CakNun.com
Reportase Kenduri Cinta Februari 2016

Kufur Award – Manipulasi Citra, Kapitalisasi Pencitraan

Kenduri Cinta
Waktu baca ± 43 menit

“Selama kita masih terseret-seret oleh prekonsepsi kita, maka kita akan mudah termakan oleh Pencitraan. Dan untuk melatihnya (agar tidak terseret-seret oleh prekonsepsi), tidak bisa dilakukan hanya sekali dua kali, tetapi dilakukan setiap hari”, lanjut Sabrang.

Apa yang terjadi di masyarakat saat ini adalah bahwa publik hanya disuguhi oleh potret-potret yang tercerai berai, yang kemudian dirangkai oleh alat pencitraan, baik itu media masa atau asumsi dalam setiap orang itu sendiri, seringkali dicerna langsung tanpa ada pemilahan apalagi penelitian yang lebih mendalam. Kita tidak berhak menjustifikasi bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang adalah sebuah kepalsuan atau manipulasi citra melalui pencitraan, tetapi kita juga jangan sampai kehilangan kewaspadaan dalam diri kita tentang dugaan itu. Dengan semakin banyak kita mengambil dan mencari informasi tentang seseorang dan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita, semakin terlatih pula kewaspadaan dalam diri kita.

Sabrang menjelaskan bahwa memang sangat sulit untuk menjustifikasi dan mengumumkan kepada banyak orang bahwa apa yang dilakukan oleh seseorang adalah pencitraan atau bukan, tetapi dengan kewaspadaan yang terlatih kita akan mampu merasakan bahwa ada sesuatu yang berbeda dan salah ketika seseorang melakukan pencitraan. Ibaratnya, ketika kita meminum teh dengan gula yang terlalu banyak pasti akan terasa bahwa minuman teh itu terlalu manis karena terlalu banyak gula. Dengan pola yang teratur dan kita pelajari, maka kita akan dapat dengan mudah menentukan sebuah informasi adalah pencitraan atau bukan. Tetapi kalau kita tidak terlatih untuk waspada, maka yang paling dominan dalam diri kita adalah prasangka. “Kalau kita tidak punya standar ukuran reaksi kita terhadap informasi, yang ada adalah prasangka. Dan prasangka itu tidak ada dasarnya”, lanjut Sabrang.

Ketika kita terlatih untuk waspada dengan standarisasi objektifitas kita dalam menyerap informasi, maka kita akan dapat dengan mudah menentukan mana informasi yang berupa Citra dan mana informasi yang berupa Pencitraan. Disinilah Sabrang kemudian menjelaskan pentingnya jarak pandang dalam memahami sebuah informasi. “Kadang-kadang perlu jarak pandang untuk melihat kejernihan informasi. Kadang-kadang juga perlu mendekat untuk mempertinggi resolusi pandangmu. Cara pandangmu perlu diubah untuk melengkapi informasi dan sudut pandangmu diperkaya untuk memperbanyak input yang ada dalam dirimu”, Sabrang memungkasi.

Gus Mus, Sabrang (Noe Letto) dan Cak Nun
Gus Mus, Sabrang (Noe Letto) dan Cak Nun

Tri Mulyana kemudian menggali lebih dalam dari Sabrang dengan melempar pertanyaan bagaimana menyikapi apa yang terjadi saat ini di mana kita selalu dijejali informasi-informasi yang kemudian justru membangun prekonsepsi dalam diri kita. Hal ini kemudian membuat kita sering mudah menjustifikasi sesuatu. Derasnya arus informasi yang sampai kepada kita membuat kejernihan resolusi pandang kita menjadi pudar.

“Anda tidak akan pernah bisa memfilter informasi yang anda terima. Karena ketika anda menonton sebuah tontonan, karena anda tidak akan tahu apa yang akan anda tonton. Ketika anda sudah tahu bahwa tontonan itu harus difilter, ternyata tontonan itu sudah terlanjur masuk ke dalam diri anda. Jadi yang difilter adalah bukan informasi yang masuk melainkan bobot informasi yang masuk. Mana informasi yang memang harus dicatat, mana yang harus dipinggirkan, mana yang hanya sebatas wacana dan seterusnya. Jadi bobot informasinya yang harus ditata”, Sabrang menjelaskan.

Sabrang sedikit bercerita yang pernah dibahas di Grup Diskusi Martabat di Yogyakarta. Ketika membahas tentang validitas sebuah informasi, dimana informasi yang ada saat ini memiliki tingkatan yang berbeda mulai dari wacana hingga yang ‘ainul yaqin. Sabrang menggambarkan bagaimana air yang kotor dapat menjadi air yang jernih setelah melewati sekian tahap penyaringan dengan berbagai media penyaringan, mulai dari pasir, batu, dan media-media yang lain hingga akhirnya bisa menjadi air yang jernih kembali. Seperti itulah seharusnya kita melakukan penyaringan terhadap informasi, proses penyaringannya tidak hanya melalui satu tahap melainkan melewati beberapa tahap hingga informasi itu menjadi sebuah informasi yang jernih.

