Ketangguhan yang Membuat Allah pun Bersyukur
Tadabburan malam ini berlangsung di Lapangan Stadion Putra Mars Benowo Surabaya. Masyarakat setempat mengundang Cak Nun dan KiaiKanjeng untuk memberikan wawasan, ilmu, dan sikap hidup yang diperlukan dalam menghadapi perubahan-perubahan zaman. Acara Tadabburan ini digelar dalam rangka memperingati Isra’ dan Mi’raj sekaligus dalam rangka khaul Mbah Tohsari Pangeran Benowo ke-38.
Seperti mungkin sudah ketahui bahwa makam atau petilasan wali atau leluhur zaman dahulu di kalangan masyarakat terdapat beberapa pendapat. Termasuk makam Pangeran Benowo. Ada yang berpendapat, makamnya ada di Demak, Pati, atau tempat lainnya. Salah satunya di Benowo Krajan Surabaya ini. Sejak 1978, berdasarkan apa yang dikatakan seorang kiai dari Kediri Mbah Munzir makam yang ada di tengah kampung Benowo ini adalah makam Pangeran Benowo. Mulai saat itu masyarakat di sini memperingati Khaul Pangeran Benowo setiap tahunnya, dan tahun ini memasuki ke-38. Mereka mengenal dan menyebut Pangeran Benowo dengan Mbah Tohsari.
Semula panitia berencana Tadabburan ini mengambil tempat di pelataran di depan stadion, tetapi khawatir dengan banyaknya jamaah yang hadir, lalu dipindah ke dalam stadion. Lapangan yang berpagar tanpa tribun ini berada di kawasan perkampungan yang lumayan padat layaknya perkampungan-perkampungan di kota besar. Bersebelahan dengan lapangan ini adalah pemakaman umum, termasuk komplek berukuran kecil makam Mbah Tohsari Pangeran Benowo.
Sejak Isya’ lapangan ini sudah mulai dipenuhi jamaah yang melangkahkan kaki dari rumah-rumah mereka. Di pinggir-pinggir jalan menuju lapangan, banyak remaja-remaja panitia bersiaga dan bertugas untuk lancarnya acara Tadabburan malam ini.
Tentu bagi masyarakat Benowo ini adalah peringatan khaul istimewa, karena dihadiri oleh Cak Nun dan KiaiKanjeng. Banyaknya orang yang datang beramai-ramai, bapak-bapak ibu-ibu, juga anak-anak yang diajak serta, membenarkan hal itu. Pedagang-pedagang turut mengambil tempat untuk menyemarakkan perhelatan yang membuat malam ini lain dari biasanya bagi mereka.
Sesudah rangkaian tawassulan, beberapa sambutan, dan doa, tiba saatnya Tadabburan segera dimulai. Satu per satu rombongan bapak-bapak dan dua orang ibu yang sudah mereka kenal melalui rangkaian Maiyahan yang tak pernah berhenti, yakni KiaiKanjeng, mengambil tempat masing-masing. Mas Imam Fatawi, Mas Doni, Mbak Nia, dan Mbak Yuli berada di baris terdepan. Jamaah yang berada di belakang atau masih terpencar di beberapa titik langsung merangsek ke depan sesaat setelah nama Cak Nun dan KiaiKanjeng disebut. Kemudian membuka Tadaburan, para vokalis KiaiKanjeng yang telah duduk di depan dan bermuwajjahah langsung dengan jamaah mengajak mereka melantunkan La Ilaha illallah dan pepujian Allah Wujud Qidam Baqa.
Cak Nun yang baru saja tiba di lokasi sejenak duduk di belakang panggung di ruang tenda yang sudah disiapkan panitia. Beberapa tokoh masyarakat yang telah menunggu kedatangannya ikut bergabung usai menyambut dan menyalaminya. Hanya sempat istirahat sebentar sebelum menuju lokasi ini setelah sejak pagi sampai siang meluangkan waktu bertolak ke Bangkalan Madura berkunjung ke rumah Kiai Muzammil untuk menyampaikan empati, doa, dan takziyah atas kepulangan Ibunda Kiai Muzammil menghadap Allah Swt kemarin siang. Walaupun demikian, Cak Nun tetap fit dan bugar, dan dengan penuh pelayanan kasih sayang menyambangi sedulur-sedulur masyarakat Benowo.
Usai dua nomor pembukaan dari KiaiKanjeng, Cak Nun menuju panggung diiringi para pemuka masyarakat dan muspika, dan disambut tepuk tangan. Sosok yang ditunggu-tunggu sudah hadir di depan mereka. Mengenakan baju putih, celana putih, dan peci Maiyah merah putih. Sebuah kombinasi busana yang sudah sering mereka lihat melalui Maiyahan. Dan semakin kuat serta memancarkan aura tersendiri bahwa busana itu dikenakan oleh Cak Nun.
Dengan bahasa yang ringan dan sehari-hari, Cak Nun langsung menyambung segala yang ada di sini. Aspirasi, harapan, pikiran, desir hati, bahkan juga kegalauan, situasi-situasi hati seluruh jamaah dengan bulatan-bulatan doa. Mereka diajak membaca surat al-Falaq, al-Ikhlas, dan an-Naas, dilanjutkan shalawat Nabi. Cak Nun mendoakan agar dengan bacaan surat-surat ini, jamaah atau hadirin diberikan pertolongan oleh Allah. Dijauhkan dari bahaya. Dijauhkan dari santet atau ancaman-ancaman. Kanan kiri mereka dijaga Allah melalui malaikat-malaikatnya. Agar jualan atau usaha mereka aman dan laris. Pekerjaan mereka dilancarkan. Juga agar dengan bacaan al-Ikhlas itu, mereka menjadikan apa-apa yang dialami sebagai setoran kepada Allah yang nanti akan diganti oleh Allah dengan surga.
Tidak seperti biasanya dalam Maiyahan terakhir-terakhir ini, Cak Nun mengawali Tadabburan dengan doa Wabal. Seusai tiga surat tadi, dan tiga kali shalawat Nabi, Cak Nun membaca doa Wabal dengan harapan Allah memberikan balasan bagi siapa saja. Yang melakukan kebaikan, dibalas dengan kebaikan. Yang melakukan kejahatan dibalas dengan hukuman-Nya. Hal yang sebenarnya merupakan kandungan dari firman-Nya pada dua ayat terakhir surat al-Zilzalah. Barangsiapa berbuat baik sebiji zarrah pun, Allah melihatnya, dan barangsiapa berbuat buruk sebiji zarrah pun, Allah juga melihatnya.
Lalu Cak Nun mengajak jamaah untuk eling Allah. Tetapi Cak Nun memberikan dasar terlebih dahulu, “Kalau engkau ingat Allah, apakah engkau hanya eling Allah? Apakah engkau tidak ingat tumbuh-tumbuhan, alam semesta, dan lain-lain? Khusyuk adalah engkau ingat Allah sembari tidak melupakan isi alam semesta dan engkau ajak semuanya bertasbih kepada Allah.”
Melalui Maiyahan dan Tadabburan, terasa sekali bahwa “pekerjaan” Cak Nun adalah membesarkan hati orang. Apapun yang dikemukakannya sebagai pesan, ilmu, dan pemahaman kalau bisa tak hanya mengandung kebenaran dan kebaikan tetapi juga sekaligus membesarkan hati serta menambah keyakinan dan kepercayaan diri orang-orang baik sebagai individu, kelompok, maupun masyarakat. Ajakan untuk dekat kepada Allah juga disampaikan dengan atmosfer dan output yang membesarkam hati mereka. Pun demikian dengan penafsiran terhadap ayat-ayat, dipetik dan diletakkan sebagai tenaga untuk memberi harapan, keyakinan, dan kemantapan hati. Demikianlah, Cak Nun dengan murni dan yakin meyakinkan mereka bahwa Allah akan memberikan nikmat, hidayah, dan pertolongan.
Ihwal Pangeran Benowo, Cak Nun mengatakan, “Nanti kalau ada waktu kita bisa bicara tentang hubungan Gus Dur dengan Pangeran Benowo; mengapa Pangeran Benowo nggak jadi raja; mengapa ada arah ke timur dan ke barat saat ia pergi meninggalkan keraton, dan seterusnya”, ujar Cak Nun sambil mengingatkan bahwa makam Pangeran Benowo ada di enam tempat, di antaranya ada di Pati, Kendal, Solo dan Jombang.
Salah satu pemahaman dasar yang diberikan Cak Nun yang sesungguhnya dapat dipakai untuk melihat dan menjawab persoalan menyangkut agama dan budaya adalah bahwa “Jawa harus dikawinkan dengan Islam”. Artinya orang Jawa yang memeluk agama Islam memiliki nilai, khazanah, filosofi, mental, dan kearifan yang kompatibel dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam bahasa lain, Cak Nun pernah menggambarkannya sebagai tumbu ketemu tutup.
