Kontraksi Sejarah
Tahqiq“…Bahwa hari-hari ini sedang terjadi semacam kontraksi sejarah. Ibu Pertiwi sedang menahan sakit yang amat sangat di rahimnya.…”
Brakodin meneruskan. “Saya melihat Cak Sot masih duduk membungkukkan badan, menundukkan kepala dalam-dalam dan menutupi wajahnya. Kayaknya menangis dia….”
“Menangis? Cak Sot menangis?”, Tarmihim heran.
“Saya tidak pernah mendapatkan kesan karakter yang membuat saya membayangkan Mbah Sot menangis”, kata Jitul.
“Apa salahnya seseorang menangis”, Junit menyahut juga, “meskipun laki-laki, bahkan meskipun Mbah Sot”
“Rasulullah Muhammad pun dikisahkan sangat sering menangis dalam shalat-shalatnya”, Toling menambahi.
“Sampeyan ini melihat Cak Sot, atau membayangkan melihat Cak Sot, atau mendambakan Cak Sot berada dan berlaku seperti yang Sampeyan inginkan?”, Tarmihim mendesak Brakodin.
“Saya tidak tahu, Him”, jawab Brakodin, “selama kalian berbincang-bincang sejak kemarin-kemarin konsentrasi saya kan hanya sekitar 30%. Yang 70% saya berada di gelombang Cak Sot. Entah apa namanya itu. Kemudian saya ungkapkan apa yang rasanya saya lihat”
“Baik”, kata Tarmihim, “andaikan benar Cak Sot menangis, apa yang kira-kira ia tangiskan atau tangisi?”
Brakodin menarik napas panjang.
“Mungkin ya…”, katanya, “Mungkin lho. Hanya mungkin. Cak Sot menjalani irama dan tahap-tahap sembahyang, dari takbiratul ihram, ruku’, sujud dan seterusnya sampai tahiyat. Terlihat dan tersadari di kanannya tentara, kirinya polisi, sekitarnya sipil, ada yang pejabat, ada yang pegawai biasa, ada yang rakyat jelata seperti Cak Sot sendiri. Pertama Cak Sot bersyukur bahwa aparat-aparat Negara ini, termasuk yang militer, juga manusia muslim yang bersujud kepada Allah”
“Apa yang aneh di situ?”
“Tema saya bukan keanehan. Ini hanya penglihatan biasa, bahwa semua hamba Allah, dengan tempat dan perannya masing-masing, secara individu tetap memelihara posisinya sebagai hamba Allah. Mereka juga Muslim. Mereka juga bagian dari Ummat Islam atau Kaum Muslimin. Mereka juga mengimani Allah, mencintai Rasulullah dan menjunjung kesucian AlQur`an. Artinya, mereka juga bisa sakit hati tatkala Allah dikhianati, Rasulullah dilecehkan, dan AlQur`an dinistakan”
“Saya bisa meneruskan kalimat Sampeyan itu dengan logika dan nuansa pengetahuan tentang pilihan hidup Cak Sot”, Tarmihim menyahut.
“Kalau gitu, teruskan…”, kata Brakodin.
“Jangan”, bantah Tarmihim, “Sampeyan yang berhak meneruskan. Saya hanya membayangkan, sedangkan Sampeyan melihat dan mengalami, entah pada kadar yang mana”
“Shalat jamaah adalah sebuah satuan yang dahsyat”, Brakodin meneruskan, “satu fenomena budaya yang berakar dari kewajiban teologis dan kesadaran spiritual, yang membuat ummat manusia atau Kaum Muslimin punya kesempatan yang rutin dan konstan untuk menjaga kuda-kuda pengkiblatan hidupnya. Andaikan dari lima kali shalat, Kaum Muslimin dua kali saja berjamaah, mestinya cukup untuk membawa posisi kejamaahannya itu ke manapun mereka pergi keluar dari Masjid atau Mushalla. Satuan shalat berjamaah itu diperluas, diperlebar, diterapkan, didesain, ditata, diaplikasikan secara lebih membumi dalam tema-tema perhubungan yang bermacam-macam….”
“Mungkin Mbah Sot menangis karena Kaum Muslimin yang berjamaah dengan beliau itu”, Seger yang memotong, “nanti seusai shalat dan keluar dari Masjid, tiba-tiba mereka harus berhadapan sebagai musuh satu sama lain. Urusan-urusan sosial, kepentingan ekonomi, perbedaan konsep budaya, atau terutama egosentrisme politik yang berkelompok-kelompok, membuat mereka yang tadi berjamaah shalat itu menjadi kutub-kutub, front-front, kubu-kubu. Yang di antara mereka terbentang bukan hanya perbedaan kepentingan, tapi juga kebencian dan permusuhan. Itulah yang sebenarnya saya ingin katakan. Bahwa hari-hari ini sedang terjadi semacam kontraksi sejarah. Ibu Pertiwi sedang menahan sakit yang amat sangat di rahimnya….”
“AlMufarraqin…. AlMufarriqin…. AlMutafarriqin bainahum….”, Sundusin keluar bahasa Arab spekulatifnya, “entah apa kata-kata yang tepat untuk itu. Tapi fakta yang dimaksud Seger adalah Kaum Muslimin, apalagi Bangsa Indonesia, sedang dipecah-pecah, sekaligus memecah-belah di antara diri mereka sendiri….”
“Sangat banyak kenyataan Bangsa Indonesia dan Ummat Islam yang membuat Cak Sot menangis”, Brakodin meneruskan lagi, “Kaum Nasionalis diperadu-dombakan dengan Kaum Islamis. Padahal Cak Sot pernah bilang: karena aku Islamis maka aku Nasionalis, karena aku Nasionalis, maku aku Islamis….”