CakNun.com

Kompresor Ki Demang Beringhardjo

Seri Keajaiban (2)
Joko Umbaran
Waktu baca ± 4 menit

Kisah-kisah indah Kanjeng Kiai saya selang-seling dengan memotret berbagai titik keindahan dalam perikehidupan Kiai Kanjeng.

Keindahan itu maksudnya kelucuan, keunikan, kekonyolan.

Jangan bertanya siapa sebenarnya nama Kanjeng Kiai. Ini soal martabat. Yang sudah tahu apa gunanya bertanya. Yang tidak tahu, misalnya Buku Kesenian Indonesia, tidak perlu tahu, tak perlu mau tahu, karena toh tidak ada kepentingan untuk ingin tahu.

Kalau memang benar-benar gatal ingin tahu, mending saya kenalkan pada Ki Demang Beringhardjo. Beliau ini tokoh legendaris di Kiai Kanjeng. Sangat mewarnai mozaik musikalnya. Dari segala segi Ki Demang ini sungguh-sungguh unik, istimewa dan indah.

Seluruh penampilan dan karyanya sangat prolifik. Khas celana ketatnya, sepatu dendy-nya, apalagi wajah dan anatomi tubuhnya. Mulutnya tidak sempat dipakai untuk banyak bicara, sebab sangat sibuk meniup seruling.

Dan barangsiapa di tengah malam nan sunyi mendengarkan alunan bunyi seruling Ki Demang, akan muncul di pembayangannya seorang Empu Sepuh yang berpakaian bak Empu Gandring atau sebagaimana lazimnya kostum para Empu. Terbayang tubuhnya tinggi besar, atau setidak-tidaknya langsing tinggi, dengan kumis dan jenggot sangat lebat, yang menyerap habis seluruh aura kewibawaan makhluk-makhluk apapun di sekitarnya.

Para warga komunitas Kiai Kanjeng sangat optimis bahwa Ki Demang kemungkinan besar turunan langsung Nabi Daud, yang juga seorang Empu Seruling yang sangat mumpuni. Apalagi asal-usul Ki Demang adalah daerah Magelang, wilayah yang diduga oleh sejumlah ahli sejarah sebagai lokasi Kerajaan Nabi Sulaiman dahulu kala. Sehingga nama-nama tempat di sekitarnya mengacu pada nama beliau: Sleman, Salaman, Salam.

Semua orang mengerti Nabi Sulaiman adalah putra Nabi Daud. Kerajaan Nabi Sulaiman dulunya diperjuangkan oleh Bapaknya itu melalui perjuangan melawan Jalut. Mungkin sekali Nabi Daud punya beberapa putra atau putri. Masyarakat sekarang ada yang jurusan Sulaiman, dan Ki Demang mungkin jurusan turunan kakak atau adiknya Nabi Sulaiman.

Atau justru jalur Nabi Sulaiman langsung. Buktinya karya-karya dan ekspresi Ki Demang bernuansa cincin. Melingkari jari-jari. Mempersatukan hati yang mendengarkannya. Memancarkan daya magi dan magnetik. Wajah Ki Demang tidak ganteng, tapi menyimpan cahaya.

Semua warga Kiai Kanjeng tahu bahwa jaringan sahabat-sahabat Kiai Kanjeng dari berbagai daerah lebih sering dan lebih suka berkunjung atau bahkan menginap di rumah Ki Demang, dibanding menginap di rumah warga Kiai Kanjeng yang lain. Ki Demang sungguh punya aura, wibawa, dan daya tarik yang khas sehingga mengalahkan rekan-rekannya.

Termasuk Kanjeng Kiai pun tak sanggup menandingi pesona Ki Demang.

Musik Kiai Kanjeng tanpa tiupan seruling Ke Demang adalah ekspresi estetika dengan ruh hanya separo. Keindahan seruling Ki Demang sangat mewarnai, bahkan menjadi tangan kanan, terkadang menjadi tulang punggung dari utuhnya aransemen artistiknya.

Barangsiapa pernah mendengar nomer-nomer musik “Wirid Padangbulan”, yang di dalamnya ada “Wirid Rejeki Melimpah”, “Wirid Mohon Ampunan”, “Wirid Orang Tertindas” dan “Wirid Sapujagat”, akan tidak merelakan dunia akherat andaikan musik-musik itu tanpa serulingnya Ki Demang.

