CakNun.com

Jihad Akbar dan Benteng Nusantara

(Tulisan ke-6 dari 10)
Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 4 menit
Foto oleh Anggit Rizkianto dari Unsplash.

Saya bertamu ke rumah sahabat lama. Sejak hampir setengah abad silam kami sudah berteman baik. Seorang Cina Benteng atau Cina Pribumi. Yakni sedulur Cina yang merasa dirinya orang pribumi Indonesia, yang di hatinya melingkar benteng nasionalisme NKRI. Berbeda dari sedulur-sedulur lain yang benderanya adalah materialisme: tak penting tinggal di mana, menyimpan uang di mana, yang penting cari laba. Labanya pun tak ada batasnya, kalau bisa seluruh Indonesia mereka genggam di tangannya.

Dia agak kaget kali ini karena saya datang bersama sahabat yang dia belum kenal, yang berpakaian putih-putih dari bawah sampai ikat kepala. Tegang dia. Kami dipersilakan duduk, dia teriak ke belakang minta kopi. Saya memperkenalkan sahabat putih-putih ini, sambil membuka-buka Katalog 500 lukisan Indonesia koleksi Bung Karno, yang pamerannya gagal diselenggarakan karena keburu dilengserkan menyusul dibunuhnya John F. Kennedy.

Dia lebih kaget lagi ketika tiba-tiba saya bertanya: “Karena pusing merasakan perkembangan akhir-akhir ini, bagaimana kalau saya jadi anti-Cina?”. Tentu saja dia terperangah.

Dia seorang Ibu. Umurnya nenek-nenek. Pemerintah RI di awal kemerdekaan menganjurkan agar nama Tionghoanya diganti Indonesia. Maka ia mengubah namanya menjadi “Indonesia”. Panggilannya Ida.

Sesudah salah tingkah beberapa saat oleh pertanyaan saya, ternyata akhirnya ia tertawa. Bahkan agak lama dan terkekeh-kekeh.

“Kok Riko tertawa?”, saya bertanya. Riko itu (“o”nya dibaca seperti di kata Ponorogo, bukan Solo atau Oslo) dalam bahasa Jawa Timur berarti “Sampeyan” atau “Panjenengan” kalau di Yogya-Solo. Riko lebih kelas bawah, dusun atau sangat jalanan. Terkadang Riko diganti Ndiko.

“Kalau anti-Cina, berarti itu bukan Ndiko”, katanya.

“Maksud Riko?”

“Ndiko kan pengecut, apalagi urusan sama Tuhan. Cina, Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Barat, Arab sampai induknya dulu, Samawi dan Altai, kan karya Tuhan. Kalau membenci lukisan, berarti menyakiti pelukisnya”

“Tapi kalau lukisannya buruk, kan kita jengkel pada pelukisnya”

“Lukisan selalu ada yang bagus dan ada yang buruk. Mosok gara-gara lukisan jelek Ndiko jadi anti pelukisnya, tanpa memperhatikan lukisan lain yang bagus”

“Jadi, kalau saya tidak anti-Cina”, kata saya, “siapa musuh kita sekarang ini menurut Riko? Beruang? Naga?”

Si Benteng Pribumi itu menjawab serius: “Bangsa Indonesia tidak punya musuh, karena jiwa mereka mengayomi dan mengasuh, sehingga tidak memusuhi siapapun. Bangsa Indonesia sekarang ini sedang dimusuhi, didholimi, ditikam dari belakang, dijebak, dikempongi, dilucuti, dikuasai dengan siasat dan akal-akalan yang luar biasa, tetapi rakyat Indonesia tidak dendam, tidak pernah berpikir untuk membalas”

“Apakah yang mendholimi kita itu bukan musuh kita?”

“Yang harus kita tolak dan lawan adalah kedholimannya, keserakahannya, keculasannya, pelampiasan-pelampiasan nafsu dengan menjebak kita yang harus mengongkosinya”

Saya tersenyum, tapi saya sembunyikan. Maksud saya memang supaya dia berceloteh banyak tentang “gambar besar”, supaya didengar oleh sahabat putih-putih saya.

“Apa ini yang Riko sering omongkan tentang kapitalisme global, yang Gubernur Jendralnya di Indonesia adalah Sembilan Naga?

“Ya terserah apa namanya”

“Globalisasi?”

“Itu cara mencapainya”

“Kapitalisme liberal?”

