CakNun.com

LGBT, BWML dan Anti Kekejaman

Sidik Paningal
Waktu baca ± 6 menit

Dalam khazanah budaya umum dan sehari-hari, kita mengenal Banci, atau Wandu (: Jawa), Mukhonnats (: Arab), Bencong, Melambai (: slang), Layyin (: Arab, Pesantren) dan mungkin masih banyak lagi.

Itu semua berbeda dari LGBT.

Kita sebut saja umpamanya BWML (bencong wandu melambai layyin), sekali lagi, tidak sama dengan LGBT.

Photo by daniel james on Unsplash

Pertama-tama yang kita semua perlukan adalah kehati-hatian epistemologis (lughowiyah) dan kewaspadaan budaya. Ranah epistemologi mungkin lebih sederhana, ‘padat’ dan relatif lebih mudah. Tapi pada wilayah budaya, kita perlu panduan dari para pakar kedokteran, psikologi, ahli kebudayaan dan ‘Arifin (orang-orang yang memakrifati kehidupan melalui metodologi firman).

Masyarakat umum dan para stakeholders peradaban-kemanusiaan melalui ekpertasi kepemimpinan dan sistem-bangun kenegaraan perlu bersegera mengambil keputusan. Kehati-hatian epistemologis dan kewaspadaan budaya dalam tema sangat sensitif ini bisa dijadikan peluang untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu dan kedewasaan tentang manusia dan kebudayaannya, sampai ke tingkat firman (informasi ilmu dan pengetahuan dari Tuhan langsung).

Bisa juga dipergunakan untuk menyelenggarakan ijtihad (kreativisasi pemahaman atas fakta hingga tahap policy). Upaya mencapai ketepatan pandangan, sikap dan tindakan (empan papan, Jawa, atau yadurru ‘ala ‘illatihi, fiqih). Yakni memperkaya dan memperdetail tindakan-tindakan kolektif di dalam kematangan pengetahuan, kearifan sikap, kelembutan sosial, menghindarkan tindakan kekejaman, perendahan atas manusia dan kemanusiaan. Baik oleh publik, institusi-institusi sosial dan pemerintahan.

Atau kasus wandu dan empat-huruf ini kita biarkan menjadi sumber konflik sosial. Menjadi bara api kebudayaan yang suatu saat akan memungkinkan terjadinya letusan-letusan kecil atau besar. Menjadi wahana kebodohan bersama. Melahirkan dan menambah jumlah kaum penindas dan yang ditindas. Menanam sakit hati sosial, dendam yang bisa panjang, atau njarem-njarem (Jawa) kebudayaan, yang hasilnya bisa pengikisan tapi juga bisa pembengkakan. Setiap pihak yang berurusan dengan masalah ini tinggal memilih satu di antara tiga kemungkinan itu.

Anti-kekerasan dan Anti-kekejaman

Interupsi khusus tentang anti-violence, mohon izin saya tidak menterjemahkannya menjadi anti-kekerasan, melainkan anti-kekejaman. Lembut dan keras adalah sifat dasar alam. Jasad manusia terdiri atas benda yang keras dan yang lembut. Pun segala isi alam. Bahkan rohani manusia bisa memuat hati yang lembut dan hati yang keras. Setiap perhubungan suami dan istri alat utamanya harus keras. Dan dalam soal itu setiap istri pro-kekerasan.

Daun dan rerumputan harus lembut. Baja dan besi harus keras. Air adalah pasal ketiga, ia bisa lembut, bisa uap, bisa es. Bisa cair, bisa uap (seakan ‘tiada’), bisa juga keras. Kehidupan manusia umum (sosial) atau per manusia (individu) ada unsur bajanya yang pasti keras, ada unsur helai daunnya yang pasti lembut, tapi juga ada unsur airnya yang bisa keras bisa lembut.

Lembut dan keras itu produk Tuhan di alam. Kejam itu produk dismanagemen rohani manusia. Maka yang diam-diam disepakati oleh manusia, nilai budaya, estetika, rasa dan roso, hingga agama, adalah anti-kekejaman. Meludahi lebih kejam dibanding memukul. Di kebudayaan Jawa, memanggil nama seseorang dengan nama Bapaknya, adalah kekejaman.

Dulu koran menyebut “Presiden Wahid” (Pak Wahid adalah bapaknya Abdurahman), kalau di Jombang, penyebutnya diancup-ancup didelep-delepno di sungai. Dan perbuatan di sungai itu berposisi akibat, sedang memanggil nama Bapak itu adalah sebab. Akibat lebih rendah tingkat kesalahan dan dosanya dibanding sebab. Tuhan bikin pasal “jangan berlaku kasar kecuali dalam keadaan teraniaya”. Ushulul-fiqh (filsafat hukum) kasih rumus “kemudharatan kecil boleh dilakukan untuk menghindarkan kemudharatan besar”.

