Kabupaten Sebagai Contoh Konstruksi Bagi Indonesia
Boleh dikatakan, dan sebaiknya digarisbawahi demikian, bahwa apa yang ditekankan oleh Cak Nun dalam banyak kesempatan belakangan ini adalah ‘konstruksi’. Berpikir membutuhkan konstruksi. Memikirkan sesuatu semestinya jelas konstruksi pemikirannya. Menganalisis persoalan tak terkecuali. Dari berpikir, bersikap, hingga membangun negara harus didasari landasan yang konstruksional alias jelas bangunannya, sebagaimana badan manusia terang konstruksinya. Kekacauan dalam pelaksanaan atau langkah-langkah politik oleh negara, pelaku politik, maupun masyarakat bisa ditemukan bermula dan berjalan karena ketidakkonstruktifan konsep dan pemahaman di baliknya.
Sambutan Pak Bupati yang berlatar belakang PDIP pun direspons oleh Cak Nun dengan pendekatan konstruktif psikoantropologis sebagaimana yang sering Cak Nun sendiri lihat setiap kali bertemu di berbagai daerah, di mana ada titik balik untuk bersikap santri. Dalam kelakar Cak Nun, “Pak Bupati wis warek nakale pas cilik, saiki dadi santri.” Dari konstruksi ini, Pak Bupati diminta nyanyi. Bersama vokalis KK, beliau dan wakilnya menembangkan lagu Campursari Sewu Kutho. Ditambah lagi, satu lagu Iwan Fals Bongkar atas permintaan audiens. Untuk jamaah dan hadirin Pak Bupati berbagi kemesraan dengan bagi-bagi rokok yang dilempar ke jamaah.
Sama halnya dengan fenomena RSUD dr. Iskak, Cak Nun bersyukur melihat upaya penerapan sejumlah konstruksi pemikiran mengenai kesehatan dan kedokteran sebagaimana selama ini beliau lontarkan. Mulai dari konsep trilogi pekerjaan “ziroah, shina’ah, dan tijaroh”, tiga jenis uang “uang transaksi, uang terpaksa, dan uang rasa syukur”, komprehensi persepsi mengenai dimensi dan keutuhan manusia, empat bidang yang tak boleh diperdagangkan (agama, pendidikan, kebudayaan, dan kesehatan), hingga pemahaman tentang dokter bukan sebagai profesi. Cak Nun menceritakan banyak contoh dan implementasi yang secara pribadi dialami dan dilakukannya.
Contoh yang paling aktual adalah konstruksi yang beliau pandukan kepada Kapolri dalam menghadapi rencana aksi 212 di mana ada gagasan untuk shalat Jumat di jalan protokol Sudirman dan MH. Tamrin Jakarta. Konstruksi dasarnya adalah prinsip ushul fiqih: melakukan mudarat kecil untuk menghindarkan mudarat yang lebih besar.
Selengkapnya ada lima prinsip yang berkisar pada ihwal menghindarkan mudarat yang lebih besar. Sebagaimana press conference siang tadi, Kapolri, Habib Rizieq, dan MUI menyampaikan rencana shalat Jumat itu akan dialihkan ke Monas, bukan lagi ke jalan protokol. Sebab, seperti disampaikan Cak Nun, jika shalat jumat itu jadi dilaksanakan di jalan protokol akan menjadi preseden apapun boleh dilakukan oleh siapapun di jalan protokol atau utama sehingga akan mengundang mudarat yang lebih besar atau risiko politik yang juga lebih besar.
Tidak berarti masalah telah selesai di situ, karena masih banyak hal yang berjalan dan untuk memahaminya juga memerlukan pemahaman yang konstruksional. Karenanya Cak Nun melanjutkan pemaparannya hingga soal penahanan Ahok, amsal Ahok dan Buni Yani, hingga perlunya melingkar utuh memahami hakikat penistaan, yang tak sesederhana yang dibayangkan banyak orang, sebab jika mau menyeluruh klausul penistaan ini harus dipahami maka penistaan terhadap kitab suci berarti sekaligus penistaan terhadap UUD 1945, Pancasila, dan perjanjian-perjanjian kenegaraan, dan bahwa setiap hari banyak sekali berlangsug penistaan yang tidak dipahami sebagai penistaan, seperti sumpah jabatan yang diingkari oleh pejabat. Demikian Cak Nun memberi contoh mengenai konstruksi. Dari peristiwa dan kasus-kasus itulah Cak Nun mengajak jamaah belajar memahami konstruksi itu secara lebih jelas.
Kembali ke Tulungagung, pada prinsipnya Cak Nun meyakinkan masyarakat Tulungagung bahwa mereka beruntung memiliki pengalaman luar biasa, di antaranya dengan fenomena RSUD dr. Iskak ini. Juga berkumpulnya rakyat atau masyarakat malam ini menunjukkan bahwa mereka adalah sel-sel tangguh masyarakat yang apabila mau “puasa” dan kompak antara Bupati dengan warganya akan tercipta Tulungagung yang ayem tentrem sebagaimana menjadi semboyan mereka. Ke kabupaten manapun, Cak Nun menyampaikan konstruksi yang sama, salah satunya masa depan Indonesia bergantung pada bagaimana Bupati dan jajaran membangun kebersamaan dengan rakyatnya. (hm/adn)