Leda-lede, Isuk Kedele Sore Tempe
Ta’qid“Sedangkan kita bersujud sembahyang dengan tujuan agar nafkah kita lancar. Pergi umroh untuk naik jabatan atau terhindar dari petugas pemberantasan korupsi”
Ali, sendirian, berani makar terhadap Pemerintahan Adikuasa, yang Arab Saudi pengawal Ka’bah dan Haramain saja menjadi hamba sahayanya hingga hari ini. Ali menolak keputusan raksasa untuk wajib militer dan berperang menjajah Vietnam.
Ketika itu ia masih Muallaf, belum detail pengetahuan Islamnya, dan tidak karena ia sudah mengenali firman “seburuk-buruk makhluk adalah yang pekak, tuli, buta dan tidak menggunakan akalnya”. Ali adalah “ro’un” atas dirinya sendiri. Ali adalah pemimpin genuine atas dirinya sendiri.
Letak ‘juara’ Ali adalah pada kesanggupan jihadnya untuk mendamaikan dirinya sendiri. Kondisi muthmainnah itu Ali menginstiqamahinya. Maka bukan keputusan besar sama sekali bagi Ali untuk menolak wajib militer dan pergi berperang ke Vietnam.
“Saya tidak pernah kenal, bergaul atau punya masalah dengan rakyat Vietnam”, kata Ali, “kenapa saya harus pergi ke sana dan membunuhi mereka?”
Ali dicampakkan ke dalam Bui 3,3 tahun, dicopot gelarnya sebagai Juara Tinju Dunia, pada usia peak-time di mana tak seorang petinju lainnya sanggup mengalahkannya. Miliaran dolar ia relakan. Popularitas sejagat raya ia ikhlaskan. Siapakah Ali, kalau bukan seorang Zahid? Sedangkan kita orangtua-orangtua murid membeli jawaban soal Ujian SD empat juta rupiah hanya untuk pura-pura lulus.
Sedangkan kita hutang-hutang uang untuk membayar penduduk agar menjadi Lurah. Sedangkan Pilkada bergelimang money politic untuk membayar kerendahan budi pekerti. Sedangkan kita memilih pucuk pimpinan Negara dengan membiarkan Ya’juj Ma’juj membiayai calon yang dipilih untuk disetir, dikendalikan, digiring, disuruh-suruh dan menomorduakan kemuliaan mau mati untuk rakyatnya.
Sedangkan kita mencetak-digitalkan wajah-wajah kita untuk kita perhinakan lewat baliho dan poster-poster di pinggir jalan. Sedangkan janji pahala dari Tuhan kita standarisasikan seakan-akan kita adalah stafnya Allah Swt yang berhak memastikan kehendak-Nya. Sedangkan kita bersujud sembahyang dengan tujuan agar nafkah kita lancar. Pergi umroh untuk naik jabatan atau terhindar dari petugas pemberantasan korupsi.
Ali membuang aksesnya, kariernya, kekayaannya, peluang-peluang kebesaran dunianya. Juga nyawanya. Karena tindakannya menolak berperang di Vietnam membawanya ke posisi face to face dengan Pemerintah Adikuasa. Bukankah seluruh dunia, seluruh Negara, seluruh tokoh dan kekuatan apapun di seluruh permukaan Bumi takluk di cengkeramannya?
Tentu saja kecuali Negeri ‘Imam Mahdi’ yang tak bisa disentuh oleh kuku-kuku kuasa Dajjal abad 18 hingga 21. Juga kecuali Ya’juj Ma’juj yang memperdaya si Adikuasa, yang mengikis perekonomiannya, yang memanfaatkan sejarah kediktatoran sosialisme untuk ‘imamah’ mengikat erat dan memobilisasikan miliaran rakyatnya.
Markesot hidup di tengah bangsa yang leda-lede, isuk kedele sore tempe, yang kehilangan kepribadian dan tidak punya pendirian. Bangsa yang sangat menikmati kemunafikan, yang amat meremehkan ilmu dan kebenaran, yang sangat ulet memanfaatkan simbol-simbol kebaikan untuk topeng wajah, yang gayanya paling religius, paling bergelimang Tuhan, tetapi remeh luar biasa tujuan hidupnya. Ialah mencari laba uang, harta, keduniaan, dengan menjual martabat dan harga dirinya sendiri sebagai bangsa, serta menggadaikan faktor-faktor Langit apa saja yang bisa dikapitalisasikan.
Dan Muhammad Ali, sendirian, melawan Dajjal Adikuasa. Dan menang. Bahkan ketika ia sudah menjadi jenazah, seluruh Bangsa dan kumpulan Negara-negara Adikuasa tak berani membuang ke’Ali’annya. Ia dimakamkan dengan nilai dan cara sebagaimana ia seharusnya dikuburkan. Mike Tyson, Lennox Luwis dari Inggris, dan Will Smith pemeran Ali dalam film, memanggul keranda beliau Muhammad Ali.
Min haitsu la yahtasib. Berlangsung tidak seperti yang ilmu manusia menghitung atau menduganya. Di dalam penjara itulah Allah meng-adegan-kan dan meng-agenda-kan jadwal Muhammad Ali disinari cahaya Islam. Momentum itu pulalah yang membuat seluruh dunia dijebak oleh kapitalisme sendiri: justru karena melawan Pemerintah Adikuasa, menolak membunuh orang dan bertapa di Bui — ‘harga’ Ali menjadi meroket naik ke angkasa.
Dunia olahraga dan semua olahragawan sangat berterima kasih kepada Ali karena telah mendongkrak taraf penghidupan mereka secara berlipat-lipat. Foreman yang ditumbangkan oleh Ali ronde-8 di Zaire, berterima kasih kepada Ali. Frazier saja lima kali terjungkal-jungkal oleh Foreman. Tak ada yang berani mengatakan bahwa Foreman bisa dikalahkan oleh petinju manapun. Tapi Ali 32 tahun meng-KO Foreman 24 tahun di puncak kejayaannya.
Foreman bilang tidak ada alasan apapun kenapa ia bisa kalah oleh Ali, karena pertandingan tinju hanya agenda sangat kecil dalam semesta hubungan antara Foreman dengan Ali. Frazier juga merasa terhina oleh Ali karena selama tiga kali bertanding, Ali selalu mengatakan kepadanya “Jangan pukul aku, jangan, aku ini tuhanmu….”