“Saya tidak melarang adanya prekonsepsi, lho. Skema prekonsepsi dalam diri kita itu penting. Kenapa (prekonsepsi) itu sangat naluriah dan menancap dalam diri kita, karena itu memudahkan dalam hidup kita”, lanjut Sabrang. Dalam kehidupan kita sehari-hari, kita sudah terbiasa rutin dalam melakukan sebuah pekerjaan. Misalnya seorang pekerja yang setiap hari menggunakan sepeda motor menuju tempat ia bekerja, ia sudah menentukan dimana ia meletakkan kunci, helm, tas kerja hingga sepatu yang akan ia gunakan. Semua hal itu tidak perlu difikir ulang karena konsepnya sudah tertanam dalam akal pikirannya. Yang perlu diperjelas adalah bagaimana kita menyadari apakah prekonsepsi terhadap sesuatu yang ada di sekitar kita benar-benar sudah tertanam dalam diri kita atau merupakan produk infiltrasi dari luar diri kita.

Lubis, salah satu jamaah awal Kenduri Cinta memberikan respon dengan memotret kehidupan demokrasi di Indonesia saat ini. Menurutnya, sebenarnya tema citra dan pencitraan ini sudah selesai dibahas di Kenduri Cinta sejak lama. Dan Lubis beranggapan, kehidupan demokrasi yang dibangun di Indonesia saat ini menjadikan setiap orang menghalalkan segala cara agar mereka menjadi orang yang terpilih dalam sebuah pemilihan umum, termasuk dengan cara pencitraan dengan membayar media masa untuk mencitrakan dirinya agar lebih dikenal oleh masyarakat luas.

Demokrasi di Indonesia menurut Lubis tidak akan menghasilkan pemimpin-pemimpin yang benar-benar akan berjuang untuk rakyat karena yang terjadi dalam sistem demokrasi saat ini, ketika pemilihan umum berlangsung setiap orang yang mencalonkan dirinya berkompetisi satu sama lain demi tujuan berkuasa di Indonesia. Sedangkan sebenarnya masyarakat Indonesia sudah memiliki azas kekeluargaan yang sangat bertentangan dengan sistem kompetisi.

Saptar merespon pemapran Sabrang dan sepakat bahwa saat ini kita dibanjiri informasi yang begitu banyak dan kita tidak mampu untuk membendungnya, sehingga kita pada akhirnya tidak mampu mengelola informasi tersebut dan tanpa menghitung ulang justru kemudian kita berani mengimplememntasikan dalam kehidupan kita.

Sabrang merespon apa yang disampaikan oleh Lubis, bahwa yang menjadikan orang saat ini mau mengikuti kompetisi untuk menjadi pemimpin karena ada ekses ekonomi didalamnya. Sabrang memberi sebuah contoh sederhana ketika dalam pemilihan ketua kelas, setiap siswa akan saling tunjuk satu sama lain, dan tidak mau menjadi ketua kelas karena tidak ada ekses ekonomi disitu. Hal yang sama terjadi dalam sebuah komunitas seperti geng motor misalnya. Sebuah organisasi yang tidak ada pretensi dan tidak ada ekses ekonomi akan lebih sulit memilih pemimpin, karena tetapi ketika sebuah organisasi memiliki peluang keuntungan ekonomi yang menggiurkan, maka akan terjadi kompetisi dalam setiap pemilihan pemimpin didalamnya. Sehingga yang terjadi kemudian adalah kapitalisasi pencitraan, karena dalam dunia kapitalis apapun yang menghasilkan uang akan dijual. Karena saat ini pencitraan menjadi sebuah produk yang mampu menghasilkan uang, maka terjadilah kapitalisasi pencitraan.

“Jangan adu kebenaran, tetapi saling melengkapi kebenaran”, Sabrang menjelaskan bahwa yang menjadi persoalan bukanlah kebenaran Tuhan, karena kebenaran Tuhan bersifat absolut dan tidak terbantahkan. Yang menjadi persoalan adalah tingkat pemahaman kita terhadap kebenaran Tuhan itu tadi. Setiap orang memiliki batas maksimal yang berbeda satu sama lain dalam memahami kebenaran Tuhan, sehingga yang harus dilakukan bukan merasa paling benar, melainkan saling melengkapi kebanaran. Yang terjadi kemudian adalah, seseorang yang memiliki batas lingkaran pemahaman yang lebih luas tentang kebenaran akan memaklumi orang lain yang memiliki batas lingkaran pemahaman yang lebih kecil tanpa ada rasa marah, bahkan mampu menjadi fihak yang mengasuh seperti seorang ayah kepada anaknya. Sabrang mencontohkan ketika ditanya oleh anaknya dengan sebuah pertanyaan; Apakah Tuhan memiliki mata untuk melihat?

