CakNun.com
Reportase Maiyah Dusun Ambengan Agustus 2016

Lele Minna wa Minkum

Maiyah Dusun Ambengan
Waktu baca ± 9 menit

Jamaah Maiyah Dusun Ambengan, tepat pada momentum setahun kajian rutin Maiyahan, punya daya kejut yang menggetarkan para panggiat. Puji syukur dan salawat dikumandangkan. Ada desir dan kegembiraan, aneh serta asing, yang dirasakan jamaah.

Kejutan itu, salah satunya adalah banyak unsur dan perwakilan masyarakat, terlibat untuk tampil di majelis Ambengan. Menguatkan dan mengukuhkan konsen Maiyah untuk membersamai masyarakat desa dengan upaya sebagai problem solver, serta mendiskusikan berbagai masalah dan cara mengatasinya.

Selain itu semua, daya kejut yang lain adalah kehadiran Gus Sabrang MDP bersama awak band Letto. Bahkan, kesediaan Gus Sabrang membawakan Sebelum Cahaya sekaligus menceritakan proses penciptaan kreasi sebuah seni, ketika ditanya oleh jamaah. Tentang upaya dan keseriusan mengungkapkan rasa dan menggali musik dari berbagai pencapaian. Dimana banyak yang berpendapat.

“Lagu-lagu Letto itu semakin sulit dimengerti maknanya, justru semakin bagus,” ujar Pakde Mus, sehari sebelumnya di Griya Bersama Sepanjang Masa (Pondok Pesantren Al Muttaqin Pancasila Sakti Bandar Lampung). Bahkan, saat membawakan “Sebelum Cahaya” Gus Sabrang atau Noe Letto, diiringi awak musik Jamus Kalimasada — menjadi suguhan kegembiraan tersendiri bagi jamaah maiyah Ambengan.

Gus Sabrang
Gus Sabrang

Gus Sabrang yang hadir di Rumah Hati Lampung sekira jam 23.00 WIB itu, bersama Mas Baim (Ibrahim, eks. Koordinator Kenduri Cinta yang sekarang bermukim di Lampung) dan Cak Sul mendedah makna seni, desa dan bagaimana seorang manusia berusaha mencari dan mencapai kecintaan pada Allah SWT. “Sebagai makhluk yang paling istimewa di jagat raya ini, persoalan manusia itu yang utama hanya karena lapar”, Jelas Gus Sabrang.

Manusia, setelah terbebas dari rasa lapar, jutaan nafsu kembali mendesak untuk diselesaikan. “Hpnya jelek, uangnya kurang banyak, dan sebagainya. Semua itu, bisa mengantarkan kita untuk tidak berbahagia, jadi saya tidak punya cita-cita membahagiakan orang lain,” kata Gus Sabrang menjawab pertanyaan penggiat Ambengan, Mas Cipto, yang meyakini lagu Letto berusaha untuk terus membahagiakan orang lain sehingga band dan kelompok musiknya punya banyak fans.

Ketika seorang jamaah Mas Saif Munir, menanyakan komitmen berkumpul dan makna cahaya, Gus Sabrang juga berbagi pencerahan. Apa tujuan membuat perkumpulan? Gus Sabrang kemudian mengemukakan sebuah contoh jawaban. “Misalnya jika berkumpul karena ingin didatangi Cak Nun, apalagi hanya dihadiri Letto, mending gak usah berkumpul, karena itu mengotori kesucian kita mencari Tuhan,” kata dia.

Gus Sabrang juga berbagi resep untuk melestarikan perkumpulan dan bagaimana jamaah bisa lebih baik. Kuncinya gampang, yang penting kumpul saja, bertemu bareng, itukan perkumpulan. Sepanjang niatnya mencari Tuhan, pasti semua hal dicukupkan. Artinya, kalau mau bikin perkumpulan, kumpul saja. “Kalau tidak mau marah, jangan marah. Kalau ditanya bagaimana dan apa obatnya stress, ya jangan stress.” Jelas Gus Sabrang.

