Konsentrasi Pada Dzat Sejati
Ta’qid“Yang hamba latihkan adalah konsentrasi pada dzat sejati, dan tidak mudah terjebak pada administrasi identitas-identitas, ragam satuan-satuan, mozaik sifat dan karakter, padahal seluruhnya berasal dari Tunggal dan kelak Manunggal kembali...”
“Apalagi”, Markesot melanjutkan, “Tempat tugas hamba kali ini adalah sebuah Negeri yang terlalu bergelimang kemunafikan, yang dipimpin oleh sejumlah orang yang mabuk namun mereka tidak merasa dan tidak mengerti bahwa mereka sedang mabuk, sebagaimana Allah menginformasikannya di dalam firman-Nya”.
Paduka Harun tersenyum. “Lumayan juga…”
Markesot agak heran. “Apanya yang lumayan, Paduka?”
“Kamu berasal dari Negeri yang tidak berbahasa Arab, tapi cara-caramu melihat kehidupan kamu ambil dari lembaran-lembaran Kitab Tuhan yang diturunkan dengan Bahasa Arab”
“Yang mana maksud Paduka?”
“Ya banyak. Termasuk yang barusan: orang-orang yang mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak mabuk. Itu kan amsalnya Tuhan”
“Terima kasih Paduka. Mungkin saya tak sengaja pernah mendengar bahan-bahan dari berbagai macam sumber. Tapi hal orang mabuk itu hamba ambil dari kenyataan sehari-hari di Negeri hamba”
Paduka Harun sebenarnya agak jengkel menemukan dirinya meladeni orang asing ini panjang lebar. Tetapi beliau terlanjur menjadi pemimpin yang tidak bodoh, arif dan rendah hati, sehingga beliau semakin melebarkan senyumannya.
Bahkan merespons lagi seolah-olah orang asing ini adalah teman mengobrolnya sejak lama. “Memang sih, jauh sebelum muatan nilai Kitab itu diturunkan sebagai kata dan kalimat, oleh Tuhan sudah ditanam dan dialirkan di dalam jiwa manusia, bahkan ditaburkan di seluruh alam semesta…”
“Fil afaqi wa fi anfusikum…”, tak sengaja muncul kata-kata itu dari mulut Markesot.
Tiba-tiba Paduka Harus sadar ia terlalu luas memberi panggung kepada Markesot. “Ada apa kok kamu berjalan melintasi sekian lautan dan pulau sampai tersesat ke sini?”, mendadak beliau bertanya.
Paduka tidak menyangka bahwa orang asing ini menjawab dengan kalimat yang tak diperhitungkannya. “Andaikan Paduka menelusuri jejak saya menyeberangi laut dan pulau-pulau, Paduka tak akan menjumpai Negeri yang Paduka maksud itu di sana”
“Apa maksudmu?”, Paduka bertanya.
“Yang hamba seberangi bukan ruang, melainkan waktu”, jawab Markesot.
“Ooo ya ya…”, Paduka Harus tersenyum agak salah tingkah, “Kamu belum ada ya resminya di Negeri itu..”
“Negeri itu pun belum ada, Paduka. Yang ada hanya tanahnya, pulaunya, lautnya, pohonnya…”
Paduka bereaksi agak tegas suaranya, “Orang asing, jangan suruh pemanggul beban penyejahteraan ratusan ribu orang berbicara detail seperti seorang pegawai, karyawan tata usaha atau administrator. Kalau saya bilang silakan minum, tidak perlu saya lengkapi dengan menyebut gelasnya terbuat dari apa, jenis minumannya diambil dari daerah mana, warnanya campuran atau tunggal…”
“Ampun, Paduka”, Markesot merasa bersalah.
“Wahai orang asing, saya bertanya…”
“Silakan, Paduka”
“Bukankah Tuhan sudah membagi tugasmu ada di sebuah satuan, dan tidak boleh meloncat ke satuan lain. Bukankah Tuhan sudah memerintahkanmu untuk mengawal suatu kelompok makhluk, dan tidak boleh usil memasuki kelompok-kelompok lain. Bukankah Tuhan sudah menentukan kamu bertempat di suatu penggal waktu, dan bukan di penggalan yang lain. Kenapa kamu melanggar?”
Markesot menarik napas panjang.
“Sekadar latihan saja, Paduka”, jawabnya.
“Kok latihan…”
“Hamba tuturkan contoh kecil dan sederhana saja. Yang hamba latihkan adalah konsentrasi pada dzat sejati, dan tidak mudah terjebak pada administrasi identitas-identitas, ragam satuan-satuan, mozaik sifat dan karakter, padahal seluruhnya berasal dari Tunggal dan kelak Manunggal kembali…”
“Wah, ruwet ya Negerimu itu”, Paduka Harun menyahut.
“Di antara penduduk di Negeri yang kita bicarakan tadi setiap orang bisa dikenal sebagai banyak orang. Misalnya Hanuman, dia juga Bayudara, Bayisiwi, Anjaniputra, Guruputra, Handayapati, Yudawisma, Haruta, Maruti, Palwagaseta, Senggana, Ramandayapati, Prabancana, Mayangkara, Suwiyuswa, Balarka, Kapiswara…”
“Cukup, cukup”, Paduka memotong.