Khilafah Yang Sebenar-Benarnya
Pada tulisan sebelumnya, Indonesia Itu Benar-benar “Khilafah”, saya sudah coba paparkan bahwa khilafah berarti agency of atau representasi dari sesuatu yang lain. Sesuatu yang menjadi representasi sesuatu yang lain, maka disebut khalifah-nya.
Alam semesta bisa kita sebut sebagai representasi Allah, karena dan sehingga kita bisa mengenal Allah Swt lewat alam semesta dengan memandangnya, meng-akal-kannya dan me-rohani-kannya. Jagat raya berikut pola-polanya yang tetap (ats-tsawabit) juga perubahan-perubahannya (al-mutaghayyirat) yang terpolakan juga — disebut dengan al ‘alam yang artinya tanda dan juga ayat-ayat Allah (tanda-tanda keberadaan dan kebesaran Allah Swt).
Manusia merupakan representasi Allah paling sempurna, maka manusialah yang disebutkan-Nya secara tegas sebagai khalifah-Nya. Saya katakan paling sempurna, karena manusia tidak hanya representasi sifat-sifat keindahan-Nya (al-jamal), tapi juga sifat-sifat keagungan (al-jalal), maskulinitas dan feminitas-Nya sekaligus secara konstan, bahkan manusia dititipi sifat “kecerdasan” Allah SWT.
Sahabat-sahabat Kanjeng Nabi Muhammad Saw yang setia dan sangat mencintainya berlomba-lomba menirukan apapun yang dilakukan Kanjeng Nabi Saw. Maka masing-masing dari mereka tidak sekadar menjadi representasi, bahkan berusaha menjadi duplikasi-nya dalam segala hal yang mungkin, baik lahir maupun batin.
Karena itu, kita kenal mereka sebagai para khalifah (khulafa`) Rasulullah Saw. Sahabat yang Empat, yaitu Sayyidina Abu Bakar Asshiddiq, Sayyidina Umar bin Khattab, Sayyidina Utsman bin Affan, dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib Radliyaalhu ‘Anhum Ajma’iin. Ketika menjadi pemimpin ummat Islam sepeninggal Rasulullah saw, mereka disebut dengan al-khulafa`ur-raasyidun (para pengganti Rasulullah saw yang berada pada jalan yang benar).
Ada satu hal yang perlu diiingat dari penyematan gelar itu: bahwa mereka diberi gelar mulia tersebut bukan karena jabatannya, melainkan karena kualitas apa yang mereka lakukan selama menjadi pemimpin itu yang selalu berusaha menjadi representasi Rasulullah Saw. Jadi Khalifah itu bukan gelar dari suatu jabatan, tetapi kualifikasi dari pola dan pelaksanaan dari kepemimpinannya. Maka tidak benar apabila khilafah dianggap sebagai suatu sistem tertentu, dan kemudian khalifah dianggap sebagai jabatan atau gelar jabatan.
Suatu bukti. Mu’awiyah (41-60H), Yazid bin Mu’awiyah (60-64H), Mu’awiyah bin Yazid (64-64H), Abd Malik bin Marwan bin Hakam (65-86H), al Walid bin Abd Malik bin Marwan (86-96H), dan Sulaiman bin Abd Malik bin Marwan (96-99), semuanya tidak ada yang diberi gelar sebagai Khalifah Rasulullah Saw, bahkan bisa dikatakan mereka itu didiskualifikasi dari gelar khalifah tersebut. Baru kemudian, ketika Umar bin Abd Aziz bin Marwan (99-101 H) yang merupakan cucu Sayyidina Umar bin Khattab dari jalur ibunya, tampil sebagai pemimpin ummat dari Bani Umayyah, para ulama memberinya gelar sebagai Khalifah Rasulullah Saw yang kelima karena dia menjadi anomali positif dari kepemimpinan Mu’awiyah dan pelanjutnya.
Setelah itu para pemimpin datang silih berganti, dari dinasti Bani Umayyah (sampai 127H), Bani Abbasiyah, Fathimiyyah, dan terakhir Turki Utsmani (1924M), tidak ada lagi yang diberi gelar sebagai Khalifah Rasulullah Saw. Meskipun demikian, yang namanya dunia politik, justifikasi agama sangatlah penting bagi sebuah kekuasaan, maka mereka tetap menamai kekuasaan mereka itu dengan “khilafah”.