Dari sejumlah uraian di atas kita catat empat kosakata: lembut, keras, kasar, dan kejam. Lembut dan keras itu alamiah, yang secara teliti dan akurat harus dijaga pada proporsinya. Kejam itu budaya, yang juga secara tepat harus dihindari atau diberantas. Kasar itu in between. Pada kasus tertentu kasar diperlukan, misalnya untuk pendidikan keprajuritan. Pada pendidikan Kopassus Anda menemukan berbagai tindakan kasar untuk pendidikan, tetapi para perwira dan aturan ketentaraan mewaspadai batas antara kekasaran dengan kekejaman.

Itulah juga yang sesungguhnya perlu kita waspadakan terutama ke dalam diri kita masing-masing. Batas-batas yang sangat dinamis, detail dan multi-dimensional antara kasar dengan kejam. Kalau dimensi keras, lebih sederhana dan jasadiyah. Tetapi kasar dan kejam, lebih bersifat rohaniah, sehingga memerlukan tingkat kewaspadaan batin sekaligus intelektual yang sangat tinggi.

Melampiaskan dan Mengendalikan

Itulah sebabnya di dalam kehidupan sosial, pengelolaan negara atas rakyatnya, penataan kebudayaan dan peradaban oleh manusianya, apalagi dalam urusan sensitif wandu, mukhonnats, melambai, layyin, apalagi LGBT – pedoman paling mendasar adalah mengetahui apa yang boleh dilampiaskan, apa yang perlu dikendalikan, serta apa yang benar-benar harus diamputasi.

Kita ambil contoh yang umum dan populer. Misalnya soal makan saja, tema yang harus dipilih oleh setiap orang adalah melampiaskan ataukah mengendalikan. Itu filsafat dasar kesehatan dan landasan ilmu kedokteran. Maka dikenal ‘dosis’, lahir dari Ilmu Pengendalian di dunia medis. Kalau obat dilampiaskan, akan memperparah sakit dan mempercepat datangnya kematian. Apakah kalau Anda ke warung, itu sedang melampiaskan ataukah mengendalikan, atau pelampiasan yang dibatasi oleh pengendalian.

Kalau Anda memilih menu makanan, itu pekerjaan kuliner ataukah pekerjaan kesehatan. Pertimbangan Anda mengutamakan keenakan makan ataukah pemeliharaan atau syukur peningkatan kesehatan. Di mana-mana tumbuh menjamur area-area kuliner, restoran-restoran itu diassosiasikan tidak terhadap kesehatan, baik oleh pemilik warungnya maupun para konsumennya.

Makanan minuman dan warung restoran sangat berkaitan dengan keenakan, kesedapan dan “mak nyusss”, sedangkan kesehatan hanya berassosiasi dengan Puskesmas, Klinik dan Rumah Sakit. Budaya kita semua adalah budaya kuliner, bukan tradisi kesehatan dan penyehatan. Mental primer kita adalah pelampiasan, baik dalam kehidupan sehari-hari, dalam bernegara, terutama dalam penyelenggaraan ‘kemashlahatan umum’ yang dirumuskan menjadi kapitalisme dan industrialisme. Nanti kita akan tahu bahwa LGBT itu ranah pelampiasan, BWML belum sampai itu, meskipun mungkin juga belum mengerti apanya dari kondisi BWML yang perlu dikendalikan. Saya punya banyak contoh, referensi, pengalaman dan metode penanganan BWML untuk mengkritisi pelampiasan sampai tingkat LGBT.

Bahkan kalau serius ingin menuju Indonesia Selamat, di bidang apapun dalam pengelolaan kenegaraan dan sosial budaya, landasannya adalah managemen pelampiasan atau pengendalian. Seberapa banyak kekayaan bumi kita boleh ditambang dikeruk dilampiaskan pada batas suatu era, dengan perhitungan dan kesadaran bahwa anak-anak cucu-cucu kita kelak memiliki hak atas kekayaan itu. Seberapa banyak lagi kendaraan bermotor boleh kita lampiaskan importnya, seberapa banyak hotel dan gedung-gedung tinggi layak dilampiaskan untuk dibangun dalam hitungan penataan lingkungannya.

Sampai berapa periode lagi Pemerintah boleh berlaku sebagai Negara, pantas melampiaskan eksistensi dan perilakunya seolah-olah Pemerintah adalah Negara, misalnya. Dan sangat banyak lagi klausul pelampiasan dan pengendalian ini. Termasuk untuk keselamatan masa depan, berapa lama lagi kita boleh melampiaskan simbolisme acara-acara keagamaan di televisi, dengan artifisialisme yang sudah terlanjur ditelan oleh publik sebagai substansi, dengan kwantifikasi yang ‘ghuluw’ (lebay, berlebihan, Arab) dan kwalifikasi yang sangat sedikit diperhatikan.

