CakNun.com

Jangan Mencari Sunrise di Teluk Majene

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 3 menit
Duo Gondrong
Duo Gondrong. Foto: Adin.

Seperti sering terjadi di Maiyahan, waktu tujuh jam ternyata tak cukup. Banyak yang tak beranjak meninggalkan lokasi meskipun nyata-nyata acara sudah berakhir. Perjalanan malam dari Makassar ke Manjene tidak cukup ditempuh dalam waktu tujuh jam, melainkan delapan setengah jam. Pukul lima pagi, bis telah tiba di depan hotel Villa Bogor yang terletak di desa Leppe Majene. Tempat rombongan Rihlah Cammanallah menginap selama di sini.

Hotel yang sederhana desainnya tetapi cukup rapi kamar-kamarmya. Bersih pula lantainya. Hotel ini tepat berada di teluk Majene. Gedungnya menghadap ke laut teluk yang apabila dilihat di peta benar-benar mojok di ujung segi tiga salah satu sisi pulau Sulawesi. Membuka jendela kamar, segera terpapar air laut yang pagi ini begitu tenang. Jaraknya dengan hotel hanya hitungan meter saja. Di pinggir pantai terlihat beberapa meter gundukan batu, dan sekitarnya tertambat perahu-perahu kecil yang orang Mandar menyebutnya Lepa-lepa. Satu dua tampak sedang bergerak di sejarak radius enam ratusan meter dari pinggir pantai. Perahu-perahu ini dipakai untuk menjaring ikan oleh para nelayan.

Di sisi kanan, tampak perkampungan yang mengikuti bentuk lengkungan teluk Majene. Sejauh mata memandang ke rumah-rumah itu terdapat beberapa masjid dengan menara-menaranya yang menonjol di antara ketinggian rumah-rumah itu. Hal yang salah satunya menggambarkan jiwa keagamaan masyarakat Mandar. Masih di sisi kanan pula, warna hijau pepohonan dan perbukitan melengkapi sajian mata.

Cak Nun bersama Redaktur Maiyah
Cak Nun bersama Redaktur Maiyah. Foto: Adin.

Datang jam lima pagi di teluk Majene ini membuat seorang anggota rombongan berujar mengajak temannya, “sunrise, sunrise!”. Ia mendorong kawannya supaya jangan tidur. Sebentar lagi matahari terbit. Pemandangan pasti indah. Tak sampai setengah jam kemudian dia bersama beberapa rekannya dengan penuh semangat dan gembira bergerak menuju teras depan hotel lantai dua yang sengaja dibikin luas supaya bisa digunakan buat menikmati langsung suasana laut. Mereka pun berfoto-foto.

Pagi itu pun segera tiba waktu untuk sarapan pagi. Hampir semua bapak-bapak KiaiKanjeng sudah berada di tempat makan yang desainnya pun terbuka sehingga siapapun yang duduk dan menikmati breakfast di sini sekaligus dapat merasakan nikmatnya alam: angin yang lembut menyapa pori-pori kulit, air laut yang bergerak tenang yang di kandungannya tersimpan anugerah aneka ikan bagi kebutuhan umat manusia, dan perbukitan hijau yang menyehatkan mata. Ketenangan begitu nyata di depan mata.

Udad udud
Udad udud. Foto: Adin.

Tersaji sebagai menu sarapan pagi: nasi kuning, lauk telur, ayam goreng, oseng-oseng tempe, kerupuk, dan lauk khas Mandar bernama pupu atau pupuq. Bentuknya segitiga dan terbuat dari ikan. Juga tidak ketinggalan roti bakar. Sementara itu, ada tiga jenis minuman yang disediakan: teh, kopi, dan jeruk.

Mas Aslam menemani sarapan pagi itu dengan bincang-bincang seputar Mandar. Salah satunya dengan Kiai Muzammil. Dari obrolan itu, Kiai Muzammil yang sehari-hari rajin ziarah ke makam para wali dan baru kali ini datang ke sininserta mungkin baru mulai menyelami sejarah Cak Nun di bumi Mandar ini, segera mengidentifikasi dan menemukan bahwa di sini ada sejumlah makam wali. Ia sebut makam Syaikh Abdul Mannan dan Makam Imam Lapeo. Ia ingin berziarah ke makam kedua wali ini yang lokasinya tak jauh dari tempat acara Tadabburan “Risalah Cinta Emha Ainun Nadjib dan KiaiKanjeng di Jazirah Mandar” malam nanti di lapangan Bala Balanipa Polewali Mandar. Daerah Balanipa Polewali ini adalah wilayahnya Imam Lapeo dan seseorang yang menurut Cak Nun sangat jujur: Baharuddin Lopa.

Selfie
Selfie. Foto: Adin.

Bagaimana dengan sunrise? Rupanya tak muncul-muncul juga. Waktu sudah merangkak pukul tujuh pagi. Lama-lama akhirnya mereka sadar bahwa laut ada di sisi barat, dan mereka karenanya juga menghadap ke barat, sedangkan matahari terbit dari timur. Pasti tidak ketemu. Matahari tidak nongol dari garis barat cakrawala laut itu. Rupanya keberuntungan hari ini diperuntukkan bagi siapa saja yang punya dorongan untuk belajar merawat kesadaran sejarah, asal-usul, dan mata rantai jejak-jejak kehidupan manusia. Termasuk dengan cara menziarahi makam-makam para wali. Adapun yang mencari sunrise tampaknya harus menunda dulu keinginannya.

Lainnya

Exit mobile version