Kembali Menemani Para Santri di Rembang
Melanjutkan perjalanan dari Ponorogo, malam hari ini Cak Nun dan KiaiKanjeng telah berada di Alun-alun Rembang untuk berkumpul bersama puluhan ribu santri dan masyarakat. Sama dengan di Ponorogo, hajat acara pada malam ini memperingati kiprah santri dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Hujan turun sejak pukul sebelas siang mengguyur kawasan kota Rembang, hingga acara segera dimulai, hujan masih rintik-rintik turun. Beberapa bagian di alun-alun tergenang air. Sampai saat acara sudah dimulai, titik-titik air hujan itu tetap menemani. Tetapi ribuan santri dan masyarakat sudah duduk di atas alas masing-masing. Padat, rapat, dan tak menyisakan sela.
Backdrop di panggung tidak seperti biasa, karena memang tak ada backdrop, melainkan layar putih yang di bawahnya berjajar wayang-wayang kulit. Tadabburan ini menghadirkan Cak Nun, KiaiKanjeng, Gus Mus, Dalang Sigit Ariyanto, dan narasumber lainnya. Masing-masing tidak tampil sendirian atau bergiliran, melainkan dalam satu kesatuan komposisi yang dipasrahkan sepenuhnya kepada Cak Nun. Gus Mus membuka dengan sejumlah pengantar tentang sejarah ulama dan santri di Indonesia. Santri adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Demikian Gus Mus mengingatkan.
Salah satu segmen Tadabburan kali ini adalah pementasan wayang singkat oleh Ki Dalang Sigit Ariyanto dari Rembang yang membawakan lakon Noroyono, kisah Kreshna saat menuntut ilmu alias nyantri. Ki Dalang Sigit sendiri sudah sangat lama ingin berada dalam satu panggung dengan Cak Nun dan KiaiKanjeng, dan malam ini keturutan. Bagi Ki Dalang Sigit, Cak Nun adalah sosok yang istimewa. Bulan Februari 2016 lalu, dia datang ke Kadipiro untuk menyampaikan sejumlah pengalamannya tentang Cak Nun yang terjadi sebelum dia bertemu secara langsung dengan Cak Nun.
Usai Gus Mus membuka, kesempatan diserahkan kepada Cak Nun. Segera saja, para jamaah dan santri diajak membangun seluruh jalannya acara dengan khasanah dan karakter santri. Bersama-sama membaca shalawat, melantunkan beberapa ayat surat Al-Hasyr, dan nomor Pambuko yang magis dengan suluk Cak Nun, dan kemudian Shalawat Nariyah. Saat shalawat Nariyah ini, sejumlah remaja penari sufi langsung connected dan segera menari, berputar, memasuki semesta musik KiaiKanjeng.
Dengan rangkaian di atas, aransemen awal acara ini diangkat dari unsur-unsur khasanah santri, dan dengan bagus diformasi oleh Cak Nun, sekaliigus memberi contoh kepada para santri bagaimana menghadirkan dan mempersepsikan relasi dan posisi seni, budaya, dan agama dalam hidup manusia. (hm/adn)