Di tangan para penguasa, pengertian khilafah digeser dari pengertian semula yang berarti agency of, representasi, atau pengejawantah dari… Yang dalam hal ini dari Rasulullah Saw, menjadi pemerintahan atau sistem pemerintahan. Khilafah identik dengan pemerintahan dan yang menempati puncak kekuasaan disebut khalifah, apapun kondisinya. Padahal, mereka itu sebenarnya baru sebatas sebagai amir (pemerintah), dan penerintahannya semestinya disebut sebagai imarah. Dengan demikian, menurut saya pribadi, khilafah atau khalifah itu kualitas nilai, bukannya sistem ataupun gelar jabatan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rasulullah Saw yang berbunyi,”
رحمة الله على خلفائي » ، قالوا : من خلفاؤك ؟ قال : « الذين يحيون سنتي ، ويعلمونها عباد الله »
الكبرى لابن بطة
“Semoga Rahmat Allah terlimpahkan kepada para khalifahku”, maka mereka (sahabat) bertanya, “siapakah para khalifah panjenengan itu?”, maka beliau menjawab, “mereka adalah orang-orang yang menghidupkan sunnahku dan mengajarkannya kepada hamba-hamba Allah” (HR. Ibn Batthah dan Ibnu Asakir).
Rasulullah Saw sendiri tidak menentukan siapa pengganti beliau sepeninggalnya karena kepentingan beliau sebagai utusan Allah itu kepada nilai-nilai ke-Allah-an, bukan kepada sesuatu “bentuk” yang padat, yang mana bisa berubah sesuai konteks zaman dan tempat serta kondisi sosialnya. Misi beliau sangat tegas sebagaimana pernyataannya, “Aku itu diutus, tiada lain, kecuali untuk menyempurnakan kemuliaan-kemulian akhlak” (HR.Hakim dan al Baihaqi).
Kenyataan Rasulullah tidak menentukan siapa penggantinya sempat disesali oleh Abu Bakar Asshiddiq RA dimana beliau pernah berkata, “aku menyesal terhadap tiga perkara; tiga perkara yang telanjur aku lakukan, kenapa tidak aku tinggalkan, tiga perkara yang aku tinggalkan, kenapa tidak aku kerjakan dan tiga perkara yang kenapa tidak aku tanyakan langsung kepada Rasulullah Saw, …perkara yang aku sesali kenapa tidak aku tanyakan langsung kepada Rasulullah Saw, yaitu; 1. Mengapa aku tidak bertanya, siapa yang akan memimpin ummat Islam sepeninggal beliau sehingga tidak ada orang yang berani merebutnya, 2. Apakah sahabat Anshar punya hak untuk menjadi pemimpin, 3. Berapa bagian waris anak perempuannya paman dari ibu dan bibi dari bapak, karena aku masih ragu tentang hal tersebut”. (Ibnu Qutaibah al Dainuri (w.276H), al Imamah wa al siyasah, hal.21, jilid I). Tapi saya yakin keadaan tersebut memang sudah keputusan dari Allah Swt dan Rasul-Nya. Bukankah di dalam al-Qur`an sudah ditegaskan bahwa:
وَالَّذِينَ اسْتَجَابُوا لِرَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ [الشورى: 38]
“Dan orang-orang yang memenuhi kepada Rab mereka, dan mendirikan shalat, dan urusan mereka dimusyawarahkan di antara mereka, dan dari rezeki yang telah kami berikan kepada mereka, mereka menginfaqkannnya” (asy-Syuro: 38).
Gusti Allah dan Rasul-Nya memang menginginkan agar urusan-urusan yang menyangkut kehidupan bersama itu dimusyawarahkan bersama secara baik-baik dengan akal sehat dan jiwa yang bersih. Saking pentingnya musyawarah tersebut maka menjadi salah satu nama surat dalam al-Qur`an dan juga diperintahkan dan dipraktikkan oleh Kanjeng Rasul Saw (lihat wa syawirhum fi al amr – Ali ‘Imron: 159). Prinsip-prinsip bermu’amalah dan ber mu’asyarah dengan sesama sudah ditentukan dengan tegas, seperti berbuat adil (an tahkumu bil-‘adl), tidak men-dhalim-i dan di-dhalim-i (laa tadhlimuna wa laa tudhlamuna), jujur, melaksanakan amanah (an tu’addul-amaanaati ila ahliha), tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain (laa dlarara wa laa dliraara), dan lain-lain. Sedangkan bagaimana mekanisme dan tata cara me-landing-kan prinsip-prinsip itu pada bumi kenyataan diserahkan kepada ummat Islam, terutama para Ulil Albab-nya sebagai bentuk keluasan Islam dan kasih sayang-Nya kepada ummat manusia.
Lagian pula, kalau semuanya harus dipertegas secara rinci oleh Allah dan Rasulullah, lalu apa gunanya manusia diberi indra, akal, hati, diberi al-Qur`an dan didampingi oleh Rasulullah Saw selama 23 tahun lamanya. Masak manusia sebodoh itu? Afalaa ta’qiluun?