Jin Sebagai Pengagum Manusia
“Saya sangat kagum kepada manusia Jawa”, kata Saimon, “kreativitas kebudayaannya, pencapaian peradabannya, ragam hitungan-hitungan atas waktu dan ruang”
Markesot mendengarkan sambil mengelus-elus tongkat panjang di tangan khayalannya.
“Semua manusia dan masyarakat di luar mereka menghitung waktu melalui putaran tujuh, yang orang Jawa sendiri menyebutnya Dite, Soma, Anggara, Budha, Respati, Sukra danTumpak. Bangsa Jawa sangat toleran dan akomodatif, sehingga mereka mengalah dengan menyebut itu Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu”
“Masih lumayan mereka belum mengganti itu semua menjadi Sande Mande Tusde Wenesde Sesde Fraide dan Satede”, Markesot menyahut sambil tertawa kecil.
“Sangat mengherankan”, Saimon meneruskan, “Seluruh manusia ada di manusia Jawa, seluruh dunia ada di pulau Jawa, tetapi bangsa Jawa membuang dirinya sendiri. Begitu memasuki urusan Agama, menjadi rela menjadi Arab. Begitu mengurusi ilmu, mereka makmum kepada Barat. Sungguh aneh”
“Jin kok merasa aneh”, Markesot nyeletuk, “Jin itu sendiri aneh, kok merasa aneh”
“Ijtihad ilmu dan pengetahuan manusia Jawa tidak hanya membagi waktu dalam siklus tujuh, tapi juga Lima, Enam, Delapan, Sembilan, bahkan Duaratus Sepuluh”
Markesot membiarkan Saimon mengomel. Mau sepanjang apapun silakan. Toh nanti kalau Markesot tertidur karena kelelahan, ia bisa menyusun aura dan getaran yang membuat Saimon tidak tahu bahwa ia tidur.
***
“Tungle, Aryang, Wurukung, Paningron, Uwas dan Mawulu, dalam hitungan siklus Enam”, Saimon semakin mengungkapkan kekagumannya, “Betapa mendalam, meluas dan melembutnya nenek moyang Bangsa Jawa sehingga mengkonfigurasikan faktor-faktor yang ilmu apapun tidak menemukan susunan seperti itu: daun, manusia, hewan, ikan, burung dan benih, disatu-komposisikan dalam konsep Sadwara atau Paringkelan”
“Mungkin rata-rata manusia Jawa masih mengenal dan memakai Siklus Lima: Pethak, Abrit, Jeneyan, Cemeng dan Kasih. Yakni Putih, Merah, Kuning, Hitam dan Kasih. Kok warna dan warna dan warna dan warna, tiba-tiba dan Kasih? Dahsyat penemuan kosmologi Bangsa Jawa”
“Atau secara popular mereka mengenalnya sebagai Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon. Banyak di antara mereka menghormati dan mempercayai ijtihad waktu ini. Siklus alam, cuaca, aura, wibawa, dialektika langit bumi, dan berbagai macam dimensi lainnya, disusun dalam Siklus Lima. Mereka melangkahkan hidupnya, menentukan arah kakinya, membangun rumahnya, menentukan hari pernikahan putra-putrinya, menentukan letak pintu-pintu, kamar mandi, jalannya air, ruang dalam, beranda, halaman dan semuanya, dihitung berdasarkan ikhtiar ilmu dan pengetahuan mereka tentang anugerah waktu dari Allah swt”
“Anak-anak muda Bangsa Jawa belajar keluar pulau, bahkan keluar Negeri. Yang belajar di Barat balik pulang untuk meremehkan invensi dan inovasi kakek-nenek mereka sendiri. Yang belajar di Negeri wahyu pulang dengan membawa stempel-stempel bertuliskan Musyrik, Kafir, Sesat, Bid`ah, Khurafat, Takhayul dan bermacam-macam stempel lagi. Kemudian stempel-stempel itu ditimpakan di jidat Bapak Ibunya, Kakek Neneknya, Moyang Leluhurnya, serta tetangga-tetangganya”
***
Markesot yang sebenarnya sempat tertidur, mendadak terbangun dan tersenyum mendengar kalimat-kalimat terakhir Saimon.
