Kemerdekaan adalah Hak Segala Jin dan Manusia
Saimon pada dasarnya sangat mengerti apa yang bergolak di dalam jiwa Markesot sahabatnya.
Bahkan mengerti secara cukup mendalam. Maka ia membiarkannya berlaku apapun tanpa diganggu olehnya. Markesot melamun, tertidur, mengigau, mendadak memekik-mekik, kemudian loyo dan tidur kembali. Terbangun mendadak dan bukan hanya langsung berdiri, malahan meloncat tinggi hingga satu tangannya memegang dahan pohon jauh di atas.
Kemudian Markesot berlompatan dari dahan ke daun, berputar-putar mempermainkan sulur-sulur panjang, sambil meneriakkan kalimat-kalimat yang kadang-kadang dinyanyikannya. Tentu saja itu bukan pertunjukan Ilmu Silat atau unjuk kependekaran. Sesungguhnya yang terjadi pada Markesot adalah kegembiraan kanak-kanak.
Riang gembira alamiah seorang anak. Setua apapun umur Markesot, ia tetap seorang anak. Sekurang-kurangnya ada semacam Markesot permanen, yang diam bertapa di relung kedalaman ruang, yang tidak mengalir pada waktu. Yang tidak bersentuhan dengan usia, tidak berurusan dengan rentang waktu, tidak mengenal lama atau sejenak, serta tidak terikat oleh dulu, sekarang dan esok.
***
Ke manapun Markesot pergi, berputar-putar di kampung-kampung perkotaan atau berumah singgah di tepi hutan, tidak pernah Markesot lepas pijakan kesadaran dan kepekaan terhadap Markesot yang bertapa di ruang terdalam jiwanya.
Itulah Markesot yang abadi. Jangan marah dulu. Apakah ada makhluk yang abadi? Pertanyaan itu teruskan ke yang lebih hakiki: apakah makhluk itu ada? Apakah makhluk itu benar-benar ada, ataukah sekadar diadakan oleh yang Sejati Ada?
Kalau ‘ada’ nya makhluk saja tidak benar-benar ada, maka tidak berlaku pertanyaan lanjutannya: ia abadi atau sementara, ia sejati atau bikin-bikinan. Yang senyata-nyatanya kenyataan adalah La ilaha illallah. Tidak ada yang ada kecuali Allah. Tidak ada yang sejati ada kecuali Ia, maka Ia Ilah Tunggal, atau satu-satunya.
Seluruhnya yang seakan-akan ada, makhluk hidup dan alam semesta, termasuk Saimon dan Markesot, pada hakikatnya hanyalah tajalli dari Yang Maha Ada dan Maha Abadi.
Maka ada Markesot yang sejati, sebagaimana setiap manusia ada diri sejati dan abadinya, meskipun kebanyakan mereka tidak mengetahui dan bahkan mengacuhkannya. Adapun Markesot-Markesot yang lain hanyalah fungsi-fungsi pada skala waktu tertentu, peran-peran sejenak beberapa jenak, atau Markesot sebagai ekspresi sejumlah penugasan alam di dalam kebudayaan manusia.
***
Bermacam-macam Markesot yang bersifat sejenak dan sementara, lambat laun akan berlalu. Yang tersisa adalah Markesot yang sejati dan abadi.
Begitulah sesungguhnya hakikat diri semua dan setiap orang, namun kebanyakan mereka tidak menyadarinya dan tidak ingin mengetahuinya.
“Kebanyakan orang menyangka dirinya adalah dirinya”, kata Markesot pada suatu kesempatan kepada sejumlah orang dulu di Patangpuluhan, “Itulah induk kesalahan ilmu semua manusia di dalam peradabannya. Maka apa saja yang kemudian mereka bangun di atas fondasi kesadaran induk yang salah itu, akan salah juga, dan belum pernah ada yang tidak berakhir dengan kehancuran. Bahkan kemusnahan”
Ungkapan-ungkapan semacam itulah yang dulu menyebabkan Saimon tidak bisa menahan diri untuk datang memperkenalkan diri kepada Markesot. Di rumah Patangpuluhan. Yakni rumah yang buruk, kuno, dan tidak ada manusia yang menyewa untuk mau bertempat tinggal di dalamnya.
