Hutang Kepada Tuhan
Ta’qid“...adalah pandangan bahwa hidup adalah “membayar hutang kepada Tuhan”, “merasa bersalah kepada alam dan manusia”, dan “sadar gagal sebagai khalifah Allah”
Mungkin ia semacam, atau suatu jenis manusia ekstrem. Tarmihim, Sundusin, Sapron, Brakodin, dan pasti juga Saimon — siapapun, semua yang dulu berinteraksi di Patangpuluhan, lambat atau cepat menemukan bahwa Markesot adalah jenis manusia semacam itu.
Tuhan meneguhkan bahwa Muhammad adalah duta-Nya, dan “barang siapa bersamanya, bersikap tegaslah kepada para pengingkar Allah, dan berlaku penuh kasih sayanglah sesama orang beriman”. Asyidda`u ‘alal kuffar, ruhamau bainahum.
Tapi kelihatannya Markesot bukan pada presisi nilai itu.
Memang semua pemikiran dan pernyataannya terhadap kebathilan manusia, kedhaliman Negara, keserakahan para penguasa, atau kecurangan dan ketidakadilan para pengelola kekuasaan — sangat tegas, keras, tajam, bahkan sering ekstrem. Tetapi ia tidak pernah melakukan sesuatu yang keras, atau perlawanan yang frontal, kepada pelaku kekufuran setingkat apapun.
Memang ada selentang-selenting keberadaan dan peran rahasianya pada sejumlah peristiwa elit nasional termasuk turunnya seorang Kepala Negara dan naiknya Kepala Negara yang lain. Tetapi ia melakukannya justru “ruhama”, dengan kelembutan dan kasih sayang. Padahal Kepala Negara yang dilembutinya itu terkenal sangat menakutkan selama berpuluh-puluh tahun, sangat kuat, gagah, sakti dan serba kokoh kuda-kuda kekuasaan maupun kaki-tangan penyangganya.
Apalagi kepada lingkaran sahabat-sahabatnya di Patangpuluhan serta simpul-simpul komunitasnya di berbagai daerah, dari perkotaan hingga pelosok dusun-dusun. Kelembutan dan kasih sayang Markesot tidak terutama bisa ditemukan pada tutur katanya, sikap pengayomannya sehari-hari atas siapapun di sekitarnya. Tapi terutama pada keputusan-keputusan yang ia ambil atas hidupnya sendiri.
Orang harus mengurut sejarah sejak kanak-kanak beserta latar belakang, sampai mungkin kakeknya dan buyut-buyutnya, untuk mulai merasakan kelembutan dan kasih sayangnya. Sejak bapak ibu kakek neneknya dulu keluarga Markesot melarutkan diri pada lingkungan kehidupan sosialnya.
Melarutkan artinya semua milik dan hak pribadinya disosialkan. Kekayaannya, harta bendanya, eksistensinya, peluang-peluang kariernya, “amwalihim wa anfusihim”, dicopot dari egonya, dilebur menjadi bagian dari kebersamaan sekitarnya. