Jalannya Orang Yang Menegakkan
Ta’qid“Demokrasi adalah sebuah sistem nilai yang punya kecenderungan sangat besar untuk menempatkan hakiki hidup manusia di garis arasy tauhid. Tetapi pada perkembangannya demokrasi menjadi sebuah atau salah satu kutub...”
As-shirath al-mustaqim, pada pikiran Markesot, bukan ‘jalan yang lurus’. Yang lurus bukan jalannya. Jalan hidup manusia tidak lurus, melainkan bengkok-bengkok, berliku-liku, naik turun, berbelok dan menikung, bahkan terkadang berbalik dulu.
Yang lurus adalah tauhid dan cintanya. Yang tegak di garis qadarnya Allah adalah pikirannya, sikap hidupnya, keputusan pribadi, sosial, budaya, politik dan peradabannya. Sebagaimana semiring apapun tanah yang dipijak, manusianya menghitung ketegakan badan dan bangunan rumahnya berdasarkan kelurusan dari gravitasi ke titik pusat arasy yang puncaknya adalah Kursi Singgasana Allah.
Maka as-shirath al-mustaqim adalah berjalannya manusia yang menegakkan kelurusan tauhid itu. Mungkin dalam perjalanannya manusia mengalami kemiringan kultural, keterlipatan sosial atau bahkan keterjungkiran politik, tetapi ia tetap menegakkan prinsip kelurusan ke Singgasana Kursi Allah.
Manusia silakan bertempat tinggal di bagian manapun dari bumi, tetapi ia tidak bisa atau tidak boleh menjadikan alamat eksistensinya itu sebagai pusat dunia, kemudian seluruh penduduk dunia harus berpedoman kepadanya sebagai pusatnya. Sebagaimana koordinat GMT akhirnya dipercaya sebagai ‘paku bumi’ atau Ka’bah tidak dihitung sebagai ‘pusat jaring’ kosmos.
Sesungguhnya titik manapun di permukaan kebulatan bumi adalah pusat, sepanjang ia menarik garis dari pusat bumi dengan titik itu pada kelurusan dengan pusat arasy di mana Allah bersinggasana. Sesungguhnya manusia ke mana saja pun meng-othak-athik koordinat hidupnya akan selalu gathuk dengan Maha Pusat Kehidupan. Dan makhluk apapun tidak bisa mengelak dari hakikat itu. Maka sebenarnya tidak ada pilihan lain bagi manusia kecuali mempersesuaikan ilmunya, ideologinya, pola pemikirannya, sasaran cintanya, mekanisme kemasyarakatan dan kenegaraannya, beserta seluruh perjuangan kebudayaan dan bangunan peradabannya — kepada hakiki as-shirath al-mustaqim.
Manusia tidak bisa mengelak dari kesejatian itu, di dalam keabadian hidup yang hanya berbatas qadar-nya Allah.
Akan tetapi sejarah ummat manusia mencatat kebanyakan mereka digiring, tercampakkan dan terkurung di luar garis kelurusan qadar itu. Di dalam bahasa syariat Islam, pola-pola kemiringan dari garis tauhid itu menghasilkan kemunafikan atau kemusyrikan, bahkan kekufuran.
Jika melihat keadaan global, sangat jelas wujud-wujud tiga fenomena itu. Sampah-sampah yang mengendap dan muleg-muleg di pikiran Markesot adalah tentang itu semua, yang sekarang harus dikurasnya, dibersihkan dan dikosongkan kembali. Markesot harus melakukan cuci-gudang setotal-totalnya, baru kemudian ia bisa memulai kembali mengeja kehidupan, meniti dari huruf ke huruf, dari angka ke angka berikutnya.
Tiga fenomena itu, kalau hanya berlangsung dalam peta global Peradaban Negara-negara abad ke-21, hampir semua orang bersepakat. Yang mungkin tidak benar-benar diketahui, apalagi disadari, adalah kemunafikan, kemusyrikan dan kekufuran itu juga pada kenyataan hakikinya berlangsung pada kaum yang yakin bahwa mereka adalah ummat yang beriman. Yang percaya dan mantap dengan kefasihan religius mereka, dengan ketekunan ibadah mereka.
Di dalam berpolitik, demokrasi adalah sebuah sistem nilai yang punya kecenderungan sangat besar untuk menempatkan hakiki hidup manusia di garis arasy tauhid. Tetapi pada perkembangannya demokrasi menjadi sebuah atau salah satu kutub. Kutub demokrasi kemudian menyalahkan, menuduh dan mengutuk kutub non-demokrasi sebagai anti-kemanusiaan, anti hak asasi, anti kesejatian.
Demikian juga dalam beragama, Islam mengandung suatu prinsip ekosistem nilai as-shirath al-mustaqim yang berhulu-hilir pada garis tauhid “qul huwallahu ahad”. Tapi kemudian pelaku Islam maupun pelaku non-Islam bersepakat dalam suatu proses jahalah untuk memahami dan meletakkan Islam sebagai suatu kutub nilai. Yang non-Islam meresmikan Islam sebagai sebuah kutub ekstrem yang dijadikan musuh bersama mayoritas penduduk bumi.
Sementara Kaum Muslimin sendiri juga memantapkan diri meletakkan Islam sebagai sebuah kutub yang benar-benar ekstrem mempersalahkan yang non-Islam. Kaum Muslimin terpojok dan memojokkan diri di sebuah koordinat di tepian kebulatan bumi, terkurung dan melankolik di sebuah kutub. Mereka tidak lagi menjunjung ibu nilai Islam misalnya “khoirul umuri ausathuha” atau menyadari kuda-kuda gravitatifnya sebagai “ummatan wasathan”.
Kemudian mayoritas penduduk dunia yang meletakkan Islam dan Kaum Muslimin sebagai musuh besar bersama, demi keperluan survival, penguasaan aset-aset kekayaan bumi dan perekonomian global, menemukan keuntungan jika Kaum Muslimin diperadudombakan, dipertengkarkan dan dipermusuhkan satu sama lain.