Kriminalitas Intelektual
Ta’qid“Itu juga skandal penghancur silaturahmi kemanusiaan, penebar sekam permusuhan, kebencian, dan bisa sampai tingkat peperangan”
Di dalam dunia tulis-menulis, para penggiatnya mengalami beberapa kemungkinan, misalnya pengaruh, epigonisme atau plagiat. Seorang penulis belajar menulis melalui tahap-tahap pembelajaran dengan cara membaca tulisan-tulisan.
Terkadang ia terpengaruh oleh suatu tulisan, sehingga hasil tulisannya bisa tergiring oleh pengaruh tulisan itu. Jika kadar keterpengaruhan itu tinggi, tulisannya akan merupakan epigon dari tulisan yang dipelajarinya.
Sebagian penulis yang rentan terhadap pengaruh tulisan yang disetujui dan dikaguminya, bisa terperosok menjadi plagiat. Kerapuhan ini tidak hanya bermuatan kelemahan kepribadiannya, tetapi sudah memasuki wilayah semacam kriminalitas intelektual. Ia mencuri karya orang lain. Ia melanggar hak orang lain. Ia tidak menjalankan kewajiban untuk menghormati hak manusia lain.
Maka dalam dunia tulis-menulis dikenal semacam legalitas yang disebut “hak cipta” atau “copy right”. Kebudayaan manusia modern menyusun undang-undang hukum yang melindungi karya-karya dari plagiarisme atau pencurian intelektual. Dari perspektif sistem, aturan ini sangat bagus. Meskipun dari spektrum kemanusiaan, hal itu sekaligus mencerminkan bahwa semakin modern, manusia semakin menurun, luntur dan tidak bisa dipercaya kejujurannya.
Tulisan-tulisan yang dibaca oleh Markesot di layar gadget Tarmihim itu ada yang sesudah judul ditulis “Oleh: Walijo”. Padahal Walijo tidak pernah menulis itu. Artinya Walijo dimanipulasi namanya entah oleh siapa. Pada tulisan lain mungkin Sajimin pernah omong sesuatu, kemudian salah seorang yang mendengarnya — mungkin dengan niat baik — menuliskannya, lantas dikasih “Oleh: Sajimin”. Padahal bukan Sajimin penulisnya, meskipun sejumlah bahannya bersumber dari Sajimin.
Bahkan ada puisi “Oleh: Surendro”. Padahal siapapun yang mengenal karya-karya Surendro, pasti tahu tidak mungkin penyair itu menulis puisi seperti itu. Orang yang menulis dan menyebarkannya itu tidak bisa memastikan di dalam pemahamannya bahwa “Oleh: Surendro” atau “Oleh: Sajimin” dan “Oleh: Walijo” itu berarti idenya, gagasannya, penulisannya, penyusunan kata dan kalimatnya, sepenuhnya oleh masing-masing dari tiga orang itu.
Di ruang-ruang pembacaan seperti yang Tarmihim tunjukkan kepada Markesot tadi, banyak tulisan yang berasal dari orang yang menuliskan suatu bahan atau tema yang didapatnya dari tulisan atau omongan orang lain. Penulis ini sebenarnya perlu dihargai karena ia mengapresiasi suatu ungkapan ilmu dan beriktikad baik menyebarkannya. Hanya saja akan lebih mengamankan semua pihak, terutama dirinya sendiri, andaikan tidak dilabelinya dengan “Oleh: Walijo” – apalagi “Oleh: Namanya sendiri”, melainkan, misalnya: “Diilhami oleh…”, “Dihikmahi dari…” atau “Diadaptasi berdasarkan…”
Jika demikian, ia malah berhak menuliskan namanya sesudah “Oleh:” , serta tidak salah untuk mengembangkan tema itu sesuai dengan kreativitas dan kecerdasan eksploratifnya sendiri.
Mencuri atau korupsi bermacam-macam bentuknya dan berlapis-lapis kadarnya. Pendidikan di Sekolah dan Universitas, tradisi kebudayaan di rumah serta lingkungan sosial, semestinya mengandung pelatihan-pelatihan untuk peka terhadap tindakan kejujuran. Di ruang pembacaan modern mutakhir yang dibukakan oleh Tarmihim kepada Markesot itu justru menunjukkan bahwa kepekaan dan kesadaran untuk tidak mencuri sangat mengalami degradasi.
Ketika media komunikasi masih pada era cetak, ada sistem kontrolnya. Setiap Koran dan majalah ada Redakturnya, bahkan khusus untuk menilai dan mengontrol tulisan-tulisan yang masuk. Tetapi di layar handset Tarmihim itu setiap orang merangkap Penulis, Redaktur, Wartawan, bahkan Penerbit dan Pemasar sekaligus. Setiap orang adalah media, yang lingkup penyebarannya bahkan seluruh dunia.
Itu baru teks. Belum yang audio dan video. Markesot yang mengeluh panjang tadi bisa direkam oleh Tarmihim, kemudian disebarkan, kemudian dibaca, didengarkan atau dilihat oleh siapa saja yang situasi, nuansa dan konteksnya sebagai komunikator dan komunikan sangat berbeda dengan komunikasi pribadi antara Markesot dengan Tarmihim. Betapa jauh pembiasan yang bisa terjadi, seberapa deviasi, pelipatan, penikungan atau bahkan pembalikan yang bisa ditimbulkan oleh peralihan teks atau pembicaraan visual yang disebarkan tanpa batasan apapun.
Video pembicaraan seseorang bisa diambil buntutnya sesuai dengan selera editor dan penyebarnya. Diambil titik tajamnya berangkat dari kepentingan penyuntingnya. Konteks dan nuansa dari sumbernya akan kehilangan keutuhannya, meleset substansinya, pecah entitasnya. Kebaikan bisa menjadi keburukan. Kemashlahatan bisa menjadi kemudlaratan. Kemuliaan bisa menjadi fitnah. Apalagi beberapa sumber disunting menjadi satuan yang subjek-subjeknya diadudomba. Terlebih lagi dikasih judul yang tidak aksentuatif terhadap substansi isinya, karena memang judul adalah pedoman utama sebaran-sebaran semacam itu. Jangankan lagi kalau ternyata penyuntingan-penyuntingan manipulatif seperti itu keberangkatannya adalah kepentingan komersial.
Sesungguhnya itu bukan hanya kriminalitas intelektual. Itu juga terorisme mental dan moral. Itu juga skandal penghancur silaturahmi kemanusiaan, penebar sekam permusuhan, kebencian, dan bisa sampai tingkat peperangan.