Kapal Nuh Abad 21
Tahqiq“...Usai shalat bersama, masing-masing kembali ke tempatnya masing-masing, masuk ke kantor-kantor yang bermacam-macam pekerjaannya: kantor kebenaran, kantor setengah benar setengah salah, kantor setengah sah setengah batal, kantor perusahaan kemungkaran dan perusakan....”
Dengan nada sedih Pakde Sundusin memberi contoh bahwa kalau kita melihat sekian ratus atau ribu orang bersujud bersama, menggerakkan badannya mengikuti gerakan Imam, itu tidak serta merta merupakan gambaran dari Ummah Wahidah.
Yang berdiri memimpin di depan memang adalah “Imam”, tapi bukan sama dengan “Imam Mereka”. Mereka hanya bersepakat di satu bab saja, yakni shalat beberapa menit yang mereka jalankan bersama. Belum tentu Imam Shalat adalah Imam Nilai, Imam kehidupan dalam arti yang luas dan kongkret: kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan serta satuan-satuan sosial lainnya.
Kebanyakan jamaah yang taat pada gerakan dan irama shalat Imam itu sangat mungkin tidak mengenal secara pribadi siapa yang mengimami mereka. Jangankan lagi Imam kepada jamaahnya. Para jamaah juga tidak punya pengetahuan yang memadai tentang kehidupan Imam sembahyangnya. Tidak punya bahan informasi yang mencukupi tentang kehidupan beliau, pekerjaannya, penghasilannya, integritas nilainya, praksis akhlaqnya, sikap politik, pemihakan-pemihakannya terhadap berbagai konstelasi dalam kehidupan.
Andaikan ada satu juta orang memenuhi Masjid, lapangan dan sejumlah jalanan di kota, bersembahyang bersama, mendengungkan kalimat-kalimat keagungan Allah bersama sehingga menggetarkan siapapun saja yang mendengarkannya — tidak berarti mereka merdeka dari keadaan yang didefinisikan oleh Allah “tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta”: mereka berhimpun bersama seolah satu badan raksasa yang valid dan solid, tetapi hati mereka terpecah belah. Kepentingan-kepentingan mereka terkeping-keping berbeda satu sama lain. Kiblat kehidupan mereka mungkin berbeda-beda, tak hanya delapan penjuru angin, tapi bahkan bisa sebanyak jumlah titik yang memenuhi lingkaran.
Usai shalat bersama, masing-masing kembali ke tempatnya masing-masing, masuk ke kantor-kantor yang bermacam-macam pekerjaannya: kantor kebenaran, kantor setengah benar setengah salah, kantor setengah sah setengah batal, kantor perusahaan kemungkaran dan perusakan, kantor kumpeni kemunafikan dan manipulasi, kantor nafsu dan kepentingan, kantor pengurasan kekayaan rakyat — meskipun esok harinya mereka berkumpul kembali dan melakukan shalat berjamaah lagi.
Ketika Nabi Nuh membikin kapal, kemudian sejumlah tidak banyak orang dipersilakan menaikinya bersama sekian ribu pasang binatang, tidak sukar memilah mana yang beriman dengan mana yang kufur kepada Allah. Andaikan di abad ini Nabi Nuh dihadirkan dan Allah menyelenggarakan banjir besar, dan andaikan kriterianya adalah siapa yang mau naik kapal dan siapa yang mau naik gunung — maka tidak pula bisa setenang ketika beliau melakukan itu di zamannya.
Sebab yang menaiki kapal Nuh abad 21 ada banyak macamnya. Ada yang bergabung karena iman dan taqwanya. Ada yang ikut Nabi Nuh demi keselamatan teknis dari banjir. Ada yang turut naik kapal untuk merusak kapal dari dalamnya. Ada yang kufur dan pekerjaannya menyindir dan menyakiti Nabi Nuh, tapi ketika banjir datang ia menjilat-jilat Nabi Nuh agar diperkenankan ikut di kapal. Ada yang kufur tapi naik kapal. Namun sesudah berada di dalam kapal ia menjadi beriman. Ada juga yang bahkan mengorganisir orang untuk naik kapal padahal ia seorang yang kufur, dan sesudah sampai di kapal ia merekayasa situasi untuk merebut kendali nahkoda dari tangan Nabi Nuh.
Ada beribu kemungkinan yang bisa terjadi pada manusia di zaman ini. Di Kapal Nuh abad 21 selamat dan tidak selamat tidak bisa langsung diidentifikasi. Menang dan kalah tidak bisa dinilai dari satu tahap perjalanan. Andaikan Nabi Nuh mengangkat seseorang yang dilihat oleh beliau paling mendalam kekhusyukan agamanya, paling rajin dan tekun ibadahnya, paling santun budi pekertinya, serta paling cakap dan prigel bakat pengorganisasiannya — di abad 21 bisa ternyata Sekjennya Nabi Nuh itu adalah orang yang paling efektif untuk menjegal kaki Nabi Nuh serta menikam punggung beliau dari belakang.
Demikian juga yang dialami oleh para Rasul dan Nabi yang lain, sebelum muncul secara lebih jelas fenomena kemunafikan dan kemusyrikan di era Rasulullah Muhammad Saw. Kurun Rasul Nabi sebelumnya adalah era-era keberimanan dan kekufuran, sedangkan pada abad-abad sesudah Muhammad Saw adalah kisah-kisah panjang dan ruwet tentang kemunafikan dan kemusyrikan.
Seharusnya, logisnya, ummat manusia pasca-Muhammad mengembangkan kecerdasan dan kewaspadaannya sekian kali lipat, agar memiliki kelembutan dan ketelitian menemukan substansi dan esensi sikap batin terdalam manusia terhadap Tuhannya.