Mustahil kekhusyukan, kecanggihan, kedalaman dan daya magnetik nomer-nomer album “Wirid Padangbulan” itu dicapai jika Ki Demang tidak ambil seruling dan meniupkan suara-suara langit, yang simpanan memorinya dihimpun awalnya dulu oleh karya-karya Nabi Daud.

Dunia dan kehidupan ini sungguh penuh rahasia yang nakal. Orang agung seperti Ki Demang ini sebelum meniup seruling di musik Kiai Kanjeng, puluhan tahun lamanya beliau menyamar. Menyamar. Menyembunyikan keindahan serulingnya di tengah hiruk-pikuk musik dangdut. Betapa buta mata orang-orang dangdut itu, tidak mengerti bahwa seorang yang agung ada di antara mereka.

Apalagi di luar pentas dangdut, Ki Demang kalau siang juga menyamar menjadi preman di Pasar Beringhardjo. Siapa menyangka beliau adalah wong agung?

Sampai akhirnya Kiai Tohar Sepuh mendatanginya, membisikinya entah kata-kata apa, kemudian menggandeng tangannya, menyeret langkahnya untuk masuk studio kehidupan Kiai Kanjeng. Sejak itu Ki Demang tidak bisa bersembunyi lagi.

Andaikan Kiai Kanjeng adalah grup musik pop atau rock, yang malang melintang di panggung-panggung industri, maka dipastikan ribuan jutaan fans selalu mengacung-acungkan tangannya, meneriakkan memekikkan nama Ki Demang. Terutama gadis-gadis, yang tak bisa mengelak untuk termimpi-mimpi oleh Ki Demang di malam hari.

Dan kalau Ki Demang mau, kalau beliau bukan seorang suami dan bapak yang sangat setia kepada istri dan anak-anaknya, bisa dibayangkan beliau bisa mengambil lima sampai sepuluh gadis di setiap kota yang dikunjungi oleh keindahan serulingnya.

Tapi Ki Demang sejak lama memang menanti-nantikan kedatangan Kiai Tohar Sepuh, untuk membawa ke habitatnya yang asli. Yakni Kiai Kanjeng, kelompok pemusik yang tak pernah berhenti pentas berkeliling ribuan tempat, kota-kota dan desa-desa, dalam dan luar negeri.

Kiai Kanjeng memiliki ilmu siluman yang luar biasa, sehingga ke manapun mereka pergi, yang berlangsung adalah keajaiban-keajaiban. Meskipun massa di depan Kiai Kanjeng berjumlah 10 atau bahkan 30 ribu, orang-orang di sekitarnya tak melihatnya. Pementasannya minimal empat jam, bisa sampai delapan jam dan diakhiri karena Subuh. Tetapi tidak ada yang terganggu, tidak ada di sana sini orang yang mendengarkan suara gedebam-gedebum musik keras Kiai Kanjeng.

Para wartawan tidak mampu menemukan mereka, karena yang mereka temui hanya kesunyian. Pers, media massa, Kementerian Kebudayaan, Dinas Kesenian, Pemerintah bagian manapun, bahkan Kepolisian dan Militer, mata Indonesia dan mata dunia, semua tak ada yang sanggup melihat Kiai Kanjeng dengan mata, ilmu atau pengetahuannya.

Kiai Kanjeng berkeliling Negara dan Dunia dengan membungkus eksistensinya, menutupinya dengan ilmu siluman, berpakaian keajaiban, berkerudung kegelapan, bahkan mereka menghapus huruf-huruf di buku-buku Sejarah dan Media yang menyebut nama mereka.

Kiai Kanjeng rasanya tidak punya jalan lain kecuali menelusuri jalan keabadian. Jalanan yang sunyi dan remang-remang di jalur menuju keabadian.

Problemnya, menempuh keabadian adalah juga berarti menjadi tua. Hari ini semua warga Kiai Kanjeng menjadi semakin tua. Yang sangat dikawatirkan apakah Ki Demang nantinya tetap stabil tiupan dari mulut ke lubang-lubang serulingnya. Berhubung usia menua, tenaga dan nafas menurun kemampuannya. Bagaimana nanti bunyi musik Kiai Kanjeng kalau serulingnya meleot-leot ke luar rel nada-nada.

Ki Juru Hina, penabuh bonang Kiai Kanjeng mengusulkan, “Kita nyelengi uang untuk beli kompresor saja, sewaktu-waktu bisa dipakai oleh Ki Demang untuk membunyikan serulingnya”

Yogya 1 Maret 2016

Lainnya

Topik