Kembali Memasuki Kedalaman Gamelan Pakem Jawa
Biarpun sudah tak terhitung jumlah mengunjungi desa-desa, menghampiri kota-kota, dan merambah mancanegara dalam perjalanan bersama Cak Nun dua puluh tahun lebih, dan sekalipun sejumlah personelnya telah merambat memasuki usia tak muda lagi, semangat selalu belajar dan belajar tak pernah lepas dari KiaiKanjeng. Dua hari setelah Maiyahan di Sidoarjo, Pak Nevi dan kawan-kawan ngumpul di rumah kakak beradik Giyanta-Sariyanto di Mangir Bantul untuk latihan gamelan Jawa.
Apakah mereka tidak bisa memainkan gamelan Jawa? Tidak. Memang gamelan KiaiKanjeng yang digubah konsep nadanya oleh Pak Nevi Budianto tidak tergolong gamelan Jawa, tetapi gamelan Jawa sendiri bukan khasanah yang lain sama sekali bagi mereka. Bahkan ada kesinambungan akar historisnya. Proses kreatif musik-puisi Cak Nun pada tahun 70-an bersama Karawitan Dinasti sendiri menggunakan alat musik gamelan Jawa. Ketika Taman Budaya Yogyakarta pada Desember 2013 lalu menggelar retrospeksi musik-puisi, Cak Nun, Karawitan Dinasti, dan KiaiKanjeng diminta memuncaki rangkaian acara dengan menghadirkan kembali musik-puisi.
Pada kesempatan itu, piranti-piranti karawitan Dinasti di mana gamelannya adalah gamelan Jawa dimainkan oleh KiaiKanjeng. Sebagian besar pemain Dinasti pada masa 70-an itu sudah tak aktif lagi, kecuali Pak Joko Kamto dan Novi Budianto yang saat menjadi dua sosok paling sepuh di KiaiKanjeng. Dan saat itu ketika KiaiKanjeng beralih ke alat-alat musik karawitan Dinasti pada nomor-nomor musikalisasi puisi karya Cak Nun, di antaranya Tuhan Aku Berguru Kepada-Mu, Bali, Nyanyian Gelandangan, mereka tampil cukup memukau.
Sejumlah personel KiaiKanjeng pun pada dasarnya juga memiliki background cukup lekat dengan gamelan Jawa termasuk Mas Sariyanto dan Mas Giyanta. Latihan karawitan sore dan malam hari kemarin dimaksudkan agar KiaiKanjeng merasakan dan mengalami lagi bagaimana memainkan gamelan pakem asli Jawa, serta untuk lebih menghangatkan kembali pengayaan pola pukulan dan aturan main gamelan. Ini dikarenakan dalam karawitan banyak pakem-pakem yang baku yang selama ini beda dengan pola gamelan KiaiKanjeng yang lebih leluasa dan dikonsep untuk berbagai kemungkinan keperluan musikal.
Bisa dikatakan pertemuan latihan di rumah Mas Sariyanto itu semacam latihan pakem kembali setelah bertahun-tahun mengembara dengan keluasan eksplorasi. Di sini, Pak Nevi tidak bisa “improvisatoris, nakal, dan liar” dalam memainkan gamelan seperti biasanya pada saat memainkan gamelan KiaiKanjeng. Tetapi bagi para personel KiaiKanjeng ini bukan pada sekadar persoalan teknis, tetapi pada rasa. Memainkan hati. Merasakan kedalaman karya luhur Jawa. Yakni Kedalaman gamelan Jawa yang asli. Dan ujungnya, mereka berharap latihan ini bisa memperkaya kreativitas. Karenanya, KiaiKanjeng berkomitmen latihan ini akan dijadwal rutin supaya semakin memperdalam masuk ke keluhuran musik gamelan Jawa.
