memiliki segala-galanya. Allah berhak apapun saja. Allah punya otoritas mutlak untuk membesari kita, meninggii kita, mengakali kita, memintari kita, serta berbuat apapun atas selain Dirinya Sendiri. Dan itu baik. Dan itu mulia. Dan itu indah…”
“Kok baik, mulia, dan indah, Pakde?”, Seger bertanya.
“Jangan bertanya”, kata Tarmihim.
“Kenapa, Pakde?”
“Supaya kau temukan baiknya”
“Jangan membantah”, Sundusin menimpali, “supaya kau hayati mulianya…”
“Dan menyerahlah kepada-Nya”, Tarmihim menyempurnakannya, “supaya kau rasakan indahnya”
Jitul tertawa panjang dan terpingkal-pingkal.