Kaca Mata Biasa Saja
Sebenarnya aku masih ingin meneruskan kisah perjalananku dengan Pak Toto Raharjo, tapi tidak disangka-sangka di tengah jalan Bang Jo menghadang laju tulisanku. Tidak seperti lampu bangjo (sebutan untuk traffic light di kota Jogja) yang memang tugasnya nyegat orang, Bang Jo yang ini cara nyegat–nya tidak beraturan, suka-suka dia untuk menentukan kapan harus nyegat atau tidak nyegat jalannya orang. Maklum dulunya dia itu tokoh pergerakan. Maksudnya suka bergerak dan bergerak-gerak sesukanya.
Meskipun aku memanggilnya bang alias abang, Bang Jo, bukan berarti dia masih muda. Umurnya terbilang usia senja, tapi gairah hidupnya selalu muda, gelora jiwanya tak kalah dengan pemuda-pemuda Indonesia yang mengangkat senjata maju ke medan juang mengusir ‘kompeni’ yang menginjak-injak harkat dan martabat bangsanya. “Tidak seperti muda-mudi masa kini”, begitulah biasanya Bang Jo menyindir kiprah generasi muda hari ini.
“Tolong segera engkau ceritakan pengalaman hidupmu selama bersama dengan diriku”. Bahasa formal dan kaku itu memang ciri khasnya Bang Jo. “Tolong segera kamu ceritakan, agar menjadi pelajaran bagi anak muda harapan nusa, bangsa dan dunia.”
Bang Jo memang hobinya mengganggu. Mirip Bapaknya KiaiKanjeng yang biasa dipanggil sebagai Kepala Dinas Gangguan Pikiran.
***
Kuaduk-aduk tumpukan kenangan hari-hari bersama Bang Jo. Dengan niat menemukan kisah yang istimewa. Sulit. Sulit memang menemukan kisah istimewa bersamanya, karena semuanya memang biasa-biasa saja. Kisah biasa-biasa saja. Mirip judul bukunya Pak Toto “Sekolah Biasa Saja”. Buku yang di cover belakangnya terpampang foto mirip sekali dengan mantan ketua KPK, Antasari Azhar. Tukang memenjarakan para koruptor yang sekarang malah dipenjarakan oleh para koruptor. Memang lucu negri ini. Orang-orang dibuat bingung menentukan siapa yang benar siapa yang salah. Siapa yang pencuri siapa yang dicuri, siapa perampok siapa yang dirampok. Tapi sudahlah, itu sudah biasa.
Peristiwa yang kuceritakan ini memang peristiwa biasa saja. Hanya adegan membeli kacamata di ruang tunggu stasiun tua. Biasa saja, penjual menawarkan kacamata dagangannya kemudian Bang Jo yang tertarik untuk memiliki membayar sesuai harga yang disepakati. Kaca mata diserahkan dan uang dibayarkan. Cukup, selesai sudah.
Meskipun orang-orang masa kini menjadikan jual beli sedemikian rupa sehingga seakan-akan bukan peristiwa biasa saja. Mulai dari komoditi yang diperjual-belikan, tehnik jual-belinya, tempatnya sampai instrumen yang digunakan berkembang sedemikian hebat sampai-sampai aku dan Bang Jo yang orang biasa-biasa saja hanya sanggup geleng-geleng kepala. Luarr biassa.
Kini jual beli diperankan sebagai inti dari kehidupan. Seluruh energi hidup, pikiran, jiwa dan raga dikerahkan untuk satu peristiwa, jual beli. Sampai-sampai orang merasa tidak bisa hidup dan tak mungkin ada kehidupan kalau tidak ada jual beli. Bahkan-bahkan jual beli menjadi lebih dari peristiwa hidup itu sendiri. Coba amati, mana dari peristiwa di sekelilingmu yang bukan peristiwa jual beli, di pasar, di warung, itu pasti. Coba lihat yang di sini, di sekolahan, di rumah sakit, di gedung pengadilan negeri, di kantor urusan agama, di dinas kebersihan kota, di gedung DPR, gedung KPK, kantor kelurahan bahkan sampai di kamar mandi dan tempat tidur penuh dengan urusan jual beli.
***
Kembali ke urusan Bang Jo yang beli kacamata di stasiun tua tadi. Waktu kami sedang asik ngobrol ngalor-ngidul di ruang tunggu, seorang penjaja kaca mata menghampiri kami. “Kacamata baca pak, mari silahkan dicoba-coba.” Berulang-ulang ia menawarkan. Aku yang memang kebetulan bukan manusia berkacamata dan memang kurang suka bergaya dengan kacamata memilih untuk cuek. Tapi tidak dengan Bang Jo, ia menanyakan berapa harganya, artinya dia tertarik untuk membeli.
Ketika penjual menyebutkan harganya, aku semakin tidak tertarik. Mahal sekali, sebab aku tahu betul harganya tidak sampai segitu, karena kebetulan aku sering nongkrong di parkiran Gembiraloka Zoo. Dan sering bincang-bincang dengan pedagang kacamata yang memang banyak jualan di situ. “Itu mahal sekali Bang”, aku mengingatkan Bang Jo untuk tidak membelinya, atau setidaknya untuk menawar harga.
Seakan tak menggubris omonganku, Bang Jo langsung merogoh kantung saku celananya, dan membayar dua buah kacamata. Barang diserahkan dan penjual bergegas pergi.
“Harga segitu itu mahal lho, Bang.”
“Aku sudah tahu, tapi apa ya tega menawar. Paling selisihnya juga cuma seberapa. Seandainya selisih itu jumlah uang yang kita punya dan kemudian uang itu hilang, kita pasti tidak merasa kehilangan. Karena jumlahnya yang sedikit menurut kita.”
“Perlu kamu tahu ya, uang segitu itu sangat berharga dan jauh lebih berharga bagi penjual kacamata itu, makanya aku tidak menawar.”
Aku diam, “Ini bukan jual beli yang biasa,” bisikku dalam hati.
Tak lama kemudian kereta yang kami nanti tiba. Aku bergegas menuju kereta dan sedikit bergaya memakai kaca mata. Kaca mata biasa saja pemberian orang yang luar biasa. (hars)