Jika seorang Ayah menjawab dengan jawaban; “Iya, Tuhan memiliki mata untuk melihat”, yang akan terjadi ketika pengetahuan sang anak berkembang di masa depan tentang Tuhan, maka dia akan merasa dibodohi oleh Ayahnya. Yang dilakukan oleh Sabrang kemudian adalah membalikkan pertanyaan tersebut kepada anaknya; “Menurut Nawai, Tuhan itu melihat dengan apa?”, dan dijawab oleh Nawai; “Tuhan kan Maha Melihat, maka menurut Nawai  Tuhan melihat dengan mata”, kemudian Sabrang mengunci pernyataan Nawai pada kalimat; “Menurut Nawai”, sehingga yang dilakukan Sabrang adalah menggunakan limitasi pemahaman Nawai untuk menjawab pertanyaan Nawai sebelumnya. Dan jika kelak Nawai memiliki pemahaman tentang informasi tersebut dengan kebenaran yang baru, Nawai tidak merasa dibodohi, karena jawaban itu adalah berdasarkan pemahamannya sendiri tentang kebenaran yang ia pertanyakan kepada Ayahnya.

Menambahkan penjelasan tentang derasnya informasi yang masuk ke dalam diri manusia, Sabrang menjelaskan bahwa informasi sebanyak apapun yang masuk ke dalam diri manusia itu jangan dijadikan masalah, karena saat ini semua informasi akan masuk tanpa sadar kedalam otak manusia tanpa filter, terkadang informasi itu masuk melalui radio yang kita dengarkan, melalui tayangan televisi yang kita tonton, melalui berita di surat kabar, melalui postingan-postingan di media sosial di internet, semuanya masuk tanpa sadar dan tanpa kita filter.

Sabrang mengibaratkan otak manusia adalah sebuah tempat sampah, kemudian Sabrang melemparkan sebuah pertanyaan; “Anda memilih untuk tidak punya televisi atau tidak punya tempat sampah?”. Sabrang kemudian menjelaskan bahwa kita hidup di dalam sebuah rumah yang di dalamnya tidak hanya terdapat tempat sampah. Ada informasi yang memang harus kita letakkan di dalam kamar, ada yang kita simpan di lemari dan ada juga yang kita buang di tempat sampah. Manusia diberi hak prerogatif untuk mengatur bagaimana informasi itu diolah.

“Pengetahuan yang banyak itu ndak salah sama sekali dan sangat baik karena itu memperluas pengetahuan kita. Tetapi kita perlu memfilter dahulu informasi tersebut, mana yang harus diletakkan di kamar, mana yang harus diletakkan di lemari, dan mana yang harus diletakkan di tempat sampah”, lanjut Sabrang. Salah satu yang dicontohkan oleh Sabrang adalah informasi tentang Iman dalam Islam. Yang dilakukan oleh manusia adalah informasi tersebut langsung diletakkan di dalam kamar, hal ini bukan karena kita tidak perlu mempertanyakan lagi tentang kebenaran tentang Iman, secara otomatis kita tidak akan perlu mempertanyakan lagi tentang Iman, sehingga informasi tentang Iman langsung disimpan di dalam kamar, bukan di lemari bukan di gudang apalagi di tempat sampah. Bahwa di kemudian hari kita mencari informasi tentang Iman, itu merupakan proses perjalanan kita terhadap pemahaman kita untuk mengembangkan pengetahuan kita tentang kebenaran Iman itu sendiri.

Seperti halnya orang yang sudah sering melakukan perjalanan menggunakan mobil dari Jakarta menuju Yogyakarta, karena sudah terbiasa dengan perjalanan itu maka dia tidak memerlukan lagi peta, GPS apalagi harus bertanya kepada orang di pinggir jalan. Karena rute perjalanan dari Jakarta menuju Yogyakarta sudah dia pegang dan sudah dia percayai, bahwa di kemudian hari dia menemukan rute yang baru dan lebih cepat, itu merupakan hasil dari proses perjalanan yang ia lakukan. Berbeda dengan orang yang baru pertama kali melakukan perjalanan darat menggunakan mobil dari Yogyakarta menuju Banyuwangi, misalnya. Maka GPS, Peta dan bertanya kepada orang di pinggir jalan menjadi sebuah media bantuan selama perjalanan agar dia sampai ke tempat tujuan di Banyuwangi.