Kalimat kunci yang dicatat jamaah Maiyah Dusun Ambengan adalah ilmu itu bukan tentang apa yang disampaikan, melainkan apa yang bisa kita tangkap. Kita amalkan. Gus Sabrang juga mengurai dan mendedah cahaya dalam berbagai perspektif. Baik secara fisika maupun menurut kaidah agama. Termasuk di dalamnya, secara implisit memberi tadabur makna surah An-Nur di dalam Al Quran.

“Sedikit saja saya berbagi, adanya cahaya itu karena adanya ketidaksempurnaan warna.”

Cahaya itu kalau digali lebih luas, bisa mengurai tentang jin, iblis dan berbagai kejahatan. “Ilmu tentang cahaya, salah satunya seperti, keberadaan itu karena menyadari ketidaklengkapan, jadi mari kita mencari cahaya agar kita bisa mencerap nur Muhammad dan menemukan Tuhan,” lanjut dia.

Pada puncak acara perihal ajakan menggali permenungan dan ilmu cahaya yang disampaikan oleh Gus Sabrang, itu ditutup dengan doa oleh Kiai Sidik, yang menyampaikan semoga ilmu tentang lele sebagaimana tema diskusi Ambengan kali ini, dapat diterapkan untuk menunjang pendapatan keluarga.

Hasbunallah, Tari Bedana dan Remo

Performa kelompok musik Jamus Kalimasada, terlihat jauh lebih sempurna dan serius menggarab berbagai seni musik yang digubah KiaiKanjeng, maupun yang dimprovisasi sendiri oleh mas-mas Jamus Kalimasada. Ketika salam pembuka, dimainkan intro gabungan antara musik modern, gamelan dan seni tetabuhan hadroh. Dilanjutkan dengan tahlil dan Salawat Nariyah.

Gabungan antara musik dan salawat, memukau dan membuat jamaah yang baru berdatangan duduk khidmat menikmati suguhan awak Jamus Kalimasada menuntun jamaah dalam suasana khusuk.

Tari Remo
Tari Remo

Pasca itu, ada penampilan dari pelajar SD Negeri 4 Margototo yang membawakan Tari tradisional Lampung, Tari Bedana. Diiringi lagu khas Lampung, Tari Bedana membawa nuansa gembira dan warna tersendiri dibanding Ambengan sebelum-sebelumnya.

Tak pernah pada majelis Ambengan sebelumnya, ada kejutan semacam itu. Anak-anak berpakaian khas zapin, seragam hijau dan setelah gerakan tahtim, melenggang dengan ayunan kaki dan lambaian tangan yang apik. Wiraga anak-anak itu, membuat kebalikan dari proses kenikmatan mendengar suara tembang “kunci surga” dan salawat. Bendera merah putih ukuran kecil-kecil yang disiapkan penggiat, diangkat jamaah dan berkibar-kibar. Kemudian, dilanjutkan penampilan Nazwa Lailatul Izzah. Putri kepala dusun IV Margototo, Pak Daldiri, itu membawakan hafalan surat An Naba.

Tidak kalah atraktif dan memberi suasana perayaan HUT ke-71 kemerdekaan RI, penampilan dari PAUD Bhayangkara. Anak-anak berseragam Polri itu secara sigap berbaris, meski diwarnai saling balap ketika hafalan surat pendek, namun suara murni dari lafazd mereka, membawa ketulusan dan membumikan nilai-nilai maiyah yang terus diperjuangkan jamaah Ambengan. Doa harian dan aneka yel-yel khas PAUD Bhayangkara memberi kebahagiaan tersendiri bagi jamaah.

Bukan itu saja, tausiyah dari murid di TK Fauzan Akbar, Ananda Oca, putri Mas Gunawan, salah satu warga desa Margototo. Tidak kalah menghibur dan membawa nasehat yang bertema “Berbakti Kepada Orang Tua”. Sontak jamaah, semua tertawa ketika Ananda Oca menjelaskan dengan suara khas anak kecil. “Ibu, jasamu tiada tara, kau mengandung, melahirkan, mengandung lagi, melahirkan lagi, mengandung lagi, melahirkan lagi. Ada berapa ya anaknya?”

Kepandaian mengutip ayat dan hadist seputar pentingnya berbakti pada orang tua, terlihat memukau. Begitu ceramah itu ditutup, acara yang dimoderatori komdeian desa Margototo, Mas Samsun, itu dikomentari. “Ini luar biasa, bapaknya saja belum tentu bisa,” kontan saja, semua jamaah kembali tertawa.