Maka rumah itu kemudian ditawarkan untuk dikontrak dengan harga yang keterlaluan murahnya. Markesotlah satu-satunya manusia yang berjodoh dengan level itu, karena sedemikian miskin keadaannya.
Kebanyakan orang mengumumkan bahwa mereka tidak mau menyewa rumah itu karena terlalu banyak hantunya, dan jenis hantu-hantu penghuninya sungguh-sungguh harus dijauhi oleh semua manusia. Para penyebar isu itu lupa bahwa pengumuman mereka itu menjadi sumber keberkahan bagi Markesot. Menyewa dengan sangat murah. Ditambah popularitas takhayul bahwa Markesot ditakuti dan ditaati oleh semua hantu.
***
Hampir-hampir saja Saimon sendiri mempercayai itu. Apalagi ketika ia datang menemuinya, Markesot ketus menjawab sapaannya: “Kamu Jin ngapain kemari?”
Saimon mencoba santai menjawab: “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa Jin maupun Manusia”
“Kemerdekaan Jin berlaku di dunia Jin, kemerdekaan manusia berlaku di antara sesamanya”, kata Markesot.
“Sesama hamba Tuhan dianjurkan untuk saling berkenalan dan menyayangi satu sama lain. Syu’ub boleh berbeda, qabail boleh beda, tapi semua harus lita’arofu”
Rupanya lumayan pengenalan Saimon tentang prinsip-prinsip nilai dalam Al-Qur`an. Markesot yang pengetahuan Qur`annya serabutan dan sepotong-sepotong, merasa agak terpukul juga.
Tapi mana mau dia kalah lawan Jin. “Kamu sudah mengenal saya dengan cukup baik, dan itu yang menyebabkan kamu datang ke sini. Saya pun lumayan sudah mengenalmu. Maka sebenarnya untuk apa kamu ke sini, toh lita’arofu sudah kita laksanakan dari wilayah kita masing-masing”
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengabarkan. Saya tidak mau nanti datang saat di mana Allah mengabarkan kepada semua ummat manusia dan ummat Jin bahwa kita tidak memelihara silaturahmi”
“Saya bukan menolak silaturahmi. Tetapi ada maqam dan proporsi masing-masing. I’malu ‘ala makanatikum, inni ‘amil fi makani. Kerjakanlah tugasmu di wilayahmu, saya juga bekerja di daerah saya sendiri”
“Ah”, jawab Saimon, “Kalau sekadar ngrumpi dalam pertemuan sesekali kan baik-baik saja tho”
“Saya nggak enak sama teman-teman manusia di sini”, Markesot menjelaskan, “Nanti mereka menyimpulkan saya suka bergaul dengan Setan. Karena mereka umumnya tidak mengerti perbedaan antara Jin dengan Setan”
Saimon tetap tidak mau kalah. “Kamu kan pernah mengatakan bukan kata manusia yang kuikuti, tetapi pandangan Allah yang kutakuti….”
“Jangan berlagak tidak ngerti. Pandangan manusia justru sangat mengerikan, karena umumnya ngawur, tanpa data objektif dan asal omong. Kalau pandangan Tuhan malah aman, karena jernih, pasti benar. Asalkan kita benar, maka benar juga menurut Tuhan. Kalau manusia, kita benar bisa jadi salah. Kalau kita salah malah bisa dibenarkan. Kalau kamu sering ke sini dan ada manusia yang tahu, nanti yang berpikiran buruk akan memfitnah saya macam-macam. Sedangkan yang berpikiran baik malah mengerubungi saya karena dianggap Dukun”
Saimon tertawa terpingkal-pingkal.