Sabrang kemudian menjelaskan bagaimana Efek Dunning Kruger melanda di Indonesia. Efek Dunning Kruger adalah sebuah kondisi di mana seseorang merasa lebih hebat dari orang lain pada umumnya, sehingga yang terjadi adalah berasumsi bahwa orang lain mengerjakan sesuatu itu bukan atas dasar kompetensinya. Seperti halnya ketika seseorang berlibur ke sebuah tempat wisata, karena yang dirasakan hanya beberapa hari di lokasi wisata tersebut, maka kesan yang ia tangkap lebih banyak kesan yang indah. Kesan yang berbeda akan dimiliki oleh orang yang tinggal di wilayah tersebut, mereka akan memiliki kesan yang biasa saja karena setiap hari melihat semua yang dikagumi oleh wisatawan yang datang ke tempat mereka. Kita lebih sering merasa lebih hebat pemahaman kita daripada orang lain, sehingga kita lebih sering untuk mudah menyalah-nyalahkan. Kita sangat sukar untuk berendah hati dan memahami posisi dan kondisi orang lain yang sebenarnya belum tentu kita pernah merasakan apa yang mereka rasakan. Ketika kita menghakimi kinerja pejabat yang menurut kita tidak becus, kita sangat jarang mempertanyakan kepada diri kita bahwa belum tentu juga kita akan berlaku benar ketika berada di posisi pejabat yang kita salahkan itu.

Sabrang kemudian bercerita ketika awal-awal kemunculan Letto di dunia industri musik Indonesia, mau tidak mau Sabrang harus mengikuti keinginan yang dimaui oleh Industri Musik. Penampilan, gaya hidup, perilaku hingga harus tetap tersenyum ketika berada di depan kamera, semua dilakukan oleh Sabrang, karena Industri musik menuntut itu. Sebagai seorang vokalis, Sabrang harus menuruti apa kemauan industri musik di Indonesia karena vokalis adalah seorang pemimpin bagi sebuah grup musik. Semua yang dialaminya itu kemudian pada suatu hari Sabrang merasa risih dan malu dengan semua itu. Setelah meruntut ke masa lalu, Sabrang akhirnya menemukan jawaban bahwa ketika masih berada di bangku SMA, Sabrang seringkali mengejek penampilan para artis dan selebritis yang menurutnya hanya sebuah rekayasa dan dibuat-buat. Ternyata, beberapa tahun kemudian Sabrang berada di posisi tersebut, menjadi artis. Barulah kemudian Sabrang memahami mengapa seorang artis harus berlaku sedemikian rupa demi tuntutan industri.

Dalam kehidupan sehari-hari kita seringkali merasa lebih paham atas kondisi orang lain di mana sebenarnya kita tidak memahami dengan pasti kondisi yang dialami oleh orang lain itu. Kita lebih sering mampu menyalahkan, mengkritisi tanpa mau mempelajari dan memahami kebenaran yang diyakini oleh orang lain. Tidak ada salahnya kita mempelajari kebenaran yang diyakini oleh orang lain karena tidak kemudian berarti kita mengadopsi kebenaran orang lain menjadi kebenaran yang kita yakini. Sehingga kita mampu mengambil sikap ketika suatu saat kita berada di posisi yang sama. Satu contoh, ketika seorang Gubernur mengambil keputusan tentang sebuah kebijakan kemudian kita ketahui bahwa kebijakan tersebut diambil karena tekanan oleh orang-orang yang menjadi sponsornya ketika pemilihan Gubernur, paling tidak setelah kita mengetahui informasi tersebut jika suatu saat kita memang akan maju kedalam pemilihan Gubernur, kita berani mengambil langkah untuk tidak dipengaruhi oleh orang-orang yang berniat menjadi sponsor kita, bahkan kita berani menolak mereka yang bertujuan ingin mnejadi sponsor kita, karena kita sudah memiliki pengetahuan bahwa dunia politik di Indonesia seringkali dipengaruhi oleh orang-orang yang menanam saham ketika pemilihan umum berlangsung, sehingga di kemudian hari pejabat yang terpilih akan mendapat banyak tekanan dan intervensi dalam setiap pengambilan keputusan terhadap sebuah kebijakan.

Merespon pemaparan Lubis tentang sistem Demokrasi, Sabrang menjelaskan bahwa yang salah bukanlah sistemnya yang diadopsi oleh sebuah Negara atau kelompok masyarakat, tetapi yang harus disalahkan adalah manusia yang terlibat di dalamnya. Salah satu fenomena yang sudah terjadi di Indonesia ketika pemilihan umum berlangsung adalah masyarakat yang memilih untuk tidak memilih (golput) jumlahnya lebih banyak daripada masyarakat yang berpartisipasi untuk ikut memilih ketika pemilihan umum berlangsung. Dari fenomena ini menurut Sabrang menunjukkan bahwa cara berfikir masyarakat Indonesia sudah benar, bukan dalam rangka membenarkan perilaku golput-nya, tetapi masyarakat Indonesia sudah memahami bahwa sistem yang ada saat ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak pantas menjalankan sistem yang ada, bukan sistemnya yang salah melainkan manusianya.