Pukul 22.45 di tengah nikmat dan indahnya kebersamaan, tiba-tiba Allah menurunkan hujan. Agak deras. Panggung juga terkena. Jamaah sebagian merapat naik ke panggung. Yang naik di bagian belakang membantu mengangkat terpal untuk melindungi box-box alat musik dan monitor sound agar tidak terguyur air hujan. Panggung sejurus kemudian sudah dipenuhi jamaah. Terutama ibu-ibu dan anak-anak secara otomatis terprioritaskan. Semua jamaah di depan panggung kontan berdiri semua, rapat satu sama lain, terpal-terpal biru yang semula dipakai alas duduk langsung diangkat buat melindungi badan mereka (ataukah sesungguhnya untuk menadah dan mewadahi rahmat Allah yang dikandung di dalam atau melalui butir-butir air itu).
Sesudah sedikit Cak Nun segera meminta mereka melantunkan Ilir-Ilir dan di tengahnya shalawat Badar dibubungkan ke langit, dan di ujungnya permohonan doa bermuatan harapan dan keyakinan lagi-lagi diangkat naik, doa agar Allah membukan pintu-pintu barokah dan kebaikan. Semua hadirin ikut serta. Di bibir panggung, Cak Nun terkena guyur hujan sebagaimana semuanya, dan bersiap turun manakala hujan makin deras. Panggung sudah penuh jejalan orang. Tetapi semua relatif tenang, dan tak ada kepanikan bagaimana-bagaimana. Crew KiaiKanjeng mengamankan alat-alat yang perlu dilindungi. Pak Bobiet berpindah tempat ke samping bonang Mas Bayu. Pak Is yang semula duduk jadi berdiri agak bergeser. Dan Mas SP Joko memetik gitar sembari senar-senarnya ditutup lap berjaga-jaga kalau-kalau konslet. Dan musik tetap bisa dimainkan, menjadi pasukan bunyi yang menjelma salah satu wujud ketangguhan yang turut mempertangguh kebersamaan dalam hujan malam ini.
Pada saat Cak Nun melantunkan shalawat Badar tadi, bresss…!! Hujan berada pada puncak derasnya. Tetapi tidak lama juga sebenarnya. Seperti semacam sapaan sebuah kehadiran. Kejadian yang mengingatkan pada perhelatan Banawa Sekar 2014 di Trowulan. Hujan tiba-tiba turun saat Cak Nun mengangkat kedua tangannya di tengah seribuan penari rodat dan ribuan jamaah dan melantunkan Ya Robbibil Mustofa Balligh Maqasidana.
Jika di stadion Tri Dharma dua hari lalu, hujannya empat kali turun dalam hitungan menit-menit pendek, malam ini di lapangan Benowo hujannya sekali tetapi dalam waktu sekitar empat puluh menit. Durasi waktu hujan yang cukup untuk membuat badan basah, karpet di panggung bagian pinggir juga demikian, dan lampu-lampu yang tergantung seperti menyemburkan air dalam waktu cukup lama, pun angin yang hembusannya dari arah belakang panggung menyebabkan alat-alat di bagian belakang harus ekstra dilindungi dari guyuran air hujan.
Menariknya, tidak tampak kepanikan. Kalau KiaiKanjeng cukup tenang, bisa dimaklumi, karena sudah terlatih menghadapi kondisi apapun di panggung atau saat acara. Tetapi jika masyarakat yang berkumpul begitu banyak dan tak beranjak, dan tetap setia, pasti ada sesuatu yang mengikat mereka. Bapak-bapak sesepuh yang ada di tenda sisi kanan pun demikian. Banser dan polisi bekerja sama berjaga dan melakukan apapun yang dibutuhkan. Anak-anak kecil malah enjoy di tengah dekapan atau kawalan orang tua mereka. Bahkan ada seorang bocah digendong ayahnnya dan justru ayahnya sangat menikmati dan bangga bisa berada di tengah suasana langka ini.
Selama hujan turun, Cak Nun yang dua hari ini agak khawatir dengan suaranya, justru harus memaksimalkan volume suaranya. Ia ajak semua orang-orang yang berdiri dalam hujan itu untuk bareng-bareng melantunkan “Alhamdulillah was syukru lillah azka shalati wa salami li rosulillah, shalatun minallah wa alfa salam”, sambil tak henti-hentinya mengajak mereka memaknai dan mengambil ilmu langsung dari peristiwa hujan yang sedang mereka alami. Bahwa hujan adalah rahmat Allah. Bahwa dengan mau ikhlas dan istiqamah dalam suasana hujan ini, itu berarti setoran kepada Allah. Bahwa satu jam dalam hujan ini sama dengan belajar selama sekian semester. Bahwa ketangguhan dan ketahanan mereka malam itu adalah juga bentuk nandur masa depan, nandur berkah yang besok-besok akan dipanen. Bahwa Pangeran Benowo bekerja saat ini. “Aku maturnuwun, kalian tangguh semua, dan jangan dikira yang berterima kasih hanya saya, bahkan Allah pun berterima kasih karena Allah mempunyai sifat As-Syakur”, teriak Cak Nun.