Para orang tua, yang anak-anaknya berkesempatan tampil, terlihat nyaris menitikkan air mata.

Pidato selanjutnya dari siswi SMK Tunas Bangsa Lampung Tengah, Aninda Widyaningsih. Mengangkat tema tentang pentingnya kemerdekaan dan peran pemuda. Seiring dengan setahun Ambengan dan bertepatan dengan peringatan 17 Agustus sebagai hari raya kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah 71 Tahun merdeka, patriotisme dan nasionalisme semakin luntur di kalangan generasi muda.

Orasi kemerdekaan dari pelajar SMK Tunas Bangsa tersebut, seperti pidato yang membakar semangat anak-anak muda sebagai generasi penerus bangsa, dimana kehadirannya harus mampu menjawab tantangan dan bisa mengisi kemerdekaan. Menjaga toleransi dan merawat kerukunan.

Selanjutnya, deklamasi puisi oleh Adinda dari SMA Bumiratu Nuban, juga daru Lampung Tengah. “Puisi ini saya persembahkan khusus untuk Bunda Asmayati dan Bunda-bunda yang lainnya di seluruh Indonesia.”

Bunda Asmayati itu sendiri, oleh jamaah Ambengan sering dipanggil Bunda Iyah (Ibunya Maiyah Ambengan), istri Cak Sul. Deklamasi puisi yang dibacakan penuh penghayatan, serasa menyempurnakan tema berbakti pada orang tua, yang telah diceramahkan Ananda Oca dan pidato Aninda Widyaningsih sebelumnya.

Tari Bedana dan hafalan surat An Naba
Tari Bedana dan hafalan surat An Naba

Yang tidak kalah menarik, penampilan Tari Remo. Yakni, dibawakan langsung pemuda desa Margototo, Dimas Yoga – juara dua tingkat Provinsi Lampung. Gerak gemulai, gemricik gelang yang dihentak, kibasan sampur serta kendang khas tarian asal Jawa Timur, itu membawa majelis Maiyah Dusun Ambengan serupa pentas dan atraksi berbagai kebudayaan nusantara.

Keuntungan Budidaya Lele

“Modal untuk budidaya lele dari kolam sampai pakan, sekitar 8,5 juta. Berdasarkan pengalaman, modal 8,5 juta bisa untung sampai 5 juta bersih dengan waktu pemeliharaan sekitar 90 hari.”

Sebelum membahas tema utama, awak Jamus Kalimasada menghibur jamaah dengan dua nomor lagu Kolam Susu Koes Ploes dan Hujan Gerimis Benyamin S. Beberapa orang tua yang mengawal anak-anaknya beraktrasi – sebab banyak yang sudah mengantuk – mulai undur diri. Pulang lebih dulu.

Setelah anak-anak undur, Cak Sul langsung maju membawa harmoni maiyahan dengan mengajak, merapatkan duduk dan maju.

Dengan candaan khas, pasca anak-anak pulang, Cak Sul menertibkan majelis. Diiringi pemberitahuan, agar beberapa mobil yang berjajar di gang masuk Rumah Hati itu digeser lebih dulu sebab ada kendaraan lain yang tak bisa lewat.

Setelah suasana kembali tenang, Cak Sul membawakan pengantar, seputar mukadimah Lele Mina Waminkum. Kebetulan, ada Kiai Sidik, alumnus Ponpes Gontor yang juga maju dengan usaha budidaya ikan lele. Semoga bisa menjadi berkah tersendiri bagi kita, jamaah Ambengan.

Semua itu, jelas Cak Sul, agar tidak menjadikan semua warga desa sebagai orang yang buntu. Baik buntu ekonominya maupun cara berpikirnya. Sebelum beberapa narasumber dalam budidaya ikan lele itu maju, di panggil ke depan, jamaah berdiri mengibar-ngibarkan bendera merah putih, diiringi awak Jamus Kalimasada membawakan lagu Indonesia, milik Gombloh.