“Masyarakat saat ini tidak hanya dipimpin oleh regulasi, masyarakat saat ini terutama dipimpin oleh Kapitalisme, dan dalam dunia kapitalisme yang paling penting adalah uang”, lanjut Sabrang yang kemudian menjelaskan bahwa dengan uang yang kita miliki kita mampu melakukan perlawanan bahkan menghancurkan sistem kapitalisme yang berkuasa saat ini. Karena kekuatan kapital sekuat apapun di dunia ini konsumennya adalah rakyat, sehingga yang mampu menghancurkan kapitalisme adalah rakyat itu sendiri. Sabrang memberi sebuah contoh: konsumsi beras. Jika memang kita mencintai Indonesia, maka kita harus berani membeli beras yang hanya merupakan hasil petani Indonesia, bukan beras impor. Jika dengan mengkondisikan pemanfaatan uang ini sudah bisa kita lakukan, maka kita tidak akan terpengaruh dengan kondisi ekonomi global, karena kita akan hidup berdasarkan kondisi yang ada di sekitar kita. Selama ini kita menghabiskan uang kita karena terlalu banyak prekonsepsi yang ada di kepala kita, sehingga ketika kita membeli sebuah produk lebih sering karena pencitraan-pencitraan yang kita lihat, bukan berdasarkan apa yang benar-benar kita inginkan. Sabrang menjelaskan seandainya lingkungan di sekitar kita sudah mampu menggunakan uangnya dengan benar, maka untuk melawan kapitalisme tidak perlu dengan revolusi.

Manipulasi Citra, Kapitalisasi Pencitraan

Setelah penampilan instrumen musik gitar yang membawakan lagu Tombo Ati dan beberapa nomer lain, kemudian Jojo and Friends membawakan lagu “Flashlight” milik Jessie J dan “Dealova” yang dipopulerkan oleh Once. Sabrang yang ada pada saat itu tak luput dari ‘todongan’ untuk turut menyumbangkan suaranya dengan beberapa nomor milik Letto; “Ruang Rindu” dan “Sebelum Cahaya” diiringi oleh Jojo and Friends.

Ibrahim kemudian mempersilahkan Gus Mustofa (Gus Mus) dari Lampung dan Mulyadi Tamsir ketua PB HMI yang baru saja terpilih untuk bergabung di panggung Kenduri Cinta untuk membahas tema Kenduri Cinta lebih mendalam.

“Kalau kita berbicara dalam dunia politik, citra adalah kesan yang menggambarkan jatidiri seseorang. Tetapi hari ini, citra yang ditampilkan oleh para tokoh-tokoh pemimpin saat ini bukanlah citra yang sebenarnya, melainkan tidak ubahnya seperti parfum yang dijual di pasar-pasar. Jadi, yang dilakukan oleh para politisi saat ini adalah pencitraan yang dilakukan untuk mengharumkan nama mereka saja”, Mulyadi Tamsir membuka pemaparannya tentang citra dan pencitraan.

Fenomena politik pencitraan yang marak akhir-akhir ini menurut Mulyadi Tamsir juga diperparah dengan kondisi masyarakat Indonesia yang saat ini memang lebih menikmati pencitraan-pencitraan yang disajikan melalui media masa, baik elektronik maupun cetak. “Hari ini, orang-orang yang terpilih menjadi pejabat adalah orang-orang yang sebenarnya tidak memiliki visi dan tidak memiliki niatan untuk memperbaiki, melainkan orang-orang yang pintar mengumbar janji“, lanjut Mulyadi.

Pencitraan politik yang dilakukan oleh para politisi merupakan sebuah upaya di mana tujuannya adalah terbangun sebuah kesan bahwa orang yang melakukan pencitraan mendapat citra yang baik di mata masyarakat Indonesia. Kondisi ini yang menurut Mulyadi kemudian berimbas pada hasil output Sistem Demokrasi yang tidak seperti yang diharapkan. Sistem Demokrasi yang seharusnya melahirkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia justru melahirkan kesenjangan sosial dan ke-tidakadil-an bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Mulyadi Tamsir, masyarakat Indonesia juga harus melakukan introspeksi diri terkait keputusan dalam menentukan pilihan, artinya jangan hanya terbuai dengan pencitraan-pencitraan yang ditampilkan sehingga di kemudian hari ketika mendapati pilihan yang dipilh ternyata salah, yang terjadi bukan hanya menyalahkan orang yang dipilih karena mereka yang saat ini menjadi pejabat baik di tataran daerah maupun pusat juga merupakan hasil dari campur tangan rakyat ketika pemilihan umum berlangsung.

