Keikhlasan dalam Cinta Segitiga
Lapangan ini sebenarnya tak cukup luas, sehingga tak mampu menampung jamaah yang hadir dari berbagai daerah. Sebagian yang tak tertampung mengambil tempat di jalan di luar lapangan, dan di sana sudah disiapkan layar sehingga dapat menyimak suasana di lapangan. Tak ada rasa tak puas. Sebab semua terlihat mengikuti dengan baik. Semua ikhlas.
Keikhlasan dan cinta inilah yang beberapa saat kemudian muncul menjelma sebuah pengalaman. Saat Cak Nun mengajak jamaah bershalawat Badar dengan berbagai versi etnik, hujan turun lembut beberapa saat. Kontan jamaah berdiri. Sebagian menutup kepalanya. Cak Nun menceritakan, KiaiKanjeng sering mengalami hujan turun saat bershalawat Badar di mana hati yang ikhlas dari KiaiKanjeng dan jamaah benar-benar memuati hati. Hujan itu berlangsung tak lama. Hanya beberapa saat saja, dan kemudian reda. Serasa kehadiran yang tengah menyapa.
“Rasulullah ngijabahi. Malaikat menyampaikan kepada Allah, dan Allah menyampaikan kepada Rasulullah. Dan Rasulullah kemudian hadir. Rasulullah hadir. Selamat datang duhai penghulun manusia dan alam semesta,” Cak Nun mengajak semua jamaah meyakini apa yang baru saja terjadi.
Sejurus kemudian, sesaat setelah hujan reda, Cak Nun mengajak jamaah melantunkan dua ayat terakhir surat at-Taubah, dan segera memasuki kekhusyukan shalawat-shalawat. Semua memasukkan dirinya dalam semesa cinta segitiga. Suara-suara lirih mengikuti. Mas Donni Vokalis KiaiKanjeng menuturkan, saat itu ia merasa begitu nikmat bershalawat, ringan, enteng, dan enak sekali. Jiwa terasa mendapatkan basuhan. (Hm/adn)