Kepemimpinan Sulbi
Tahqiq“Andaikan manusia tidak pernah sanggup menelusuri dirinya sampai menyentuh perjanjian sulbi.... Tidak punyakah ia perangkat-perangkat lain untuk menyadari bahwa perjalanan hidupnya tidak punya peluang apapun lainnya kecuali berproses mempersatukan dirinya kembali dengan Allah?”
Pada saat yang sama manusia malah mengabaikan perjanjian awalnya dengan Tuhan sebelum dilahirkan menjadi bagian dari kehidupan dan sejarah di dunia. Dan ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka: “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul Engkau Tuhan kami, kami menjadi saksi”. Agar di hari kiamat nanti kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini keesaan Tuhan”
Kemudian begitu ia lahir dari rahim Ibundanya, ia lupa. Dan ketika berkembang menjadi besar dan dewasa, manusia tidak mencari dan mengingat-ingat utang janjinya. Kelas-kelas pendidikan, buku-buku ilmu dan pengetahuan, laboratorium masa silam, masa kini, dan masa depan yang didirikan oleh manusia, tidak pernah mengagendakan pelacakan, verifikasi, validasi, dan deskripsi tentang perjanjian yang sangat mendasar dan mutlak menentukan nasib mereka kelak di hadapan Penciptanya.
“Sejak dulu Cak Sot sering memperingatkan”, kata Brakodin, “bahkan ketika manusia mengalami krisis, kebobrokan perekonomian, kehancuran kebudayaan, kekumuhan politik dan kehinaan kemanusiaan, serta berbagai kesengsaraan keduniaan – tetap saja manusia tidak melacak hulu permasalahannya, tidak membungkukkan badan dan hatinya kepada Yang Maha Penyebab dan Maha Pengakibat….”
Maha Benar pernyataan Allah bahwa manusia itu dholuman jahula. Dholim dan bodoh. Memimpin dirinya sendiri pun tak bisa, tapi heboh mencalon-calonkan dirinya untuk memimpin masyarakatnya dan menjadi khalifah bumi dan alam semesta.
“Bagaimana manusia bisa mengerti bahwa dulu di sulbi pernah mengalami perjanjian dengan Allah?”, Junit bertanya, “semua orang pasti bertanya bagaimana mungkin manusia menyadari itu. Perjanjian itu berlangsung ketika manusia masih berada pada tahap embrional. Masih benih. Jauh dari mengalami aktivitas akal yang menghasilkan kesadaran. Bahkan secara jasad pun belum berwujud”
“Itu dulu juga ditanyakan kepada Mbahmu Markesot di Patangpuluhan”, jawab Brakodin, “dan Mbahmu tidak terutama menjelaskan lapisan-lapisan kesadaran yang berlangsung di dalam kehidupan manusia, dari kesadaran akal sampai kesadaran ruh, yang lebih mendalam dan kelam. Kesadaran pikiran, kesadaran naluri, kesadaran fitri, kesadaran instingtif, kesadaran darah, kesadaran napas, kesadaran yang lebih mikro dan lembut lagi. Yang berbeda-beda konstruksi dan perangkat-perangkatnya, namun semua adalah juga kesadaran. Tapi persoalan utamanya tidak di situ, meskipun semakin modern, manusia memang tidak semakin bergerak untuk mempelajari lapisan-lapisan kesadaran itu”
“Jadi apa jawaban utama Mbah Sot?”
“Andaikan manusia tidak pernah sanggup menelusuri dirinya sampai menyentuh perjanjian sulbi. Andaikan manusia hanya dibungkus kegelapan dan ketidaktahuan sampai usia dewasanya. Andaikan tidak ada kemungkinan untuk membawa dirinya sampai ke kesadaran sulbi itu — tidak punyakah ia perangkat-perangkat lain untuk menyadari bahwa perjalanan hidupnya tidak punya peluang apapun lainnya kecuali berproses mempersatukan dirinya kembali dengan Allah? Tidak cukupkah rasa dan ilmu Tauhid untuk itu?”
“Atau”, Brakodin menambahkan, “bukankah sudah sangat cukup bagi setiap makhluk, apalagi bagi manusia yang ciri utama kemanusiaannya adalah akal, bahwa Allah memfirmankan informasi tentang perjanjian dengan-Nya itu? Masalahnya bukan tahu atau tak tahu atas perjanjian itu. Masalahnya adalah maukah manusia memimpin dirinya untuk bertauhid, ataukah tak mau.”
Brakodin mencoba mengulang seingat-ingat pikirannya penjelasan yang dulu pernah dikemukakan oleh Markesot.
Manusia selalu berdalih bahwa ia buta komunikasi dengan Tuhan, hanya karena ia bukan Nabi, Rasul atau Malaikat. Alibi kebutaan itu kemudian menjadi alasan untuk merasa sah memposisikan diri berjauhan dengan fenomena wahyu. Padahal kebutaan seharusnya merupakan alasan logis untuk justru memerlukan wahyu. Berabad-abad sesungguhnya manusia mengerti bahwa lebah-lebah saja pun diwahyui oleh Allah, tetapi output-nya terbalik: manusia justru merasa lebih tepat untuk berposisi jauh dari wahyu. Ada kemungkinan karena secara psikologis ia punya kecenderungan untuk menghindar dari tanggung jawab kehidupan dan nilai-nilai perilaku yang dirumuskan hulu-hilirnya di dalam wahyu.
Markesot dulu menerangkan bahwa yang terjadi bukannya Allah membikin paket-paket wahyu khusus untuk Nabi, paket-paket karomah untuk para Auliya, kemudian eceran-eceran ilham untuk manusia secara umum. Sesungguhnya Allah hanya melakukan satu kali tiupan, menghembuskan wahyu itu untuk seluruh ruang dan waktu. Tiupan itu adalah hanya tiupan itu, bukannya rangsum yang berbeda-beda untuk tingkat rohaniah yang berbeda-beda pada manusia.
Satu tiupan yang sama itu menimpa semuanya, Nabi Rasul atau siapa dan apapun saja. Yang berbeda adalah kualitas rohani, tingkat kelembutan, kecanggihan software, pada manusia ini dan manusia lainnya. Tuhan memancarkan siaran yang sama, tetapi televisi manusia berbeda-beda, bertingkat-tingkat daya tangkapnya. Tugas manusia dalam pendidikan dan perjuangan hidupnya adalah terus-menerus meningkatkan daya tangkapnya terhadap satu tiupan itu. Meningkatkan kompatibilitasnya, digitnya, pikselnya, daya serapnya, daya rabanya.