Gus Mustofa, salah satu pengasuh pondok pesantren dan dosen program master di bidang hukum di perguruan tinggi Lampung turut hadir di Kenduri Cinta. Di awal, Gus Mus mengajak seluruh yang hadir berdo‘a bersama untuk kebaikan bersama, Gus Mus juga selalu mengajak semuanya mendoakan untuk kesehatan dan keselamatan untuk Cak Nun dan keluarga sebelum menyampaikan paparannya.

Secara singkat Gus Mus merespon tentang Manipulasi Citra dan Kapitalisasi Pencitraan. Secara sederhana, Gus Mus menyatakan bahwa manipulasi adalah ngapusi, citra itu adalah sesuatu yang baik, sedangkan kapitalisasi adalah modal, dan pencitraan adalah sesuatu yang sifatnya negatif. Singkat dan jelas. Berangkat dari sebuah ayat didalam Al Aur‘an; Arrijaali qowwamuuna ‘alaa-n-nisaa‘, Gus Mus kemudian menjelaskan bahwa kriteria yang paling utama sebagai pemimpin didalam Al Qur‘an adalah seorang laki-laki. Tentu penafsiran ayat ini bisa beragam.

Gus Mus kemudian bercerita bagaimana Rasulullah SAW membangun citranya dimata masyarakat, salah satu perilaku yang sering dilakukan oleh Rasulullah SAW sebelum menerima wahyu yang pertama melalui malaikat Jibril adalah berkhalwat di Gua Hira‘. Menurut Gus Mus, jika diruntut sejak kerasulan Nabi Ibrahim AS, maka apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika berkhalwat di Gua Hira‘ merupakan aplikasi dari peng-Esa-an Tuhan. Rasulullah SAW dalam fase ini mengalami guncangan batin yang sangat bergejolak, hingga akhirnya Jibril kemudian menyampaikan wahyu yang pertama kepada beliau. Khalwat yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah salah satu fase di mana Rasulullah SAW membangun citra, tetapi bukan berarti bahwa Rasulullah SAW sejak kecil mencita-citakan dirinya menjadi seorang Rasul, melainkan semua prosesnya terjadi secara alamiah. Jika kita mempelajari sejak kehidupan di masa kecil beliau, lahir dalam keadaan yatim, kemudian Ibunya meninggal ketika beliau masih kecil, kemudian memperoleh gelar Al Amin karena memang beliau benar-benar menjadi orang yang sangat bisa dipercaya oleh banyak orang, dan sederet peristiwa-peristiwa lainnya yang hingga akhirnya memunculkan citra yang baik dalam diri Rasulullah SAW.

“Abu Bakar Ash Shiddiq sebenarnya berusia lebih tua daripada Rasulullah SAW, tetapi beliau sangat taat, sangat patuh kepada Rasulullah SAW dan membenarkan setiap ucapan Rasulullah SAW. Beliaulah orang kedua yang beriman setelah Siti Khadijah“, Gus Mus melanjutkan penjelasan tentang citra dengan menarik kepada sejarah Islam di masa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidiin. Gus Mus menjelaskan salah satu alasan mengapa Abu Bakar terpilih menjadi Imam pasca Rasulullah SAW wafat adalah karena senioritas itu, sedangkan Umar Bin Khattab terpilih menggantikan Abu Bakar karena keberanian yang dimilikinya. Umar Bin Khattad adalah seorang pemberani, seorang ahli strategi perang, seorang pendekar yang ahli gulat yang berwibawa namun zuhud. Dan pada zaman Umar Bin Khattab, ekspansi dakwah Islam semakin luas melalui penaklukan-penaklukan daerah yang lain. Pribadi Umar Bin Khattab yang pemberani inilah yang menjadi salah satu kelebihan Umar bin Khattab. Jika kita membaca sejarah bagaimana Umar bin Khattab kemudian memutuskan untuk masuk Islam, di situlah kita melihat bagaimana Rasulullah SAW mampu menaklukan Umar yang begitu meledak-ledak, sehingga Umar kemudian memutuskan untuk bersyahadat kepada Allah dan Rasulullah. Sedangkan Utsman adalah orang yang sangat lemah lembut, sangat dermawan karena kekayaannya yang melimpah. Alasan inilah yang juga menjadi pertimbangan terpilihnya Utsman menjadi pengganti Umar bin Khattab. Dan salah satu kelebihan Ali bin Abi Thalib adalah kecerdasannya yang menjadi salah satu alasan mengapa Ali terpilih menjadi pengganti Utsman bin Affan.

“Siapa yang pencitraannya hanya untuk dirinya, dia akan ditelan oleh dirinya sendiri. Tetapi kalau pencitraannya dilandasi fii sabilillah, berjuang di jalan Allah, maka Allah lah yang akan memolesnya“, lanjut Gus Mus.