Sungguh aneh bahwa dalam suasana hujan itu, dialog antara Cak Nun dengan mereka bisa berlangsung, lagu-lagu bahkan bisa dihadirkan secara spontan, dan dengan keadaan panggung yang sudah dipenuhi jamaah, ibu-ibu, dan anak-anak yang mengambil tempat di antara KiaiKanjeng, kedekatan dan kebersamaan sangat mengental. Kehangatan kian terasa saat salah seorang jamaah meminta lagunya Letto, dan oleh Cak Nun dia diminta bertanggung jawab buat menyanyikannya. Dia pun akhirnya mau. Sebelum Cahaya mengalun dan dinyanyikan bersama.
Tak hanya itu, anak-anak kecil yang ada di panggung tidak dibiarkan saja. Mereka diajak bergembira dan merasakan bahwa situasi ini tak masalah. Mereka diajak berdiri di kanan kiri Cak Nun. Mereka ditanya, dan mereka responsif, aktif, murni, dan lucu, membuat pingkal tawa mengemuka dari orang-orang tua. Juga orangtua mereka sendiri. Cak Nun sangat sayang sama anak-anak itu. Anak-anak yang malam itu mengalami pengalaman tak terlupakan. Mereka gembira diminta menyanyikan lagu-lagu anak, seperti Bintang Kecil dan beberapa lagu Jawa.
Hujan mulai reda, jamaah tetap setia pada posisi semula. Berdiri rapat, dan tidak bergeser sedikit pun. Ketika ditanya, mereka minta lagu Maroon 5 One More Night. Mas Doni langsung bergegas ke depan, ambil mic dan mengeluarkan suaranya. Sesekali ia ajak duet remaja-remaja putri yang ada di belakangnya. Sangat meriah, dan seakan sudah lupa dengan hujan yang tadi datang. Tak semua kelompok musik bisa dengan los membawakan lagu kelompok lain. Tapi tidak dengan KiaiKanjeng. Apalagi bisa dikatakan lagu ini diaransemen ulang, dan itu tidak sederhana. Banyak pertimbangan-pertimbangan dibutuhkan agar aransemen ulang itu pas dengan audiens yang mungkin sudah punya pengalaman dengan lagu aslinya, atau bahkan audiens yang belum cukup familiar dengan lagu itu. Karena dorongan KiaiKanjeng adalah melayani, maka aransemen-ulang itu harus dinamis, komunikatif, dan kaya nuansanya.
Yang mengagumkan selanjutnya adalah mereka yang semula berdiri kemudian berangsur-angsur kembali duduk di rumput lapangan padahal keadaan rumput atau tanah itu basah. Dengan mereka duduk kembali, yang bagian-bagian belakang menjadi tidak terlalu susah untuk melihat ke panggung. Suatu keberbagian yang mengharukan. Tak ada teriak atau sorak-menyorak di antara mereka. Satu sama lain sudah tahu apa dan harus bagaimana. Sementara dari panggung, Cak Nun terus menyangga jalannya acara yang sesungguhnya membutuhkan energi sangat tinggi dan ketepatan-ketepatan dikarenakan kondisi hujan. Alih-alih tampak berubah air mukanya, Cak Nun malah lebih banyak menebar senyum, menyalakan semangat, sangat aktif, meyakinkan mereka bahwa hujan yang turun bukan sesuatu yang harus dihindari melainkan harus disyukuri. Bahwa di dalam keadaan seperti itu mereka perlu ingat akan rezeki melingkar dari Allah. Pak Kiai dan Pak Kapolsek sangat terheran-heran bagaimana bisa rakyat, umat, dan jamaah dapat bersetia bertahan sedemikian rupa itu. Sesuatu yang untuk kali pertama mereka lihat dengan mata kepala sendiri.