***
Iya, menjelang Maghrib tiba Bapak-bapak KiaiKanjeng sudah lengkap dan segera memulai latihan. Pendopo rumah Mas Sariyanto dan Mas Giyanta menjadi berbeda dari hari-hari biasanya. Meskipun, seperti dikatakan Mas Sariyanto, “Setiap Jum’at, Sabtu, dan Minggu pendopo ini dipakai anak-anak kampung di sini untuk latihan karawitan. Kebetulan saya yang ngelatih.”
Sebagaimana pada latihan biasanya di Kadipiro, mereka menjalani aktivitas latihan dalam suasana segar, penuh canda, celetukan spontan yang lucu dan bikin tawa di antara mereka. Dalam suasana seperti itulah mereka berlatih dengan serius, menabuh bilah-bilah piranti gamelan. Dan ternyata, seiring kumandang adzan Maghrib terdengar, hujan deras mengguyur. Pendopo yang terbuka itu, sekalipun dikelilingi pohon-pohon kelapa, menjadi tertembus oleh kepyur-kepyur air hujan. Sejenak kekhusyukan berlatih terjeda. Waktunya shalat maghrib, dan istirahat beberapa saat, sembari menyeruput teh panas yang telah disiapkan oleh istri Mas Sariyanto.
Setelah istirahat, latihan memasuki babak yang lebih khusyuk. Semua berkonsentrasi membunyikan gamelan. Mas Sariyanto dan Mas Giyanta terlihat sangat telaten dalam memandu satu per satu para player KiaiKanjeng. Awalnya, bunyi-bunyi yang muncul belum menemukan bentuknya secara solid, tetapi perlahan-lahan alunan suara gamelan Jawa itu terdengar makin enak dan nikmat. Memang latihan ini tak seperti biasanya. Ada semacam perubahan dari kebiasaan.
Mas Imam Fatawi yang biasanya nyanyi dangdut dan vokalis didapuk nuthuk kenong, Mas Blothong biola diminta pada posisi bonang, Pak Bobiet Keyboard memainkan kempul, Mas Doni vokalis dijatah pegang gong, Pak Is suling menabuh peking, dan Pak Joko pada slenthem. Relatif baru mereka memainkan alat-alat musik ini, sehingga bikin senyum-senyum sendiri manakala ada yang salah atau kurang pas. Dalam latihan ini, beberapa tembang coba dibawakan, di antaranya Lancaran Cundoko, Lancaran Witing Klopo, dan Lancaran Manyar Sewu.
***
Menyaksikan latihan KiaiKanjeng ini juga sekaligus menyaksikan lebih dekat dua personelnya yang menjadi tuan rumah yaitu Mas Sariyanto dan Mas Giyanta. Keduanya bukan sekadar pemain musik. Tetapi juga sosok muda yang memiliki panggilan untuk dunianya. Pendopo atau joglo tempat latihan itu adalah salah satu saksinya. Joglo ini oleh keluarga Mas Sariyanto dibangun dengan satu tekad bahwa dari Joglo ini kelak akan lahir generasi-generasi yang paham dan mendalami kecintaannya pada budaya luhur Jawa. Acara pementasan dan latihan kesenian tradisi Jawa seperti karawitan, kethoprak, dan tari-tarian segera diselenggarakan secara rutin dan dikhususkan bagi anak-anak atau generasi muda.
Tak hanya itu. Keluarga Mas Sariyanto ini ternyata punya usaha iwak wader. Itu sebabnya, selepas latihan, Pak Nevi, Pak Jokam, Pak Bobiet, Pak Is dan lain-lain dihidang makan malam dengan menu khusus yaitu iwak wader. Apalagi sambelnya maknyus-maknyus gimana gitu. Dan, jangan bilang-bilang ya, ini kayaknya jadi motivasi tambahan bagi mereka buat datang ke rumah Mas Sariyanto nun jauh di pelosok Mangiran. Sebut saja, menu itu, iwak wader kebersamaan. Kebersamaan KiaiKanjeng yang selalu belajar, bereksplorasi, dalam keluasan dan kedalaman, tak terkecuali kedalaman gamelan Jawa. [Harianto, Jamal J., dan Helmi Mustofa].