Penelitian dan Fenomena ‘Aswatama’

Sebagai bangsa kita semakin dikepung dan ditindih oleh tambahan-tambahan permasalahan dan penyakit-penyakit baru, yang insyaallah kita semua tidak memiliki ilmu dan perangkat yang mencukupi untuk mengatasinya, sampai waktu yang akan cukup atau sangat lama. Tulisan ini tidak menyentuh UNDP atau LGBT sebagai gerakan nasional dan global. Tulisan ini hanya partisipasi pembelajaran universal untuk manusia dan masyarakat yang mau. Yang tidak memerlukan pembelajaran, tidak disentuh oleh tulisan ini.

Manusia mencari dan menghimpun ilmu untuk mengambil tindakan-tindakan yang dinamis, bagaimana menghormati tulang dengan kekerasannya, menghargai daging jantung paru-paru cairan-cairan tubuh dll dengan kelembutannya. Tetapi pada saat yang sama memiliki parameter untuk menghindari apapun yang membuat tulang menjadi lembut, darah menjadi beku, atau menjaga keseimbangan asam dengan basa.

Demikian juga dalam kehidupan sosial. Kehidupan bersama antara manusia, yang di antara mereka ada tradisi penciptaan Tuhan, ada hukum alam, ada tata nilai budaya, ada negara dan pasal-pasal. Penelitian atas ilmu dan pengetahuan adalah pekerjaan utama para pelaku setiap peradaban, karena yang paling pelik dan sulit adalah menentukan akurasi dan presisi batas-batas antara berbagai hal itu.

Termasuk batas-batas antara LGBT dengan BWML. Lelaki, perempuan, dan banci adalah keadaan, sedangkan LGBT adalah perbuatan. Lesbi adalah hubungan seks sesama wanita, Gay antar lelaki, Bisex “borongan”, transgender keseluruhan kemungkinan antara lelaki dengan wanita serta bukan lelaki dan bukan perempuan.

Mohon maaf kalau saya tidak benar-benar memahami detail ranah ini. Juga tidak kita bicarakan fenomena ‘Aswatama’ dari tradisi wayang, anak dari seorang Bapak dengan seekor kuda. Saya tidak mengerti apakah itu termasuk kategori transgender.

LGBT bukan identitas, melainkan perumusan tentang perilaku seksual, atau keputusan tentang perkawinan. Sedangkan BWML adalah semacam identitas: alamiah ataukah hasil penularan budaya, itu yang kita semua harus berhati-hati dan seserius mungkin meneliti.

Saya berpandangan dan bersikap di dalam diri pribadi saya bahwa saya menghormati dan menyayangi semua makhluk Tuhan. Dan tidak ada apapun dan siapapun dalam kehidupan ini yang bukan makhluk Tuhan. Kutukan, laknat dan adzab, tergenggam di tangan Tuhan. Tetapi saya mengapresiasi sejumlah tindakan pengendalian oleh berbagai instansi maupun masyarakat. Saya merindukan pemerintah, semua lembaga publik, institusi agama, para pelaku LGBT maupun para penderita BWML – untuk belajar, meneliti, memelihara kejernihan ilmu dan pengetahuan, ke dalam diri masing-masing maupun dalam kebersamaan. Termasuk pembelajaran kembali tentang idiom Tuhan “dzakar”, “untsa”, “azwaj”, juga “khuntsa”. Pembelajaran dan penelitian itu nanti pada akhirnya harus berposisi integratif dan komprehensif dengan seluruh entitas atau satuan besar yang bernama Bangsa Indonesia, untuk keselamatan hari ini dan masa depan bersama.

Saya ucapkan janji penyelamatan untuk siapapun engkau (: ‘assalamu ‘alaikum) dan komitmen kebersamaan kita untuk memanage rahmat Tuhan (wa rahmatullahi) atas tanah air istimewa ini, agar menjadi berkah bersama (wa barokatuh). Bukan menjadi adzab bersama (wa ‘adzabuh). Bahasa jelasnya, saya ucapkan “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barokatuh”, kepada seluruh bangsa Indonesia termasuk LBGT dan BWML. Tidak akan pernah saya ucapkan “Al-la’natu ‘alaikum wa adzabullah wa wabaluh”.

Yogyakarta 25 Februari 2016

Lainnya

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Jalan Baru Ekonomi Kerakyatan

Rakyat kecil kebagian remah kemakmuran berupa upah buruh murah, dan negara kebagian remah kemakmuran berupa pajak.

Nahdlatul Muhammadiyyin
NM
Managemen keAdaman dan keHawaan

Managemen keAdaman dan keHawaan

Sebelum kisah kecil tentang Yu Sumi, tolong anak cucuku dan para jm memastikan pemahaman bahwa “empat huruf” itu tidak sama dengan Mukhonnats, Wandu atau Banci.

Emha Ainun Nadjib
Emha Ainun Nadjib