Kita Ini Berjalan atau Manggon?
Hari ini, terutama siang tadi, cuaca kota Jogja sangat panas dan terik. Jalanan dipadati oleh mobil-mobil yang berderet-deret menyerbu berbagai tempat tujuan dan menjadikan suasana terbangun atas kombinasi panas dan kepadatan. Tetapi, malam ini, di sudut luar kota Jogja di bagian selatan, sebuah suasana yang sama sekali berbeda, yakni orkestra kesejukan, kedamaian, dan kebahagiaan akan segera digelar: Mocopat Syafaat 17 April 2016.
Pukul 20.00, para Salikinal Maiyah sudah mulai berdatangan. Mata mereka terpapar oleh panggung yang sudah tertata rapi. Tak hanya peranti musik KiaiKanjeng. Tapi juga beberapa barang-barang atau properti lain, seperti topi pak tani, kembang-kembang, dan lain-lainnya. Tulisan Mocopat Syafaat terpampang dengan gagah dan magis dengan latar berwarna hitam. Tikar yang tergelar di depan sedikit demi sedikit telah terpenuhi. Pukul 20.30 Mas Ramli seperti biasanya nderes ayat-ayat suci al-Qur’an. Sementara yang lain menyimak dengan baik, sembari menyiapkan diri untuk mengikuti rangkaian kebersamaan malam ini.
Tadabburan. Demikianlah mulai saat ini forum-forum Maiyahan seperti Mocopat Syaafaat diberikan penekanan muatan. Bermula dari titik pencapaian pembelajaran Maiyah atas kandungan al-Qur’an, di mana disadari bahwa perintah mendasar Allah atas manusia terhadap al-Qur’an adalah mentadabburinya. Dalam beberapa kali pemaparan, khususnya di Padhangmbulan, Cak Fuad menjelaskan bahwa arti tadabbur. Yakni mendalami atau memahami pesan ayat-ayat al-Qur’an dengan orientasi utama adalah kemauan untuk mengamalkan pesan atau perintah Allah. Bahwa out put dari mengkaji dan mengaji al-Qur’an adalah mendekatkan atau tidak kita kepada Allah atau tidak. Satu ayat jika ditadabburi dengan sungguh-sungguh dapat mengubah hidup seseorang. Demikian Cak Fuad menerangkan. Spesial malam ini, Cak Fuad hadir di Mocopat Syafaat dan akan turut memberikan pendalaman keilmuan untuk para jamaah.
Selepas Mas Ramli nderes, pukul 21.05, Mas Harianto dan Mas Jamal melangkah menuju panggung, dan segera uluk salam membuka Mocopat Syafaat bulan April ini. Dikisahkan oleh Mas Harianto, saat ini banyak orang mengeluh, apapun pekerjaan mereka, apakah PNS, apakah pedagang, apakah karyawan, dll. Semuanya mengeluhkan keadaan yang rasanya sulit dan tak menentu. Adakah semua ini berkaitan dengan kepemimpinan? Sekilas kemudian Mas Harianto merefresh memori jamaah akan konsep-konsep kepemimpinan yang sejauh ini telah dipelajari di Maiyah, dari konsep yang diambil langsung dari al-Qur’an hingga konsep-konsep kearifan Jawa. Sesi awal Mocopat Syafaat akan dimanfaatkan untuk menggali Cak Fuad akan perspektif al-Qur’an tentang kepemimpinan, meneruskan apa yang sudah dibahas di Padhangmbulan bulan lalu.
Selain menjelaskan secara singkat konsep-konsep dalam agama Islam yang berkaitan dengan kepemimpinan: imam, qawwam, ra’is, ra’iyyah, khalifah, dan wali. Imam misalnya berkaitan dengan kata dasar “ummun” atau ibu. Seorang ibu berjiwa mengayomi, mencukupi kebutuhan anaknya, bersedia mengambil sakit anaknya jika itu dimungkinkan agar anaknya tidak mengalami sakit atau penderitaan, tak akan makan, apalagi sampai kenyang, sebelum anaknya makan, dan mau bekerja keras demi anaknya. Itulah seharusnya sifat seorang pemimpin.
