Konsistensi Terhadap Kehancuran
Tahqiq“…bahkan sampai ke dialektika dengan Saimon, makrifat hutan, kasyaf angkasa ruh, pengejaran ilmu Kiai Sudrun, Mbah-Mbah Gaib, Ki Ageng dan Ki Gede, para Sesepuh Sejarah sejak masa sangat silam, para Wali dan Auliya, shalat berjamaah dengan Kanjeng Nabi, tebaran Malaikat yang mengepung jagat raya.…"
Ternyata yang diam-diam sangat gembira bahkan bahagia mendengarkan paparan panjang Seger, adalah Junit. Dialah yang mengawali persentuhan lingkaran kaum muda teman-temannya dengan Dunia Markesot. Ia yang dipasang oleh Tuhan untuk paling awal membukakan pintu dan jendela bagi teman segenerasinya — untuk menatap, melihat, dan memasuki ruang kesadaran tentang dunia yang seolah-olah baru sama sekali.
Tentu saja tidak ada yang benar-benar baru pada dunia yang mereka masuki dan alami. Dunia tetap yang itu juga-juga. Manusia yang menjalani zaman tetap yang itu-itu juga. Sekadar berganti ke anak kemudian cucunya. Tetapi tetap saja mereka adalah makhluk “perusak bumi dan penumpah darah” yang membuat Maulana Kanzul Jannah As-Sajid Ar-Roki’ Al-Khosyi’ menjadi Iblis.
Pandangan dan kesadaran baru itulah yang mereka alami, atas dunia dan manusia yang itu-itu juga dan begitu-begitu saja: rakus sehingga berlaku licik. Ringkih sehingga menjadi munafik. Cengeng sehingga menengadah sombong. Pengecut sehingga berstrategi penipu. Tidak percaya kepada cinta Allah sehingga berperadaban perampok. Tidak mentahqiqi pengetahuan dan ilmu tentang kehidupan dan diri mereka sendiri, sehingga hampir mereka semua berduyun-duyun berjuang menghimpun menumpuk memonopoli bahan-bahan untuk menghancurkan diri mereka sendiri dan memusnahkan hakikat asal-usul dihadirkannya manusia dan kemanusiaan.
Anak-anak muda itu dengan mata batin dan mata akalnya melihat dengan sangat terang benderang apa yang sejak lama diungkapkan oleh Allah namun sangat lambat mereka menyadarinya: bahwa merekalah sebenarnya yang menyelenggarakan perusakan dan menghasilkan kerusakan, tetapi mereka tidak merasa, apalagi menyadarinya.
Seger memaparkan betapa sebagian manusia berkomplot untuk menggenggam seluruh Bumi untuk memonopolinya. Ia dan teman-temannya, Pakde Paklik, terutama Mbah Markesot sejak puluhan tahun yang lalu, sudah merumuskan dan memperlihatkan betapa bangsanya sendiri secara pasti melangkah menuju jurang kehancuran, dan tahun-tahun terakhir langkah itu dipercepat sedemikian rupa.
Awal-awal informasi yang anak-anak muda peroleh tentang komunitas Mbah Markesot adalah dialog – “Mbah Sot, tunjukkan kepada kami tanda-tanda kehancuran itu”, dan Mbah Sot menjawab – “Tunjukkan kepadaku satu tanda saja yang tidak menuju kehancuran”.
Pelan-pelan kemudian mereka belajar dan mempelajari, sampai tiba pada satu tahap bahwa ternyata selama ini seluruh kata dan bahasa yang digunakan oleh ummat manusia di muka bumi adalah bahasa yang berujung-pangkal materialisme. Kosakata ‘kemajuan’, ‘sukses’, ‘pembangunan’ dan yang sejenisnya, maksudnya adalah materialisme. Bahkan manusia yang rajin menyembah Tuhannya, ketika mengucapkan kosakata ‘Tuhan’, ‘Nabi’, ‘iman’, ‘berkah’, ‘ridlo’, ‘dunia dan akhirat’ serta apa saja, ternyata maksudnya adalah materialisme.
Mereka tidak kenal ruh dan martabat. Mereka belum akan pernah merasa hancur sampai mereka mengalami krisis materi: rumah ambruk, krisis pangan dan air minum, ketiadaan barang-barang, kenadiran daya beli materi, jembatan ambrol, jalan putus, tanah longsor, banjir bandang, air laut meluap dan apapun saja yang kasat mata dan bersifat materialistik. Mereka tidak mengenal kehancuran iman dan martabat. Mereka tidak pernah merasa atau menyadari bahwa mereka sedang bermasalah sangat serius dengan Maha Juragan Agung kehidupan mereka.
Markesot, sahabat-sahabat, anak-anak dan cucu-cucunya hingga Junit, Jitul, Toling, dan Seger, bahkan sampai ke dialektika dengan Saimon, makrifat hutan, kasyaf angkasa ruh, pengejaran ilmu Kiai Sudrun, Mbah-Mbah Gaib, Ki Ageng dan Ki Gede, para Sesepuh Sejarah sejak masa sangat silam, para Wali dan Auliya, shalat berjamaah dengan Kanjeng Nabi, tebaran Malaikat yang mengepung jagat raya — sudah ribuan kali, bahkan mengulang-ulang ekspresi kesadaran yang lain, yang mencoba memperkenalkan keluasan, kedalaman, jalan yang panjang dan berliku.
Tetapi andaikan pun mereka mengulanginya lagi sepuluh ribu kali, atau menguras air tujuh lautan untuk menuliskan kesadaran dan penyadaran atas itu semua – tetap saja ummat manusia pada umumnya tidak tersentuh. Tetap saja desain peradaban dan program-program politik, ekonomi, dan kebudayaan mereka konsisten menuju jurang penghancuran.
Mbah Sot dulu pernah mengatakan bahwa makhluk manusia memiliki kecenderungan untuk konsisten terhadap kehancuran. Istiqomah untuk senantiasa berlaku menghancurkan.