Sebelum hujan turun, sesi dialog dibuka oleh Cak Nun. Cukup banyak soal-soal diajukan, mulai dari soal tawassul, perbedaan tradisi Islam bangsa Jawa dan Arab, cara mencintai Allah, hingga mencintai tanah air. Baru sempat menyentuh satu pertanyaan. Lalu hujan turun. Allah seakan mengatakan, “Sudah tak usah banyak diskusi, Aku akan ganti dengan peristiwa yang lebih dahsyat, adegan yang akan menyentuh semua aspek di dalam diri kalian, ya hati, akal, pikiran, ilmu, maupun saraf-saraf tubuh kalian, termasuk kandungan barokahnya akan Aku turunkan.”
Peristiwa, adegan, dan dramatika yang berlangsung pada Tadabburan, termasuk datangnya hujan itu yang mengubah dan mengakselerasi suasana, bobot, dan pencapaian acara, menimbulkan tanda tanya apa sebenarnya yang terjawab dan terisikan pada mereka, adakah basic needs yang terpenuhi oleh Maiyahan dan Tadabburan, adakah trust yang mereka rasakan, sedangkan pertemuan Tadabburan jelas-jelas bukanlah pertemuan orang dengan motivasi dagang atau kepentingan-kepentingan lainnya. Mereka sepertinya menemukan berbagai gelombang persambungan antara dunia dalam diri dan dunia luar diri mereka, antara kebutuhan dasar dan keterpenuhannya — yang selama ini absen dari kehidupan mereka.
Di tengah-tengah mengolah dan merespons berbagai stimulasi saat hujan, Cak Nun sempat menyisipkan jawaban untuk pertanyaan yang diajukan jamaah saat sesi tanya jawab sebelumnya. Adapun pertanyaan seputar tawassul, Cak Nun menjawab, “Digambar dulu. Tawassul itu seperti apa? Anda menuju ke Allah melewati Nabi atau wali. Anda menuju Allah dalam hal ini mau apa? (Berdoa atau meminta kepada Allah, jawabnya). Lebih kabul mana Anda langsung ke Allah atau melalui perantara? Kalian meminta kepada Allah sambil eling atau mengingat Nabinya itu Allah sangat senang. Kalau meminta, tanpa menyebut nama Nabi-Nya, Allah enggan. Jadi memintalah kepada Allah sembari menyebut nama Nabi-Nya. Apalagi Kanjeng Nabi itu satu-satunya orang yang diberi hak memberikan syafaat atau pertolongan kepada umatnya. Jadi, kita pantas dan layak gondelan Kanjeng Nabi. Begitu pun kepada wali-wali Allah. Anda jangan meminta apa-apa kepada mereka. Anda meminta kepada Allah sambil ingat dan menyebut para kekasih Allah itu. Yang berlangsung adalah aliran segi tiga cinta. Dan kalau engkau yakin, tawassul itu jangan dijadikan label, kerjakan saja, tanpa mengecam-ngecam siapapun yang lainnya. Dan sesungguhnya hanya Kanjeng Nabi Muhammad yang dapat diandalkan, kita-kita ini siapalah….”
Kemudian berkaitan dengan Pangeran Benowo, di awal Cak Nun menggambarkan setting sejarahnya. Pangeran Benowo merupakan putra Joko Tingkir atau Mas Karebet. Saat itu terjadi konflik kekuasaan antara Joko Tingkir melawan Aryo Penangsang yang saat itu masih sangat muda. Aryo Penangsang merasa berhak meneruskan kekuasaan karena dirinya adalah keturunan Majapahit yaitu anak ke-12 dari Prabu Brawijaya V.
Memasuki pukul 01.00, acara segera dipuncaki dengan doa dan peneguhan-peneguhan kembali nilai dan keyakinan hidup. Pak Kiai dan Pak Kapolsek masih setia mengikuti hingga puncak acara meskipun berada agak di belakang di barisan player KiaiKanjeng. Sementara itu, Cak Nun dan Mas Suko memimpin prosesi puncak acara dengan mengajak semua jamaah menyanyikan lagu Koes Plus Kolam Susu. Terkait dengan sejarah Pangeran Benowo, di awal Cak Nun telah menggambarkan secara global setting historisnya tetapi dengan garis-garis yang tegas dalam membaca sejarah tersebut disertai kontinuasi di masa Indonesia modern. Selepas lagu yang hangat itu, jamah kembali ke rumah masing-masing. Sebagian antri berjabat tangan dengan Cak Nun. Sebagian lain meminta berfoto bersama bapak-bapak KiaiKanjeng. Malam itu, mereka semua mendapatkan pengalaman yang dahsyat melalui Tadabburan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng, karena Tadabburan sendiri dibangun dengan kesiapan dan keiklhasan untuk mengutamakan kehendak Allah, dan bukan apa maunya setiap orang yang ada di dalamnya.