Kemudian Cak Fuad masuk ke salah satu hal yang kerap menjadi kontroversi yaitu larangan menjadikan orang Nasrani dan Yahudi sebagai pemimpin atau wali. Ini termaktub di dalam surat al-Maidah ayat 51. Ayat ini kerap dijadikan dalil untuk menolak calon pemimpin non-muslim. Menurut Cak Fuad, dilihat dari latar belakang turun ayat ini, yakni pada masa awal Islam, khususnya ketika awal Islam dibangun di Madinah. Mekkah pada waktu itu 90 persen penyembah berhala. Sedangkan 10 persennya adalah pengikut Ibrahim awal, atheis, dan lain-lain. Adapun Madinah adalah wilayah plural. Ketika Nabi Muhammad masuk Madinah, pelan-pelan beliau membangun tatanan yang baru. Ayat itu memerintahkan agar umat Islam tidak membangun persekutuan atau persekongkolan dengan orang-orang Yahudi atau Nasrani yang nanti akan mengkhianati atau merusak tatanan yang dibangun Nabi Muhammad tersebut.
“Kalau ayat ini kemudian dibawa ke pengertian tidak boleh menjadikan non-muslim sebagai pemimpin ya itu tafsir dan logika. Karena bersekutu berarti menjadi teman dekat, maka sebagian orang berpikir, jangankan menjadi pemimpin menjadi teman dekat saja tak boleh. Nah saya tidak berkesimpulan bahwa mengambil orang Nasrani atau Yahudi sebagai pemimpin itu tidak boleh. Saya hanya menjelaskan setting ayat tersebut,” terang Cak Fuad.
Cak Fuad kemudian membawa jamaah kepada sisi lain dari persoalan di atas. Bahwa kita diperintahkan oleh agama kita dan juga logika untuk berlapang dada dan toleransi terhadap pemeluk agama lain. Sebuah pendapat mengatakan itu adalah dua hal yang berbeda. Toleransi adalah satu hal, sedangkan menjadikan mereka sebagai pemimpin adalah hal yang lain. Nah, selama ini kedua hal itu ditumpangtindihkan atau dicampur aduk.
Tentang toleransi ini, Cak Fuad ingat akan Buya Hamka. Setiap menjelang Natal biasanya ramai beredar terutama di medsos ajakan untuk tidak ikut mengucapkan selamat Natal. Salah satunya dengan mengutip fatwa MUI yang melarang umat Islam mengucapkan Natal. Fatwa tersebut ditandatangani oleh Buya Hamka. Kebetulan beberapa waktu lalu, Cak Fuad berkesempatan hadir di UKM Malaysia dalam acara Seminar tentang warisan pemikiran Buya Hamka. Di situ, Pak Afif Hamka, anak ke-9 Buya Hamka, menjadi pembicara. Cak Fuad mencoba bertanya lebih terang tentang sikap Buya Hamka terhadap orang non-muslim.
Kepada jamaah yang masih muda, yang mungkin tidak cukup mengenal sosok Hamka, Cak Fuad menggambarkan bahwa Buya Hamka belum ada gantinya. Siaran pengajiannya di RRI kala itu selalu ditunggu-tunggu umat. Juga diketahui bahwa Buya Hamka akhirnya mengundurkan diri dari MUI akibat fatwa tersebut. Padahal dalam fatwa tersebut tidak ada klausul sama sekali yang menyatakan mengucapkan selamat Natal adalah haram. Yang tidak boleh adalah mengikuti ritual Misa.
Cak Fuad menceritakan situasi historisnya. Saat itu umat Nasrani sedang menggalakkan Misa di mana di dalam acara tersebut mereka mengundang tokoh-tokoh dari ormas-ormas lain, termasuk ormas Islam. Di dalam Misa tersebut ada prosesi menyalakan lilin. Nah ada tokoh ormas yang ikut menyalakan lilin tersebut. Itulah sesungguhnya yang dilarang. Itulah yang dimaksud oleh Fatwa MUI yang ditandatangani Buya Hamka itu.
Afif Hamka mengisahkan, bahwa setiap tanggal 24 Desember menjelang Natal, Buya Hamka selalu menyiapkan masakan spesial yang akan dibagikan kepada tetangganya yang beragama Kristen. Itulah kenyataannya. Cak Fuad sendiri juga menceritakan bahwa tetangga depan dan samping rumahnya adalah orang Kristen. Cak Fuad tak pernah mengucapkan selamat Natal. “Dan tak ada masalah di antara kami,” tutur Cak Fuad.
Dalam konteks kepemimpinan ini, lantas Cak Fuad mengajak jamaah mengutip sedikit pendapat Ibnu Taymiyah. Bagi banyak orang, ulama besar ini dinisbatkan sebagai gurunya orang-orang Wahabbi. Hal itu terlalu menyederhanakan, menurut Cak Fuad. Banyak hal yang berbeda dengan apa yang didiskusikan sebagai Wahhabi. Beberapa pendapat atau pernyataan Ibnu Taymiyah juga harus dilihat dari sisi konteks historisnya. Selama ini pemikiran tentang kepemimpinan lebih banyak berkutat pada sisi fikih-nya, halal-haramnya. Sementara menurut Ibnu Taymiyah fikih harus sesuai dengan zamannya. Pada masa itu, salah satu syarat pemimpin, salah satunya adalah keturunan Quraish. Pasti ada situasi penting dan dominan di mana faktor keturunan Quraish sangat penting.
Bagi Ibnu Taymiyah, syarat untuk menjadi pemimpin ada dua, yaitu kuat dan amanah. Kuat dalam menegakkan kebenaran. Kuat dalam melindungi dan menolong orang-orang yang lemah. Dua syarat ini berdasarkan ayat Allah agar ketika seseorang menghukumi di antara manusia hendaklah dengan adil dan dengan semangat menyampaikan amanah. Ringkasnya, Cak Fuad menyaripatikan bahwa dalam soal kepemimpinan ini hendaknya juga disesuaikan dengan realitas masyarakat dan variabel-variabel yang hidup, Hari-hari ini kebanyakan kita hanya berbicara pada soal fikih belaka.
Pernyataan atau ungkapan pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang dhalim mengandung perbandingan yang tidak adil. Masak tidak ada orang Islam yang adil dan apakah yang kafir pasti adil. Maka, menurut Cak Fuad yang terpenting adalah berproses terus mencari solusi yang adil dalam soal ini. Beberapa atau berbagai pihak yang terkait harus berdiskusi dan mencari tanpa henti.
Demikianlah Cak Fuad menguraikan poin-poin penting tentang kepemimpinan, dengan dua contoh kasus yang lebih spesifik dari yang sudah dibahas di Padhangmbulan bulan lalu. Mas Harianto pun terangsang untuk mengggali lebih jauh soal larangan persekutuan dengan Nasrani dan Yahudi. Di titik atau dalam hal apa atau pada konteks apa juga mengapa dilarang. Bagaimana konteks historisnya pada waktu itu.
Selain dengan kehadiran Cak Fuad, malam ini Mocopat Syafaat juga kedatangan Pak Tanto Mendut bersama seniman-seniman Komunitas Lima Gunung. Mereka berurutan dalam suatu komposisi dan kolaborasi menghadirkan tari dan koreografi berjudul HAH oleh empat penari berjilbab. Ritual Gunung Desa Jawa dan lantunan Syi’ir Tanpo Waton. Juga Wayang Banjaran Taman Jawa Dwipa oleh Dalang Sih Agung Prasetyo.
Sebelum mereka tampil, Cak Nun bersama Pak Tanto naik ke panggung. Lalu Cak Nun memberikan pengantar dan mengajak semua jamaah untuk menikmati apa yang akan dipersembahkan oleh Pak Tanto dan “anak buahnya” ini dengan sikap dasar “Anda semua melakukan apa yang kebanyakan orang Indonesia tidak lakukan. Anda berkumpul di sini tidak karena motif yang umumnya menjadi motif orang Indonesia. Yakni berkumpul jika bukan karena mencari posisi atau jabatan ya mencari uang. Anda di sini tidak mencari dunia. Sebab dunia bukan tempat tinggal.”
Lebih jauh Cak Nun menjabarkan bahwa dalam khasanah agama Islam banyak hal disimbolkan dengan jalan. Sebut misalnya shiroth, syariat, dan thariqah. Pertanyaan substansialnya, “Kita ini berjalan dan berjuang atau manggon (bertempat tinggal). Dunia ini hanya rumah singgah, bukan tempat permanen. Hanya tempat buat menghimpun batu bata. Sementara ini mainstream meletakkan surga bukan sebagai rumah permanen, tetapi dunia yang diposisikan demikian. Kesalahan pemahaman inilah yang menyebabkan anda tidak paham apa itu adzab.”
Sejalan dengan itu lalu Cak Nun menegaskan, “Di luar sana yang berlangsung adalah adzab. Indonesia terkena adzab. Mendapatkan pemimpin-pemimpin yang tidak jelas dan ya kayak gitu-gitu saja. Tidak ada lagi sanksi sosial. Tidak punya rasa malu. Tetapi aku njaluk ngapuro tidak bisa membantu apa-apa…. Nah Anda datang ke sini, mudah-mudahan Allah menjauhkan Anda dari adzab-Nya.”
Begitu dipersilakan oleh Cak Nun diiringi tepuk tangan jamaah, Pak Tanto memperkenalkan semua anak buahnya dan lakon yang akan dibawakannya. Cara beliau menjelaskan secara urakan, lugas, out of box thinking, dan ceplas-ceplos sudah langsung mengantarkan pada suasana yang akan berlangsung. Tawa jamaah sebentar-sebentar meledak setiap kali Pak Tanto melakukan tingkah yang cerdas dan lucu. Komunitas Lima Gunung ini berasal dari masyarakat gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh. Salah satunya ada yang pernah menjabat sebagai lurah selama sepuluh tahun dan sekarang bergiat di komunitas ini. Diperkenalkan juga Sitras Anjilin salah satu pentolan komunitas Lima Gunung yang sudah kerap diundang ke Eropa walaupun bahasa Inggrisnya pas-pasan. Tak ketinggalan diperkenalkan juga Dalang Sih Agung Prasetyo yang sudah beberapa kali bertemu Cak Nun. Juga Ayu Permata Sari, koreografer yang kuliah S2 ISI Yogyakarta.
Salah satu yang dibawa ke panggung adalah kembang dari kawasan Borobudur. Di sini secara pedas Pak Tanto menyindir bahwa pengetahuan sejarawan akan Candi Borobudur tidak memadai. Bagi Pak Tanto, Candi Borobudur itu bersifat sejauh mata, artinya ia pasti dibangun oleh banyak orang-orang hebat dari berbagai latar agama, ia pasti dibangun oleh otak-otak yang cerdas, oleh hati yang sadar dan penuh kebijaksanaan.
Satu persatu lima orang perempuan itu bergerak mengambil tempat dan membaur di antara jamaah. Mereka mengenakan baju putih, jilbab putih, dan bawahan batik bermotif warna coklat dan putih. Mereka memulai tarian dari berbagai arah ditengah-tengah Jamaah, dan cukup membuat para jamaah terkejut. Gerakan tubuh mereka luwes dan lentur. Langkah kaki dan gerakan tangannya, ke atas, dan jatuh ke bawah, semuanya sangat terukur. Semula mereka datang dari arah berbeda, lalu bertemu di titik di depan panggung, dan langsung membentuk komposisi gerakan dan bentuk. Mulut mereka membunyikan satu kata saja yaitu HAH. Lima perempuan ini memang tengah menghadirkan sebuah gerak koreografis bertajuk HAH. Terinspirasi oleh pengalaman nyata sehari-hari yaitu napas manusia. Koreografernya adalah Ayu Permata Sari, dan penari lainnya adalah Via, Tia, Nabila, dan Ayu.
Inspirasi bagi tari ini adalah tatkala manusia bernapas secara berlebihan. Maka di situ digambarkan dan diperagakan berbagai bunyi napas yang kelebihan itu oleh semua penari. Kadang bergantian, kadang berbarengan. Dan ternyata, perpaduan bunyi yang hanya hah sepanjang persembahan itu menimbulkan efek estetika dan makna yang cukup menggelitik. Suatu munculan yang mungkin tak terbayang sebelumnya. Mereka bergerak dan membunyikan hah hah hah dengan tempo, kecepatan, dan nada yang beragam dan berganti-ganti. Gerakan mereka tak hanya tangan dan kaki, melainkan juga sesekali menggelundung di lantai.
Para jamaah mengapresiasi, menikmati, dan menyerap pengalaman kesenian yang lain dari biasanya. Sebuah kesenian yang oleh Pak Tanto disebutnya tidak bermadzhab. Tak jarang mereka tertawa setiap kali ada gerakan atau adegan yang lucu dan mengundang tawa. Tari HAH sendiri tidak menawarkan kesimpulan apa-apa kepada jamaah, melainkan membuka terbukanya pintu-pintu perenungan, perolehan, dan pemahaman yang sangat terbuka sesuai tahap dan susasana alam berpikir masing-masing jamaah. Mereka mendapatkan case study langsung untuk mempraktikkan tadabbur terhadap banyak hal.
Lepas tari HAH, kini persembahan beralih ke ritual Gunung Desa dan lantunan Syi’ir Tanpo Waton. Kira-kira belasan lelaki, tua dan muda, dari Maneges Qudroh yang dilibatkan dalam kolaborasi Komunitas Lima Gunung untuk Mocopat Syafaat malam ini, berdiri berbaris dan kemudian mendoa dan membawakan Syi’ir Tanpo Waton. Mereka mengenakan baju batik dan bersarung. Bersedekap kedua tangannya menghadap ke jamaah, dan lirih melantunkan Syi’ir Tanpo Waton.
Sebagian besar porsi persembahan dari kolaborasi Komunitas Lima Gunung ini diisi oleh wayang Banjaran Taman Jawa Dwipa oleh Dalang Sih Agung Prasetyo. Usai dua penampilan awal tadi, Dalang Sih segera memulai. Ini adalah dalang ringkas peralatan. Wayang hanya beberapa biji. Demung bonang suling dan lain-lain hanyalah “berupa” dua orang sinden, yang selain nyinden juga bertugas menyuarakan bunyi alat-alat musik tersebut. Di atas gunungan dan batang pohon pisang tempat menancapkan wayang itu, tergantung sangkar burung, caping, bakul, tampah, dan lain-lain. Dalang Sih sendiri mengenakan baju putih dan blangkon.
Dari caranya, alat-alatnya, konsepnya, gaya mendalangnya, dan segi-segi lainnya, mungkin juga narasi yang dibawakannya, dapat dikatakan bahwa dalang Sih Agung ini tergolong carangan. Membetot dari pakem. Karena itu ia sangat leluasa membawakan cerita berpadu dengan komunikasi langsung dengan jamaah, apalagi duduknya langsung menghadap audiens — beda dengan dalang umumnya — respons-respons situasional sangat lancar dibawakannya, dan yang lebih penting ia piawai melontarkan ucapan-ucapan yang mengejutkan dan bikin geerrr, bahkan tak segan juga dia menggonjlok Cak Nun. Cak Nun pun tersenyum dan tertawa. Sejak awal penampilan kolaborasi ini, beliau duduk di antara KiaiKanjeng dan menikmati detail-detail estetika para seniman gunung ini. Beberapa kali tampak turut tertawa akibat celetukan-celetukan Dalang Sih. “Bola-bali iki mergo katresnan,” kata pak Dalang setiap kali habis mengomentari sesuatu di Mocopat Syafaat ini.
Banjaran adalah cerita tentang seseorang dari sejak lahirnya hingga meninggalnya. Banjaran Taman Jawa Dwipa yang diceritakan malam ini oleh Pak Dalang bercerita tentang Jawa jauh di masa dahulu dari A sampai Z, khusus ia tampilkan dalam konteks sejarah dan nilai-nilai kepemimpinan.
Sampai menjelang pukul 01.00, di mana hari telah berganti, jamaah tetap duduk di tempatnya, tak bergeser ke manapun, semua terserap di dalam suasana yang selalu mereka rindukan, yang senantiasa memberikan hal-hal dan pengalaman baru, dan suplai-suplai energi yang diam-diam telah merasuk ke dalam diri mereka. Seperti telah dicontohkan oleh Cak Nun, mereka terlatih menyerap, menerima, menghargai, dan mau menampung kekayaan dan keluasaan hidup manusia. Persis seperti saat ini mereka menerima kehadiran Komunitas Lima Gunung ini. Sesuatu yang oleh Cak Nun tadi di awal menyampaikan untuk menyambut Pak Tanto dan kawan-kawan sebagai rahmat Allah.
Selepas menyuguhkan Banjaran Taman Jawa Dwipa, Dalang Sih memberikan blangkon dan kain putih besar dan lebar yang akan diselempangkan di pundak dan tergerai ke bawah. Sejenak jamaah menyaksikan pemandangan yang lain dari biasanya dari Cak Nun: mengenakan blankon dan seperti berjubah. Dalang Sih memberikannya sebagai ungkapan terima kasih dan katresnan kepada Cak Nun dan Mocopat Syafaat.
