Kalau Iman, Puasa Akan Efektif
Memenuhi undangan Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Seni dan Budaya (P4TK Seni dan Budaya), pagi tadi pukul 09.00 WIB, Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di Auditorium P4TK Seni dan Budaya yang berlokasi di Klidon, Sukoharjo, Ngaglik, Sleman, Yogyakarta untuk Tadabburan bersama. Acara ini dimaksudkan untuk memberikan pembekalan khususnya kepada para pegawai P4TK dalam mempersiapkan diri menyambut datangnya bulan Ramadhan 1437 H.
Selain dihadiri oleh karyawan lembaga yang bertugas memberikan pembekalan, workshop, pemberdayaan, peningkatan SDM, dan pengembangan kualitas guru seni dan budaya se-Indonesia serta gelaran atau pameran Internasional dua tahunan, acara ini juga mengundang ketua RT/RW dan takmir Masjid sekitar, pegawai P4TK Matematika, dan beberapa santri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Yogyakarta.
Sembari para personel KiaiKanjeng melangkah menempati posisi masing-masing, pemandu acara yang tampil sangat rapi dengan duduk bersimpuh membacakan sebuah geguritan (berbahasa Jawa) berjudul Malioboroku. Rupanya, geguritan ini dipersembahkan kepada Cak Nun yang barusan ulang tahun ke-63 pada 27 Mei 2016 ini. “Sugeng ambal warso, Cak…,” ucap sang pembawa acara.
Sesudah itu, Cak Nun didampingi Ibu Novia Kolopaking melangkah berdua naik ke panggung. Tadabburan pun segera dimulai, dengan terlebih dahulu Cak Nun menyapa semua hadirin, serta menyampaikan satu dua kalimat yang menggambarkan rasa hormat kepada kepala P4TK Seni dan Budaya, Bapak Salamun, SE, MBA, Ph.D., yang juga salah seorang teman Cak Nun.
Waktu yang tersedia hanya dua jam, sehingga Cak Nun bersegera membuka Tadabburan ini dengan meminta Ibu Novia membawakan tembang Bangbang Wetan. Sebuah nomor yang dimaksudkan untuk menunjukkan iguh atau usaha untuk sedekat mungkin dengan seluruh hadirin yang kali ini hampir semuanya mengenakan busana daerah.
Pasca tembang Bangbang Wetan, Cak Nun langsung to the point mendasari pembahasan mengenai tema puasa. “Bahwa ketika kita mendengar apapun hendaknya dengan software yang pas”. Misalnya tatkala Allah berfirman, ‘Wahai orang-orang beriman di wajibkan atas kamu berpuasa….agar kalian bertaqwa’. Yang pertama, ayat itu tidak berarti orang-orang yang tidak beriman tidak diperintah puasa, melainkan tekanannya adalah, “Kalau iman, maka puasa akan efektif.”
Kedua, tujuan berpuasa adalah agar manusia yang berpuasa itu “bertakwa”. Senada dengan penjelasan litaskunuu ilaiha yang berkaitan dengan pernikahan, atau cinta suami-istri, pada beberapa Maiyahan belakangan, Cak Nun menggambarkan bahwa taqwa itu bukan sesuatu yang sudah permanen, pomah, nancep, tetapi sesuatu yang harus terus-menerus diperjuangkan alias dinamis. Sesuatu yang dituju terus. Sesuatu yang senantiasa la’alla.
Kemudian, para hadirin diajak berpikir mendasar mengenai puasa. Di antaranya melalui pertanyaan: apakah puasa membuat Anda lebih kuat atau lemah. Hal ini dikemukakan Cak Nun mengingat acara ini merupakan pembekalan atau motivasi dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan. Kegiatan yang juga banyak berlangsung di masyarakat. Implisit terkandung di dalamnya pengertian seakan-akan para peserta dalam kondisi lemah sehingga perlu diperkuat (motivasinya, dll), atau puasa berpeluang bikin sesorang lemah sehingga perlu diantisipasi di antaranya melalui pembekalan seperti ini. “Karena itu harus ada tatanan atau software pada diri seseorang supaya puasa jadi kekuatan,” kata Cak Nun seraya mengisahkan belum lama ini saja dunia modern mengakui pentingnya puasa, padahal ini dilakukan manusia sejak dahulu kala.
Dalam kesempatan ini, Cak Nun kemudian membawa hadirin memasuki pemaknaan yang lebih luas tetapi substansial. Bahwa kandungan puasa adalah latihan agar manusia punya kemampuan mengerem, bukan melampiaskan. Bahwa dengan puasa seseorang insyaAllah akan lebih sehat, lebih kuat sel-selnya. Sel adalah inti jasad manusia, dan puasa akan menguatkan sel-sel itu, memperkuat antibodi, dan menyebabkan tidak rentan penyakit.
Puasa juga sudah merupakan teknik hidupnya orang-orang tua zaman dahulu. Sebagaimana Rasulullah hidupnya juga ‘puasa’. Orang Jawa malah memiliki idiom yang lebih spesifik yaitu ‘masani’ atau mempuasai. Karena itu, Cak Nun melontarkan pertanyaan buat direnungkan apakah puasa itu untuk mencapai atau untuk puasa itu sendiri. Sementara itu, Ramadhan adalah masa training prinsip puasa untuk penerapan puasa pada bulan-bulan di luar Ramadhan. Cak Nun memberi contoh, “Saya mempuasakan jasad saya. Saya latih terus. Dalam hidup yang singkat, jasad harus kuat. Jadwal yang padat, kurang tidur, dan harus melakukan banyak hal, adalah situasi di mana saya melakukan atau perlu melakukan pemuasaan jasad saya.”
Di bagian akhir, salah satu prinsip puasa yang diungkapkan Cak Nun adalah, “jangan sampai kita nyandu atau kecanduan apa saja.” Bersamaan dengan itu, Cak Nun juga mengingatkan hadirin untuk mengaktivasi malaikat-malaikat yang ada pada dan disiapkan untuk diri kita oleh Allah dengan jalan rajin — rajin menyapa para malaikat tersebut. Terakhir Cak Nun menjelaskan bahwa imsak yang didengung-dengungkan menjelang habis waktu sahur sesungguhnya itu adalah hakikat hidup, yaitu mencegah, mengendalikan, dan menahan diri.
Dua jam waktu yang disediakan tak terasa sudah habis. Poin-poin ilmu dan sedikit tanya jawab sudah dicapai dalam Tadabburan ini. Dari awal waktu, KiaiKanjeng telah menghadirkan beberapa nomor, seperti Sholatun Minallah Wa Alfa Salam, yang secara khusus dipersembahkan kepada Pak Kapus Salamun, komposisi dan aransemen Ojo Lamis Manthous dan Everything I Do Bryan Adams yang dibawakan Mas Doni dan Ibu Novia, tandem Mas Doni dan Mas Imam dalam One More Night Maroon Five dan Beban Kasih Asmara, dan terakhir nomor Letto Sebelum Cahaya kembali oleh Ibu Novia yang memuncaki persembahan pagi-siang tadi di Auditorium Saraswati P4TK Seni dan Budaya Yogyakarta. Pukul 12.00 WIB, acara diakhiri dengan doa yang dipimpin langsung oleh Cak Nun.