CakNun.com
Catatan Satu Hati Sinau Bareng, Madiun 30 Desember 2016

Jalan Yang Paling Praktis Adalah Hidayah Allah

Redaksi
Waktu baca ± 3 menit
Kesetiaan teman-teman berjam-jam Maiyahan ini sungguh-sungguh Cak Nun harapkan mengundang hidayah Allah.
Kesetiaan teman-teman berjam-jam Maiyahan ini sungguh-sungguh Cak Nun harapkan mengundang hidayah Allah. Foto: Adin.

Seperti sering saya pribadi rasakan, orang seperti Cak Nun adalah sosok yang tinggi dan kuat keyakinannya kepada Allah. Momentum tampak kuatnya keyakinan Cak Nun itu muncul pada saat atau situasi yang tak terduga, tapi dibutuhkan karena krusialitas atau urgensinya. Keyakinan itu bukan sesuatu yang tiba-tiba, melainkan lewat proses yang panjang. Keyakinan itu juga kerap muncul sebagai jawaban yang paling logis atas banyak masalah. Dan Cak Nun adalah artikulator yang istimewa.

Sinau Bareng malam ini pun dibangun dengan penciptaan atmosfer keyakinan kepada Allah. Mula sekali, selepas persembahan pencak silat, jamaah diajak memasuki semesta Sohibu Baity, serangkaian shalawat seperti biasa, ditambah malam ini dengan Qashidah Burdah dan Doa Khotmil Qur’an.

Dengan sungguh-sungguh, suaranya tertahan di tenggorokan, mendoakan dan meminta semua hadirin ngangen-ngangen hajat dan problemnya, dan mendoakan umat Islam dan bangsa Indonesia yang tengah menghadapi ujian sangat berat. Kepada jamaah, Cak Nun menuturkan bahwa Allah akan mengabulkan doa kita bisa sekarang, bisa besok, lusa, minggu depan, atau kapanpun di masa mendatang. Dan ketika nanti keterkabulan itu berlangsung mungkin kita tak sadar.

Keyakinan Cak Nun terasa sekali sebagai keyakinan yang berpijak dari pengalaman hidup dan analisis yang mendalam, bukan hanya pengetahuan. Tetapi keyakinan itu pula yang dengan tangkas dan titis berguna untuk menggapaikan sesuatu kepada Allah kembali. Keyakinan itu menjadi mata pandang terhadap apa saja.

Banyak pertanyaan dari jamaah yang Cak Nun menjawabnya dengan kesadaran akan keyakinan kepada Allah. Demokrasi dan praktik politik pilkada, seperti dikeluhkan oleh salah satu penanya, dikembalikan secara mendasar oleh Cak Nun: Karena kita tidak percaya kepada rizki Allah. Maka mereka menjual apa saja, termasuk harga diri untuk mendapatkan kekuasaan yang diyakini akan mendatangkan kekayaan.

Ada yang bertanya, apa rahasia Cak Nun tetap sehat walaupun jadwal dan tugas-tugas begitu padatnya. Jawabnya pun terletak pada logika tauhid. “Selama ini orang sibuk dengan kalah menang. Sementara saya sibuk bagaimana maksimal berbuat baik dan manfaat, dan sesungguhnya tak cukup umur untuk itu. Karena itu yang terjadi adalah tak sempat lelah, tak sempat ingat lelah. Kebanyakan orang terbebani oleh tujuan atau maksud tertentu. Saya tidak. Saya masuk hutan, siap bertemu dengan banyak hal, tak hanya siap dengan mangga. Saya masuk hutan, saya terima dan resapi semua. Saya tak pernah tidak menghormati apa saja, karena semua adalah ciptaan Allah. …Kesehatan itu bukan soal apa-apa, melainkan Allah sedang memfasilitasi kita, karena sungguh-sungguh berbuat baik, tanggung jawab, dan kerja keras.”

Ihwal keadaan nasional yang sedang berlangsung pun, respon yang diberikan adalah tauhid kembali. Cak Nun tahu persis betapa lama dan sepertinya mustahil jika solusi atas bangsa ini mengikuti cara atau mekanisme normal, melalui amandemen undang-undang, demokrasi, atau jalan-jalan lain yang bersifat normal ilmiah akademis. Satu-satunya jalan adalah hidayah Allah. Jika hidayah Allah itu datang kepada orang yang bersangkutan, maka jalan perubahan itu terbuka. Cak Nun menegaskan akan keyakinannya ini. Kesetiaan teman-teman berjam-jam Maiyahan ini sungguh-sungguh Cak Nun harapkan mengundang hidayah Allah. Bukan soal Maiyahan ini hebat atau bukan, melainkan harapan agar Allah terharu melihat ketulusan, kemurnian, dan kesungguhan mereka menimba ilmu.

Tak semua orang yang tua bilang dan mikir seperti yang Anda pikirkan.
Tak semua orang yang tua bilang dan mikir seperti yang Anda pikirkan. Foto: Adin.

Jalan yang paling praktis adalah hidayah Allah merupakan salah satu titik tekan dari konsep Solusi Segitiga Cinta yang belakangan ini Cak Nun ingatkan dan tegaskan kembali kepada Jamaah Maiyah. Kita sedang menghadapi masalah, dan berdasarkan komplikasi masalahnya, mustahil berharap atau mengandalkan ilmu dari bulatan dunia, melainkan hanya dari arus segitiga cinta yang mengalir dari Allah kepada Rasullah dan Hamba-lah yang rasional diharapkan. Hal yang sederhana, tapi dunia manusia modern kurang terlatih untuk meyakininya.

Masih banyak contoh-contoh lainnya. Sampai pada titik ini, Cak Suko, Kiai Muzammil, Pak Camat, Dandim, dan Lurah turut menyelami dan merasakan muatan-muatan yang disampaikan Cak Nun. Cak Suko diminta ikut menggali ilmu apa yang akan dibahas pada Sinau Bareng ini. Kiai Muzammil juga sudah mendapat tugas menguraikan satu dua poin, yang ternyata relevan dengan pertanyaan para jamaah.

Tetapi yang patut dicatat adalah siapa yang bertanya dan bagaimana kualitaa pertanyaannya. Kurang lebih enam orang yang maju itu hampir semuanya adalah anak-anak muda, dan pertanyaannya mendasar-mendalam semuanya. “Saya senang dengan pertanyaan-pertanyaan anda semua. Tak semua orang yang tua bilang dan mikir seperti yang Anda pikirkan,” puji Cak Nun. Kualitas dan kedalaman pertanyaan-pertanyaan itu makin sering terjumpai di Maiyahan, bahkan ketika larut malam tiba, dan hari telah berganti. (hm)

Lainnya

Exit mobile version