Kapal Besar Tanpa Konstruksi dan Negara Sarung
Produk-produk perkapalan Indonesia sangat bagus hasilnya, dan itu diakui oleh Eropa. Mereka membeli produk Indonesia. Tetapi oleh pemerintah Indonesia, ia dilepas begitu saja di pasar bebas tanpa ada pemihakan, prioritas, dan perlindungan. Orang-orang Indonesia per Individu hebat, buku-buku yang dibaca mahasiswa di sini sama seperti yang dibaca di Amerika atau negara-negara maju, tetapi mengapa kalah bersaing. Itu adalah sedikit dari latar belakang mengapa Cak Nun dan KiaiKanjeng diundang untuk memberikan wawasan dan refleksi, sekaligus memuncaki rangkaian Dies Natalis ke-29 Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya.
Para mahasiswa, dosen, karyawan, dan masyarakat umum menyimak dengan jenak dan nyaman acara Sinau Bareng ini. Sebuah fenomena yang tampaknya lebih terasa bahwa jiwa mereka tertampung dulu oleh atmosfer dan ekosistem yang dibangun Cak Nun dan KiaiKanjeng. Sehingga, dalam keadaan itu, mereka bisa diajak lebih konsentrasi berpikir. Pak Masruchi, salah seorang dosen dan panitia mengakui hal yang sama. “Ini luar biasa, Mas. Orangtua mereka belum tentu mampu membuat mereka duduk berjam-jam, termasuk dosen-dosen mereka yang menyampaikan SKS-SKS mata kuliah. Tetapi oleh Cak Nun mereka bisa duduk lama mengikuti telaah-telaah. Sesungguhnya para dosen membutuhkan kemampuan ini. Amalannya apa, Mas,” tanyanya penuh penasaran.
Di Politeknik Perkapalan Negeri ini, di depan jajaran direksi dan narasumber lainnya, Cak Nun menggambarkan bahwa Indonesia ini adalah kapal besar yang goyang dan tak punya konstruksi, alias seperti sarung tanpa anatomi. Siapapun bisa menjadi apapun. Bisa menonjol menjadi yang seharusnya bukan. Dalam keadaan seperti itu banyak hal yang dilakukan tetapi tidak efektif jadinya, dan yang lebih parah adalah yang di bawah akan tertimpa banyak akibat dari kondisi ini. Akibat lainnya adalah yang muncul mengiklimnya saling tidak percaya dan tidak aman.
Namun demikian, dalam kondisi seperti ini, para mahasiwa dibekali Cak Nun tiga hal menyangkut prioritas dalam hidup mereka. Pertama, ada prosentase di mana mereka konsentrasinya pada pekerjaan untuk membahagiakan orangtua dan keluarga. Kedua, harus ada prosentase juga di mana mereka ikut memikirkan bagaimana ndandani Indonesia. Ketiga, mereka tak boleh tidak perlu punya prosentase juga untuk memikirkan kemajuan Indonesia yang jangkanya jauh ke depan, ke anak-cucu.
Untuk keperluan jangka panjang itulah, Cak Nun mengawali Sinau Bareng ini dengan membukakan imajinasi mereka bahwa perkapalan ini erat kaitannya dengan peradaban nenek moyang kita. Mereka dikenalkan walau sekilas kata ‘Banawa Sekar’ (integrasi kapal/maritim dan bunga/agraris), Madagaskar yang berasal dari Madagasekar. Di negeri Madagaskar nenek moyang kita sudah sampai di sana sejak sebelum Masehi dan menjadi guru di sana. Mereka diajak menangkap jiwa kemaritiman tetapi tidak boleh melupakan jiwa keagrarisan. Keduanya harus saling melengkapi.