Bukan hanya atribut bendera kecil-kecil yang disiapkan, beranda kantor Komunitas Pendonor Darah Gratis (Monitor Artis) yang jadi bagian pelayanan Maiyah Dusun Ambengan bagi masyarakat juga dihias janur kuning. Kemeriahan perayaan kemerdekaan atau 17an serasa kembali hadir ketika semua jamaah menyanyikan lagu kebangsaan, Indonesia Raya. Termasuk teriakan “merdeka” serasa punya daya ungkit, daya gugah atas berbagai masalah yang dialami masyarakat desa.

Pembicara pertama, Pak Setiyanto dari Kota Gajah, Lampung Tengah. Presentasi tentang budidaya ikan lele bahkan terlihat serius seperti seminar dan diskusi formal. Selain ada slide, video testimoni dan layar yang menjelaskan tata cara dari pemijahan, pembuatan kolam, memproduksi pakan, bahan-bahannya, sampai bagaimana memisahkan kotoran ikan lele tanpa menguras kolam.

Pak Sugiyanto menjelaskan secara teoritis sekaligus praktis. Jamaah yang ingin menggeluti usaha budidaya ikan lele langsung bisa menangkap penjelasannya. Termasuk jamaah yang berasal dari Lampung Utara dan Gisting, Kabupaten Tanggamus yang secara khusus hadir untuk mendalami cara budidaya ikan lele.

Mas Baim yang menjadi moderator, lebih menajamkan pengetahuan tentang berapa modal, pakai kolam terpal atau semen, termasuk pengembangan abon lele. Jamaah yang berasal dari Kecamatan Jabung, menanyakan apakah bisa abon lele diganti dengan ikan patin yang banyak dan belum ada tempat pembuangan.

Pakai terpal lebih murah dibanding kolam semen atau batako. “Saya punya kolam dari terpal, bisa untuk gurame satu musim, patin, lalu lele sampai panen. Sekarang masih bisa digunakan, sudah tiga tahun.” Kata seorang jamaah,  Pak Suswanto.

Pak Suswanto, yang juga Kepala Desa Margajaya, Metro Kibang, menuturkan warga desanya banyak yang sudah budidaya untuk pemijahan, pembibitan ikan lele. Secara rinci, Pak Kades menjelaskan modal untuk budidaya lele dari kolam sampai pakan, sekitar 8,5 juta. Berdasarkan pengalaman, modal 8,5 juta bisa untung sampai 5 juta bersih dengan waktu pemeliharaan sekitar 90 hari.

Mas Baim bahkan menjelaskan, pemasokan ikan lele di Jakarta itu kurang. Berdasarkan pengalamannya di Jakarta, Lampung punya kesempatan untuk memasok ikan lele.

Pak Setiyanto, yang mengaku mundur dari PNS karena memilih menjadi praktisi budidaya ikan lele, bahkan berbagi kunci sukses. Yaitu, mau membuka diri, studi banding, dan berusaha. “Saya mengembangkan pendampingan di mana-mana, akan tetapi para praktisi yang tahu masalah dan kendalanya. Intinya, harus berani membuka diri, tanya sana-sini, study banding dan berusaha.”

Jamaah seperti Mas Budi Setiawan, menanyakan, banyak yang gagal juga dalam budidaya ikan lele. Terutama ketika panen, harganya jatuh. Setelah dihitung-hitung antara pakan dan biaya perawatan terutama waktu, tidak masuk atau merugi.

Pak Setiyanto, menjelaskan pentingnya berhimpun dalam kelompok pembudidaya ikan lele agar tidak dimainkan pasar atau para tengkulak. “Hari ini di tingkat petani, harga ikan lele jatuh. Ada yang 11 ada yang 12 ribu rupiah, tapi di pasar masih 20 ribu, makanya perlu berkelompok. Nah, kita sudah ada gabungan pembudidaya ikan lele, jadi harus gabung,” kata dia.

Suasana meriah Maiyah Ambengan edisi Agustus 2016.
Suasana meriah Maiyah Ambengan edisi Agustus 2016.

Pak Sukadi, salah satu praktisi ikan lele berbagi pengalaman juga. Di Lampung Selatan, sudah ada produksi ikan lele yang dibuat abon. Di sana ada kemitraan, ikan yang dibutuhkan juga sudah berton-ton, jadi kita harus mengembangkan kemitraan juga. “Soal pemasaran, lewat kemitraan itu baik yang anggota maupun bukan, masih bisa dijual harga Rp.15 ribu.”