Gus Mus kemudian mengutip salah satu ramalan Ki Jongko Joyoboyo yang kaitannya dengan kapitalisme; “mbesuk nek kowe nemoni jaman iki kali wis ilang kedunge, pasar wis ilang kumandange“. Dari satu kutipan ini Gus Mus mengambil potret dengan apa yang terjadi saat ini di mana ada beberapa hewan-hewan yang seharusnya tinggal di sungai, kemudian justru muncul di daratan, salah satunya adalah Buaya. Beberapa kali kita melihat fenomena buaya ditemukan di selokan, bukan di sungai-sungai. Begitu juga yang terjadi di dunia perdagangan modern saat ini, di mana transaksi jual beli di supermarket atau minimarket sudah menggerus tradisi dan budaya komunikasi antara pembeli dengan penjual. Jika seseorang membeli barang di sebuah minimarket, tidak dibutuhkan lagi budaya komunikasi antara pembeli dengan penjual, pembeli cukup mengambil barang yang hendak dibeli kemudian membayarnya di kasir. Berbeda dengan tradisi yang dilakukan di pasar-pasar tradisional yang merupakan warisan budaya leluhur, ketika seseorang membeli barang di sebuah toko atau lapak, maka terjadi komunikasi antara pembeli dan penjual, mulai dari menanyakan kabar antar mereka, menanyakan kualitas barang, membandingkan kualitas barang dengan produk yang berbeda hingga proses tawar menawar harga.

Ibrahim kemudian menambahkan penjelasan tentang Khulafaur Rasyidin, menurut Ibrahim Abu Bakar memiliki citra berupa kebijaksanaan, Umar memiliki citra berupa keberanian, Utsman memiliki citra kekayaan dan kedermawanan dan Ali memiliki citra berupa kecerdasan. Dari keempat  itra yang muncul dari Khulafaur Rasyidin ini, Ibrahim menarik benang merah bahwa Ali masuk Islam ketika masih anak-anak. Ibrahim berpandangan bahwa yang paling mudah diidentifikasi bagi setiap orang adalah yang pertama kali adalah Kecerdasan ketika ia masih kecil. Ibrahim menjelaskan bahwa Kecerdasan adalah hal utama yang harus dimiliki oleh setiap orang. Apabila Kecerdasan seorang anak dimanipulasi maka kemudian akan mempengaruhi keberaniannya, kebijaksanaannya dan kedermawanannya. Dari pemahaman ini Ibrahim berpendapat apabila kita memilih pemimpin yang melakukan manipulasi kecerdasan terhadap dirinya, maka yang akan terjadi kepalsuan-kepalsuan dalam kebijaksanaan, kedermawanan dan keberanian yang ditampilkan oleh pemimpin tersebut. Ibrahim kemudian mempersilahkan Cak Nun untuk mengelaborasi lebih dalam lagi dari apa yang sudah dipaparkan oleh narasumber-narasumber sebelumnya.

Min ‘indihi biwaliyyihi

“Ada satu prinsip bahwa teman-teman sekalian setiap hari harus memastikan ada yang harus anda ubah atau tidak di dalam pandangan anda terhadap apa saja. Jadi kalau anda ngomong Indonesia, paginya harus dicek lagi. Pandangannya harus dikembangkan, persepsi anda harus dikembangkan, atau anda ganti, atau anda ubah, tambahin, kurangin setiap hari. Anda tidak akan pernah mendapatkan penderitaan karena anda selalu mendahului apapun yang anda alami, yang anda lihat di sekitar anda, termasuk diri anda sendiri. Pandangan anda harus berubah setiap hari, harus berkembang setiap hari. Nah, berubahnya setiap hari, harus berubah apa tidak harus anda cek setiap hari. Karena waktu bergerak itu bukan sehari, tetapi bahkan setiap jam, setiap menit bahkan setiap detik. Tidak ada yang permanen karena segala sesuatu bekerja beriringan dengan waktu“, Cak Nun mengawali pemaparan yang kemudian memberikan contoh bagaimana air dalam botol sebenarnya berubah-ubah struktur molekulnya dari detik ke detik.

“Sebenarnya tidak ada apapun yang ada duanya, karena penciptanya Tunggal maka semua ciptaannya adalah Tunggal“, lanjut Cak Nun. Bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini bukan hanya tidak ada duanya melainkan berlaku sangat dinamis, karena diri kita yang saat ini bukanlah diri kita yang dua jam sebelumnya, bukan diri kita yang satu hari sebelumnya juga bukan diri kita yang esok hari. Cak Nun menjelaskan bahwa pemahaman dan pengetahuan kita tentang kebenaran itu jika bertahan lama tanpa ada pembaharuan tanpa ada pengembangan itu akan menjadi seperti sebuah karat yang menempel pada sebuah paku.

Sesi Diskusi Kenduri Cinta Februari 2016
Sesi Diskusi

Sebelum memasuki ruang diskusi lebih jauh, Cak Nun mengingatkan kembali bahwa salah satu sebab mundurnya peradaban manusia saat ini adalah ketika salah menggunakan kata. Satu yang dicontohkan oleh Cak Nun adalah penggunaan kata haji. Dijelaskan kembali oleh Cak Nun bahwa seorang disebut sebagai Haji adalah ketika dia melakukan ritual ibadah Haji, mulai dari Miqot, Thawaf, Sa‘i, Wukuf, melempar jumroh hingga tahalul. Ketika sudah selesai melakukan ritual tersebut, maka dia bukan lagi sebagai seorang Haji. Haji difahami sebagai kata benda, padahal seharusnya haji adalah kata kerja.

Cak Nun juga menyampaikan bagaimana manusia sibuk dengan istilah-istilah baru yang disematkan kepada kata Islam; Islam Liberal, Islam Nusantara, Islam Sunni, Islam Syi‘ah dan lain sebagainya di mana kebanyakan dari manusia itu sendiri justru tidak mau lagi mempelajari dan memahami apalagi memperbaharui pengetahuan mereka tentang inti dari itu semua: Islam. Yang terjadi hari ini, setiap kata yang muncul di masyarakat mampu menimbulkan sebuah konflik. Satu contoh misalnya, ketika ada orang yang membicarakan tentang Ali bin Abi Thalib dengan mudah akan dituduh sebagai seorang Syi‘ah, sedangkan ketika ada orang yang membicarakan Khulafaur Rasyidin tetapi tidak mengikutsertakan Ali bin Abi Thalib akan dianggap sebagai orang yang anti Syi‘ah. Hal ini dikarenakan pengetahuan orang saat ini terpenjara oleh sebuah kata: Syi‘ah.

Hal yang sama juga terjadi dengan kata; Aku, Kamu, Tuhan dan lain sebagainya di mana seringkali manusia salah menggunakan kata-kata tersebut. Cak Nun memberi contoh bagaimana Cak Nun dengan Cak Fuad merasa lebih akrab dengan panggilan “ente“. Hal ini merupakan sebuah keputusan antara sang kakak dengan adik dalam mewujudkan kemesraan satu sama lain tanpa mengurangi estetika hubungan kekeluargaan. Masyarakat saat ini lebih gemar menggunakan kata “kamu“ daripada “anda“. Sekilas kita melihat hal tersebut adalah hal yang sangat biasa dan lumrah, tetapi sebenarnya tersimpan roso dalam setiap kata yang kita ucapkan. Seperti ketika kita mengucapkan “anda“ akan memiliki roso yang berbeda jika dibandingkan dengan kita mengucapkan “kamu“.

Begitu juga dengan penggunaan kata Hak dalam Hak Asasi Manusia. Kesalahan penggunaan kata Hak ini yang kemudian menyebabkan bahwa seluruh manusia memiliki hak yang wajib dihormati oleh manusia yang lainnya. Sementara itu tidak ada satupun manusia yang berani mengumumkan tentang Wajib Asasi Manusia. Dunia seakan tidak mau memahami bahwa sebelum adanya Hak maka harus terlebih dahulu ditunaikan kewajiban. Karena menjadi tidak etis ketika seorang suami meminta hak untuk meniduri istrinya sementara ia tidak bekerja untuk menafkahi keluarganya, begitu juga tidak etis ketika seorang pekerja menuntut hak berupa gaji kepada majikannya sedangkan ia tidak bekerja sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh majikannya.

Cak Nun kemudian mempersilahkan beberapa jamaah untuk bertanya. Lima penanya pertama mengajukan pertanyaan serta memberikan respon pada paparan sebelumnya. Satu pijakan yang disampaikan oleh Cak Nun sebelum merespon pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan adalah bahwa jawaban-jawaban yang muncul bukanlah sebuah jawaban kesimpulan yang sifatnya sudah bulat. Beberapa pertanyaan yang diajukan bersifat dari pengalaman pribadi jamaah dan mendasar, seperti; bagaimana hukumnya desain grafis dalam Islam, bagaimana hukumnya gaji yang merupakan hasil dari pekerjaan desain grafis yang menggunakan aplikasi bajakan, bagaimana sikap kita terhadap manipulasi-manipulasi pencitraan yang ada saat ini, bagaimana menyikapi budaya-budaya bangsa lain yang masuk ke Indonesia, bagaimana melatih kesabaran. Pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar dan seringkali dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta, majelis ilmu, sumur spiritual, laboratorium sosial, basis gerakan politik bahkan universitas jalanan yang tidak pernah habis pembahasan SKS nya, kurikulum dan mata kuliahnya selalu bertambah, dosennya adalah alam semesta.
Bagikan:

Lainnya

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit

Setelah Wirid Wabal yang dipandu Hendra dan Ibrahim, Kenduri Cinta edisi Maret 2016 yang mengangkat “Fiqih Tanpa Aqidah, Bumi Tanpa Langit” kemudian dimulai dengan sesi prolog.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta

Topik