Kuda-kuda Kalah Perang
Tahqiq“…Tetapi bangsa kalian mengidam-idamkan penumpukan kekayaan, sehingga ketika datang bangsa lain menyerbu dan merampok kekayaan bumi, bangsa kalian tidak mampu mempertahankannya. Sebab niatnya adalah … ”
Ndusin tertawa lagi dan menjawab.
“Mbah Sot itu memang pandai, bahkan sangat pandai, sehingga sangat bodoh…”
“Bagaimana maksudnya Pakde?”, Toling menyahut.
“Beliau sangat tahu, terutama sebab akibat besar dan luas dari apa yang diketahuinya. Sehingga beliau menjadi bodoh, dalam arti kepandaiannya menjadi tumpul…”
“Berapa lipatan logika pikiran itu, Pakde”, Toling terus berkomentar.
“Tidaklah sukar kalau hidup adalah urusan menjadi apa. Kalau hidup adalah berjuang mencapai sukses untuk duduk di kursi yang mana. Kalau hidup adalah berebut untuk memiliki apa. Sangatlah mudah kalau hidup adalah kecanggihan untuk berebut dunia”
“Ya terus Pakde”, kata Junit.
“Kalau hidup adalah sekadar menempuh karier pribadi, sangatlah sederhana, dan tidak perlu menjadi Khalifah, Uswatun Hasanah, Ahsanu Taqwin…”
“Amar makruf nahi munkar…”, suara Jitul.
“Tanha ‘anil fakhsyai wal munkar…”, disusul Seger.
“Liutammima makarimal akhlaq…”, Toling juga.
“Sekalian saja baldatun thayyibatun wa Rabbun ghofur”, Tarmihim tertawa.
“Ya”, Sundusin meneruskan, “sangatlah mudah kalau hidup hanyalah perjuangan eksistensial, menghimpun harta benda dan segala isi dunia. Tetapi kita disuruh menjalani kehidupan ini bukan untuk memproses pencapaian, melainkan diuji untuk bertahan dalam perjuangan…”
“Pakde kalian Sundusin ini yang paling Kiai di antara kami semua”, Tarmihim tertawa kecil.
Sundusin tidak peduli.
“Allah tidak memerintahkan kepada manusia: capailah sukses, tumpuklah kekayaan. Melainkan khalifahilah rahmat kekayaan Allah di bumi. Tetapi bangsa kalian mengidam-idamkan penumpukan kekayaan, sehingga ketika datang bangsa lain menyerbu dan merampok kekayaan bumi, bangsa kalian tidak mampu mempertahankan…”
“Kenapa, Pakde?”, tanya Toling.
“Sebab niatnya adalah mempertahankan kekayaan dan eman harta benda. Bukan niat mengkhalifahi dan menjaga regulasi dari Allah. Tema perjuangan mereka adalah bagaimana memonopoli kekayaan tanah air, bukan perjuangan akhlak untuk nahi munkar…”
“Jadi bukan urusan harta-nya, tapi akhlak untuk mempertahankannya, ya Pakde?”
“Kalau titik pijakmu salah, dan kuda-kuda berdirimu keliru, serta lalu lintas pandangmu tidak menentu, pasti kalah perang…”
“Shadaqallahul ‘Adhim wa shadaqo Pakde kalian Sundusin”, Tarmihim menyela terus.
“Baldatun Thayyibatun saja gagal, apalagi Robbun Ghofur”, Sundusin berkicau terus, “mempertahankan kekayaan bumi saja keliru memilih Pimpinan Penjaga Kedaulatan yang pekerjaannya malah membukakan pintu-pintu untuk dirampok dan dijajah. Pintu teritorial, pintu imigrasi, pintu Undang-undang, pintu cara berpikir, pintu harga diri dan muru`ah kebangsaan dan kemanusiaan”
“Susah membayangkan Allah bersimpati dan tergerak untuk menolong hamba-hamba-Nya yang melakukan shalat dengan pengharapan dilimpahi laba-laba dunia dan harta benda, bukan untuk bertahan menghindari faskhsya’ dan munkar. Susah membayangkan para Malaikat, bahkan Rasulullah Muhammad yang di genggamannya terletak hak prerogatif syafaat untuk menolong manusia – akan lega hati untuk memandu perjalanan ummat, yang konsentrasinya adalah kemegahan dunia, yang sorga pun dikonsep sebagai puncak kemewahan materialisme…”
“Lha Mbah Markesot kok diam saja sampai hari ini, Pakde?”, Toling memotong.
“Pakde kan sudah bilang tadi bahwa Mbah kalian Markesot itu orang bodoh”, jawab Sundusin.
Tiba-tiba Brakodin nimbrung. “Tadi Toling bilang bahwa Mbah Markesot itu sangat pandai, sangat tahu, sangat paham, sangat menyelam, dan sangat terbang. Dan Pakde kalian Sundusin sudah menjawab, bahwa justru karena itulah Mbah kalian menjadi bodoh…”
“Ya Tuhan, betapa ruwetnya kehidupan dan alangkah berlipat-lipatnya ilmu dan pengetahuan”, Jitul mengeluh.
“Saya usul cari kesempatan khusus untuk uraian Pakde Sundusin ini. Sekarang rasanya sudah overload…”, Seger usul.