Pedagang-pedagang dari Pelembang juga banyak yang mulai masuk ke daerah kita, di Lamsel, Lamtim, Lamteng, maupun Pringsewu. Pak Sukadi juga menegaskan, waktu panennya sudah disiapkan dalam waktu 60 hari, itu tekhnik menghindari pemborosan pakan. “Hitungan pakannya, per seribu ekor, sampai panen itu butuh 1 kuintal pakan.”

Teknik Budidaya Lele

Pak Sukadi menjelaskan sudah jatuh bangun dalam upaya budidaya ikan. Rugi sering, tak bisa dihitung. Akan tetapi kalau untung, bisa dihitung. Jadi berusaha itu memang tak bisa hanya dibilangkan manisnya ketika berhasil saja. Lebih utama, sebenarnya, memahami tekhnik budidaya secara benar. Dulu, kolam saya yang ukuran untuk tebar benih 7 ribu ekor, setelah tahu tekhnik kolamnya, sekarang bisa saya tanam 10 ribu ekor, irit pakan sampai 3 kuintal. “Insya Allah, dua hari lagi panen, jadi intinya, memahami tekhnik budidayanya.”

Menurut penjelasan Pak Sukadi, jenis lele ada Masamo, Sangkuriang dan Mutiara. Sangkuriang kepalanya agak besar, badannya gepeng. Sedangkan Mutiara, kepalanya agak belang. Semua punya keunggulan dan kekurangan. Akan tetapi intinya, persatu meter luas kolam dengan air setinggi 80 centimeter, harus tidak lebih dari 200 ekor.

Bagi kolam yang baru, mestinya dibersihkan dulu kadar airnya. Seperti di masukkan dulu daun kates, baru setelah seminggu diisi air, bibit ditebar.

Pak Setiyanto menjelaskan, pentingnya budidaya ikan lele itu tidak bisa hanya dengan diskusi dan mendengar pengalaman sukses dari praktisi. Meskipun sudah menonton videonya, karena problem budidaya itu banyak sekali. Seperti baru ditebar ikan sudah mati semua meski airnya sudah sesuai teori. Kasus semacam itu, ada yang selesai setelah diberi kepala ikan yang dihancurkan, hasilnya bibit yang ditebar bisa sampai panen. Berhasil. Hal-hal semacam ini tidak ada dalam teori budidaya, tetapi dialami oleh para praktisi. “Makanya perlu saling bertanya, sering diskusi semacam di Ambengan ini untuk bertukar pengalaman,” saran dia.

Pak Kades Margajaya, menutup cerita tekhnik budidaya ikan lele dengan berbagi pengalaman. Termasuk informasi seputar pengolahan ikan. “Polinela Lampung itu kalau ada yang ingin diberi pelatihan seperti cara membuat abon dari lele, ikan patin atau yang lain, bisa didampingi dan itu gratis.”

Cak Sul menjelaskan, sebelum dipuncaki dengan hadirnya Gus Sabrang. Warga yang ingin serius membuka kelompok budidaya ikan lele atau yang lain, bisa di sini. Karena Rumah Hati yang menaungin Ambengan ini terbuka untuk itu semua. “Silahkan kita bersama-sama memanfaatkan apa saja sepanjang untuk kemerdekaan dan kebangkitan warga.”

Kebetulan ada Pak Camat Metro Kibang dan Pak Kepala Desa Margototo yang tentu saja pasti suport jika warga beraktivitas di berbagai bidang, terutama di sektor ekonomi kreatif. “Pak Kades bisa memelopori rakyatnya. Misalnya membentuk asosiasi pemasaran budidaya lele. Nanti Pak Kades pasti aman kantongnya, ndak bakal kerepotan ngembaliin rantang (kondangan hajatan warga, red) dan bisa leluasa nyawer biduan”, canda Cak Sul disambut gelak tawa jamaah.

Acara ditutup pada pukul 01.20 WIB dengan “santap saur” bersama dengan lauk… Ikan lele.

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta