Kisah Para Sahabat (2)
Beberapa waktu lalu, aku kisahkan kepadamu tentang kehidupan ruhani beberapa sahabatku, Kawan. Tapi rupanya masih ada hal-hal terkait sahabatku yang menggangguku kalau tidak aku lanjutkan. Sehingga aku masih merasa perlu menceritakannya padamu. Utamanya, tentang Sastro Mihardjo dan Abu Ruh-nya. Ini tentang seorang manusia yang berjuang habis-habisan hingga tingkat depresi untuk menemukan jawaban sangkan paran kehidupan sebelum dia menemukan atau ditemukan oleh Abu Ruh-nya.
Sastro mengaku lahir di lingkungan abangan. Bukan hanya abangan, bahkan dia hidup dan menjadi remaja di lingkungan orang-orang yang sama sekali tidak mengenal Tuhan. Benar! Sama sekali tidak mengenal Tuhan. Biar pun tuhan itu berwujud patung, matahari ataupun rembulan. Puncak pengetahuan mereka tentang hal ghaib adalah Danyang, penguasa ghaib suatu wilayah. Semacam Lurah. Tentu saja mereka mengenal leluhur yang telah mati yang masih harus di-slameti setahun sekali dan beberapa jenis memedi yang belakangan tidak ada yang bertemu dengannya lagi.
Tolong jangan dihubungkan absennya tuhan – baik tuhan dengan huruf besar maupun dengan huruf kecil — dengan fakta sejarah bahwa kampungnya menjadi salah satu basis pendirian Republik Sovyet di Madiun. Sama sekali bukan! Tapi memang ada hutang sejarah yang entah mengapa, tuhan seolah-olah dibendung dari cakrawala akal manusia Tjigrok hingga tak mampu memasukinya.
Tjigrok, Kampung Sastro, konon tidak besar. Hanya terdapat beberapa ratus rumah di situ. Di sebelah utara Tjigrok, dipisahkan oleh seratus-dua ratusan langkah lebar sawah, pernah berdiri sebuah pondok pesantren kuno yang kini sudah tinggal nama. Pondok pesantren itu didirikan oleh salah satu dari 3 sahabat yang mendirikan pesantren secara bersamaan di sisi barat Bengawan Madiun. Dua pesantren istiqomah menjadi pesantren kecil dan kemudian mati. Sedangkan satu pesantren berkembang menjadi pesantren yang sangat besar dengan ratusan cabang dan di era 80an hingga 90an turut menyumbangkan tokoh politik nasional. Bahkan salah satu putra kiainya dulu pernah menjadi Ketua MPR. Tapi, Tjigrok tetap saja tak terjamah.
Untungnya, di Tjigrok ada 3 keluarga yang mengenal Tuhan — dengan T besar. Sesedikit apa pun tingkat pengenalannya, koneksi vertikal itu — kendati lemah — menjadi sangat vital untuk bekal hidup di lingkungan yang batas pengetahuannya sangat material. Dari 3 keluarga yang rumahnya saling bersebelahan itu, ada dua keluarga yang memiliki surau. Sedangkan satu keluarga adalah keluarga muda yang sedang bangkit membangun rumah tangga. Di keluarga ketiga inilah Sastro lahir dan tumbuh.
Dengan bekal pengetahuan agama yang hanya didapatkan dari pelajaran di sekolah, dulu pada dekade 80an, ada seorang gadis yang mengajari Sastro membaca Al Quran. Jangan dibayangkan bahwa bacaan huruf-hurufnya sesuai dengan lidah Arab yang fasih. Ada satu orang yang mengajarinya membaca Al Quran saja sudah merupakan karunia yang luar biasa besar bagi Sastro. Begitulah Sastro tumbuh. Bekalnya hanya sekadar kemampuan mengerjakan sholat dengan beberapa surat pendek yang monoton. Tahu sedikit soal hukum dasar puasa dan sedikit pula kemampuan membaca Al Qurannya.
Jangan tanya soal madzhab, aqidah atau ilmu-ilmu dasar Islam lainnya. NU dan Muhammadiyah saja yang semestinya dikenal orang banyak karena tokoh-tokohnya sering masuk TV, Sastro tidak tahu. Maka, betapa heran dia ketika kelak dia menyaksikan orang-orang saling mengejek, mengolok bahkan mensesatkan atau mengkafirkan orang lain hanya karena perbedaan cara sholat dan cara berdoa.
Sastro memiliki pengalaman menyaksikan pencarian yang panjang dari seorang tetangganya. Adalah Menyo, seorang tetangga kampungnya, yang kerap pergi entah kemana dan ketika pulang, dia ujug-ujug datang ke surau di samping rumahnya dengan pemahaman agama yang berbeda.
Suatu ketika Menyo ditanya oleh pemilik surau, kemana saja ia pergi. Menyo menjawab singkat, “mencari Islam yang sebenarnya. Islam yang sejati. Berguru kepada Kiai.” Dan entah sudah berapa Kiai/Ulama yang dia kunjungi dan Menyo senantiasa merasa masih harus terus mencari. Demi semacam dahaga yang belum terpuaskan. Pencariannya tak kunjung menemukan hasil.
Di lain waktu, masih di masa kecilnya, dia sering menemui sahabat ayahnya yang berkunjung ke rumah. Sahabat ayahnya ini merupakan putra dari mursyid tarekat Sattariah. Dari laki-laki inilah dia mengambil kesimpulan kanak-kanak bahwa ada cara lain dalam beragama di luar yang diajarkan di sekolah. Bahwa Islam bukan hanya soal rukun Islam dan rukun Iman. Bukan hanya soal boleh dan tidak boleh, halal atau haram dan kapitalisasi pahala yang sering menjadi intisari seluruh pengajian. Tapi, soal entah. Yang pasti sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih luas dimensinya. Mungkin berlipat, berlapis dan bertingkat-tingkat. Dan ini menjadi pertanyaan terbesar dalam hidupnya yang harus dia cari jawabannya. Kemana mencari jawabannya? Entah kemana. Dengan cara apa? Entah juga. Mendadak, kegelapan meringkusnya di jalan buntu. Hanya kegelapan. Ibarat katak, dia dikurung rapat dalam tempurung.
Setelah bertahun-tahun mengembara di bawah tempurung langit, dia menemukan anak kunci pintu untuk keluar menuju alam semesta raya pada sebuah kaset milik sahabatnya: Kado Muhammad. Suara dalam kaset itu menyergapnya. Menyerapnya hingga ke tulang sumsum. Tapi, bukan berarti perjalanan menyusuri lorong gelap buntu itu telah selesai. Tidak! Sebab, Sastro masih harus terus berjuang selama 4 tahun sebelum bertemu dengan pemilik suara itu. Alam semesta terus menggemblengnya dengan kesulitan demi kesulitan. Menyiksanya dengan kesepian yang panjang. Membuangnya dalam keterasingan. Kejadian demi kejadian seolah menempanya agar dia memiliki kuda-kuda yang cukup, baik kuda-kuda fisik maupun kuda-kuda batin, sebelum memasuki dan menghayati Kado dari Muhammad.
Rupanya benar, Cak Nun — pelantun Kado Muhammad itu — memberikan alternatif cara menghayati agama yang berbeda. Ber-Islam bukan melulu persoalan apakah jilbab yang engkau kenakan memiliki sertifikat halal atau tidak, apakah engkau meminjam uang dari Bank yang berlabel Syariah atau bukan. Namun, Cak Nun membawa Sastro menyelam ke kedalaman lautan Islam yang jauh lebih substantif. Jauh mengakar ke dalam motif dan asal mula penciptaan. Cak Nun menempuh jalan para Nabi, dengan jalan memperkenalkan Tuhan kepada manusia. Jauh sebelum dirumuskan hadits, fiqih, tafsir, dsb. Jauh sebelum Sunni dan Syiah menemukan bentuknya. Bahkan sangat jauh sebelum halal-haram dilabelkan.
Cak Nun memperkenalkan Tuhan berangkat dari persoalan-persoalan dasar. Misalnya, mengapa dan bagaimana Tuhan Eksis dalam kehidupan sehari-hari manusia. Apa peran Tuhan dalam grand skenario kehidupan multi jagad raya. Dari mana Tuhan mengambil bahan untuk menciptakan alam semesta. Bagaimana posisi kehidupan di bumi dan manusia generasi Adam.
Bagaimana cara Tuhan mendidik manusia? Apakah penciptaan Iblis merupakan salah satu metode pendidikan itu. Siapa motivasi utama Tuhan menciptakan multi jagad raya dan manusia. Bagaimana penyelenggaraan birokrasi pemerintahan multi jagad yang bumi hanya sebutir debunya. Bagaimana Tuhan menunjukkan kebesaranNya kepada manusia bumi generasi Adam, dst. Ini cara pandang terhadap kehidupan yang lebih memikat, Kawan.
Itulah rupanya dasar persaksian bahwa “tidak ada Tuhan yang patut menjadi sesembahan kecuali Allah”. Tuhan-lah satu-satunya alasan, visi dan orientasi kehidupan. Seperti yang diucapkan Cak Nun, “kita mengerahkan semua kerja, kasih sayang, cinta serta seluruh energi dalam kehidupan ini untuk bergerak kepadaNya. Itulah Tauhid. Big Deal dalam kehidupan.”
Begitulah sepenggal kisah pencarian Satro Mihardjo hingga menemukan/ditemukan oleh Abu Ruhnya, Kawan. Masih ada banyak lagi cerita tentang Sastro. Tentang kehidupan di desanya. Tentang perubahan sosial para tetangganya. Tentang perantauannya. Dan tentang tentang yang lain. Kapan-kapan kalau ada kesempatan dan diizinkan, akan aku ceritakan kepadamu. Tapi tolong diingat bahwa ini bukan melulu soal Sastro. Engkau dan aku bisa mengganti nama Sastro dengan nama siapa saja. Misalnya, dengan namamu dan namaku.