Kerinduan dan Pengajian yang Tak Biasa
Seperti mengerti apa yang menjadi kerinduan mereka, pada bagian awal ini Cak Nun banyak mengajak jamaah untuk bersenandung. Sebelumnya KiaiKanjeng telah membuka dengan dua buah nomor lagu bernuansa Jawa. Dan kini Cak Nun menghadirkan lagu yang sangat tersimpan di dalam hati mereka yaitu Tombo Ati KiaiKanjeng. Diawali lagu Minang, Cak Nun melantunkan Tombo Ati dengan suaranya yang lantang dan sangat diingat kekhasannya oleh jamaah. Tepuk tangan membahana, dan kemudian mereka ikut melantunkan lagu ini.
Masyarakat Bandar baru kali ini berjumpa langsung dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng. Kehadiran beliau di sini sangat membahagiakan hati mereka. Di ruang transit, tergambar jelas kegembiraan tetapi juga sikap hormat-tawaddhu’ para pemuka masyarakat dan panitia kepada Cak Nun. Sebagian mereka telah menyimak Cak Nun melalui tayangan Mènèk Blimbing di JTV yang siarannya sampai di wilayah perbatasan Jatim-Jateng ini. Di rumah transit itu, Cak Nun mendapat cinderamata berupa kotak rokok (berikut isinya) terbuat dari kayu jati yang telah dibubut layaknya produk bubut lainnya. Kotak rokok tersebut dilengkapi gambar rokok yang biasa menghiasi jari-jari Cak Nun.
Dengan lagu Tombo Ati tadi Cak Nun menjelaskan dan mendoakan agar Bapak-Ibu dan segenap hadirin ditambani hatinya bukan karena hatinya sakit melainkan karena hatinya terkena efek, pengaruh, dan menanggung segala sesuatu yang menyerang dari luar. Nomor ini kemudian disambung dengan shalawatan yang lebih partisipatif yakni melalui nomor Alhamdulillah Was Syukru Lillah. Dan puncak partisipasi pada deretan lagu ini hadir melalui nomor Hasbunallah Wa Nikmal Wakil di mana sejumlah jamaah diminta ikut serta bersama para vokalis KiaiKanjeng.
Bukan hanya keinginan dan kerinduan mereka beroleh jawaban. Tetapi kenyataan bahwa mereka malam ini mendapatkan pengalaman yang berbeda. Pengalaman pengajian yang tak sama seperti biasanya. Bahkan saat di transit tadi, seorang kakek yang duduk di depan Cak Nun berbisik penuh penasaran kepada sebelahnya, “Kiaine sing ngendi?” Simbah ini tak menjumpai sosok yang mengenakan surban atau jubah, atau bersarung dengan mengenakan jas seperti pada sosok kiai yang mungkin sering dilihatnya.
Cak Nun yang saat itu belum mengenakan peci, dan masih menyulut rokok, tersenyum dan membalas, “Kiaine gondrong mbah, tur ora koyo kiai (Kiainya berambut panjang dan tidak seperti kiai.” Seorang kiai setempat hadir di rumah transit itu dan turut menyapa Cak Nun dengan penuh hormat, dan ikut mengantarkan menuju lokasi acara. Ikut membantu membuka jalan. (hm/adn)