Sembari mempersilakan Pak Muzammil, Pak Dokter Eddot, dan Pak Mustofa W. Hasyim untuk turut ke panggung bergabung pada sesi selanjutnya, Cak Nun memulai memberikan komentar dan garis bawah atas kehadiran Pak Tanto, Dalang Sih, Sitras Anjilin dan lain-lain. Berangkat dari pemahaman dan kesadaran bahwa sesungguhnya memang bangsa kita sedang berada dalam keadaan puncak kehancuran yang sudah dirancang enam ratus tahun lebih yang silam. Sesungguhnya tak ada yang bisa melawan bangsa kita, bangsa Nusantara, baik dari sisi kekayaan alam maupun potensi kreativitas dan kedalaman pengembaraannya. Oleh karena itu, jalan yang dilakukan atas bangsa Jawa, misalnya, adalah memisahkan mereka dari leluhurnya. Dibikin sedemikian rupa agar generasi sekarang tidak tahu apa-apa mengenai leluhurnya. Semua itu di-set up secara canggih lewat media, pendidikan, dan cara berpikir. Kedua, orang-orang Islam diputus hubungan cintanya kepada Nabi Muhammad Saw. Dibaliklah pemahaman mereka akan dunia dan akhirat, surga dan neraka. Ketiga, dihancurkan kedaulatan-kedaulatan mereka.
Sebelum masuk ke sesi akhir ini, Cak Nun mengajak switch dari kegembiraan-kegembiraan fenomena dan ilmu, masuk ke sublimasi. Kurang lebih 15 menit, para jamaah diajak melantunkan shalawat-shalawat bersama musik KiaiKanjeng. Blankon dan kain putih sudah beliau lepas, dan kini kembali mengenakan peci Maiyah, Cak Nun memimpin pergerakan ruhaniah mengungkapkan rasa-rasa yang dalam kepada Allah dan cinta kepada Kanjeng Nabi.
Sesi ketiga ini banyak dimanfaatkan untuk memberikan kesempatan tanya jawab bagi jamaah. Beragam pertanyaan dikedepankan, salah satunya berkaitan dengan jin. Tetapi mengantarkan sesi ketiga ini, Cak Nun membawa jamaah pada kedalaman dimensi akhlak kepada Allah Swt. Sejumlah ayat mungkin diturunkan oleh Allah karena sudah sedemikian tumpulnya akhlak manusia kepada Allah.
“Jin adalah teman kita juga. Tak apa. Asalkan tauhid Anda kuat. Tak perlu mengusir-usir jin. Pengalaman saya, pernah ada orang yang kemasukan jin. Orang-orang yang berusaha mengusir gagal. Dan ketika saya dekati, saya ajak dia ikut saya, tidak saya usir, dan akhirnya jin-nya berhasil keluar justru atas permintaannya sendiri. Di KiaiKanjeng ada dua orang yang bagian-bagian jin seperti dan banyak pengalaman KiaiKanjeng. Salah satunya, pernah transit di rumah tua yang sudah 200 tahun tidak pernah dibuka. Di situlah KiaiKanjeng ditransitkan, dan di dalamnya penuh makhluk-makhluk halus. Saat saya masuk, pentolan makhluk halus berbentuk sangat besar itu memandangi saya, tetapi kemudian mengecil dan pergi. Saya sendiri tidak nglihat. Itu kata dua orang tadi,” Cak Nun turut memberikan respons.
Hal-hal lain yang Cak Nun ikut menambahkan adalah berkaitan dengan ilmu katuranggan, pranotomongso dan hidayah. Ilmu katuranggan perlu dipelajari setiap orangtua untuk keperluan mendidik dan memahami anak. Adapun pranotomongso adalah among kahanan atau situasi. Anda ikut musim, atau Anda mengendalikan musim. Proyeksinya, Anda menemukan dan memahami siklus alam di dalam kebudayaan, dan siklus budaya pada politik. Ini bisa baik dan bisa juga untuk niat yang tak baik. Kemudian mengenai hidayah, pada intinya manusia membutuhkan momen-momen hidayah untuk pergerakan dan perubahan di dalam hidupnya.
Pukul 03.30 Mocopat Syafaat memasuki penghujung, padahal nikmat Maiyah belum cukup waktu untuk benar-benar dapat diungkap dan dibagikan. Usai lantunan Duh Gusti, Cak Nun menutup perjumpaan malam ini dengan kalimat-kalimat yang diiringi dengan sesenggukan menahan tangis-jiwa dari dalam hatinya. Para jamaah kemudian berbaris berjabat tangan dengan Cak Nun dan narasumber lainnya.