“Itu genre mutakhirnya”

Kemudian radio siaran sendiri dari mulutnya. Sambil mengelus-elus Tongkat Cheng Ho koleksi di rumahnya, saya mendengarkan sambil berharap sahabat putih-putih saya mendengarkannya juga.

“Kapitalisme Global merupakan kekuatan organisasional yang menciptakan super-organisme sedunia, yang dikendalikan oleh sekelompok masyarakat dunia dengan satu tujuan yaitu menguasai dunia. Seluruh kekayaan bumi diupayakan menjadi miliknya, minimal di bawah kendalinya. Pada bentang panjang sejarah peradaban manusia, Kapitalisme Global sesungguhnya merupakan metamorfosa dari kekuatan-kekuatan besar penguasa bumi. Imperialisme dan Kolonialisme hanyalah merupakan satu babak pendahulu.

Di abad gegap gempita sekarang ini, Kapitalisme Global semakin kuat dengan segala kelengkapan organnya. Bahkan Negara-negara besar dan maju tunduk menjalankan agendanya. Dan di era sekarang ini, di seluruh permukaan bumi ini, Indonesia adalah Negeri paling seksi untuk panggung konser kecerdasan para pelakunya. Pertama, karena kekayaan buminya yang melimpah. Kedua, jumlah warga negaranya yang besar.

Dan untuk konteks Indonesia dengan bentuk Negara Kesatuan Republik (NKRI), kekuatan Kapitalisme Global menjalankan dua agenda besar yaitu Melemahkan Negara dan Melemahkan Rakyat. Karena bagi Kapitalisme Global, Negara harus tetap ada dan negara harus dipertahankan keberlangsungannya. Maka kita disuruh meneriakkan “NKRI Harga Mati”.

Mengapa? Karena Negara merupakan bentuk pelembagaan atau institusionalisasi dari kedaulatan ummat manusia atau bangsa yang mendiami sebuah wilayah. Maka segenap aparatur pemegang mandat pengelola negara menjadi satu-satunya penguasa atas kedaulatan wilayah tersebut.

Maka cukup dengan menguasai aparatur Negara, selesailah segala urusan. Pegang Presiden, Menteri, Gubernur, bahkan sampai Bupati, bola-bola pun masuk gawang. Karena itulah maka sistem apapun yang diterapkan oleh Negara — terserah mau demokrasi, teokrasi, monarki, atau khilafah — tidak jadi masalah asalkan Negara dipertahankan tetap ada, sesuai dengan formula mereka.

Dalam hal ini Kapitalisme Global menjadi kekuatan bayangan di balik negara resmi. Dan aparatur resmi pengelola negara dijadikan Aparatur Pelaksana Kapitalisme Global….”

Saya tidak cukup terpelajar untuk menjelaskan hal-hal begini, maka saya pinjam mulut sahabat saya.

Sebenarnya secara pribadi saya cuek pada itu semua. Karena hidup ini saya jalani dengan prinsip puasa. Sangat menahan diri dan mengendalikan kemauan. Saya hidup dengan konsumsi minimal, terutama yang terkait dengan meterialisme. Juga saya tidak punya agenda, cita-cita, dan karier. Tidak membangun eksistensi, tidak mengejar jabatan dan harta benda. Tidak juga kagum kepada kepandaian atau kehebatan. Apalagi gaya hidup, pencitraan, profiling atau segala hal yang lucu dan lebay seperti itu. Dunia yang ini tidak terlalu memikat hati.

Jadi musuh utama manusia sebenarnya adalah yang terletak di dalam jiwanya dan mengalir di darahnya sendiri, yaitu Materialisme, atau “hubbud-dunya wa karohiyatul maut”. Ummat Islam tahu, menurut Rasulullah, Jihad Akbar adalah “melawan nafsu” di dalam diri sendiri. Materialisme punya anak yang cerdas dan canggih, namanya Kapitalisme Global. Ia “mengawini” ummat manusia yang Tuhannya adalah konsumtivisme-materiil, hedonisme, dan takhayul kemewahan. Kapitalisme Global juga tak perlu diboikot, yang perlu diboikot adalah jiwa materialisme di dalam diri manusia sendiri. *****

Lainnya

Menjelajah Hutan Mataram Islam

Menjelajah Hutan Mataram Islam

Setelah ibukota kerajaan Mataram Islam pindah dari Kotagede ke Kerta lalu ke Plered maka Kotagede menjadi berubah.

Mustofa W. Hasyim
Mustofa W.H.