“Kalau Sunday Monday itu kebenaran, kalau Ahad Itsnain itu kebaikan, kalau Legi Pahing itu masuk neraka. Padahal sama-sama hasil ijtihad, buah pemikiran dan keluaran pencarian. Kalau meter itu kebenaran, kalau depha atau kilan atau watang itu kayu bakar api neraka. Alangkah bodohnya orang yang makanannya sekolahan. Alangkah sempitnya ilmu yang tidak tahu bahwa ia bukan ilmu. Alangkah hilang-diri orang Jawa yang bangga menjadi orang Barat dan orang Arab”
Markesot mencoba tidur lagi tapi makin sukar karena omelan-omelan Saimon semakin entah ke mana-mana.
“Betapa terbelakangnya manusia-manusia modern yang menghuni hamparan Bumi. Mereka menyangka kafir musyrik munafik itu terletak di benda, ruang dan waktu. Padahal alamatnya ada di dalam diri mereka sendiri, di dalam pola pikiran dan kuda-kuda hati mereka sendiri. Mereka mengira akidah, iman, ilmu, kekufuran, kemusyrikan, kemunafikan dan segala unsur jahiliyah letaknya di kampung, desa, kota, hutan, kuda lumping, kemenyan, jathilan, keris, perabot, alat-alat, perangkat, maintenance, padahal itu persoalan di dalam diri mereka sendiri”
“Jangankan mencoba mempelajari kembali penemuan nenek moyang mereka tentang, umpamanya, keseluruhan dan detail dari Enam Siklus Waktu. Bahkan pada satu variabel saja, mereka kehilangan kemampuan, kepekaan dan kecerdasan untuk menikmati komposisi Siklus Lima dengan Siklus Tujuh misalnya. Seakan Rembulan yang mengelilingi Bumi, sekaligus pada waktu yang sama bersama Bumi mengelilingi Matahari. Betapa indahnya aransemen dan irama waktu. Padahal itu baru lokal. Neptu. Weton. Masih di petak kecil Tata Surya. Padahal tarian alam semesta melibatkan miliaran Galaksi dan ruang tak terhingga serta waktu yang sifat dan susunannya tak terkira”
Markesot tertawa kecil, “Rupanya ada Jin yang nge-fans sama orang Jawa…Asal jangan lantas minta foto bareng”
***
“Orang Jawa sekarang ini merasa dirinya sudah melangkah maju menjadi manusia modern, di bawah kepemimpinan orang Barat. Dan sudah merasa menjadi orang yang paling diterima oleh Tuhan karena sudah semakin keras berusaha untuk menjadi orang Arab”
Markesot menyela, “Kamu Jin nggak ada urusan dengan anti Barat atau anti Arab”
“Lho saya tidak anti Barat atau Arab”, Saimon menjawab, “Saya mendukung orang Barat sebagai orang Barat dan orang Arab sebagai orang Arab. Mereka jangan lantas menjadi orang Jawa. Tuhan sudah menyusun semua dengan baik, yang ayam jangan membebek, yang kera jangan mengkambing, yang burung jangan menggajah….”
“Kamu lebih berpengetahuan tentang dunia manusia daripada tentang kaummu sendiri”, Markesot mengkritik, “Pasti karena di alam kamu tidak ada hewan sebanyak jenis hewan di dunia manusia”
“Benar atau tidak pernyataanmu itu sama sekali tidak menjadi masalah bagi kaum saya. Yang saya bicarakan adalah rasa eman kepada manusia, khususnya manusia Jawa”
“Saya kira ummat manusia tidak memerlukan rasa simpati dari kaum Jin, apalagi sampai sejauh itu”
Saimon tertawa agak keras. “Sejak kapan manusia mengerti apa yang benar-benar mereka perlukan? Kehidupan mereka makin hancur karena terlalu sibuk mengejar dan memperebutkan segala hal yang mereka inginkan. Bukan yang mereka perlukan. Apalagi yang sejatinya mereka butuhkan”.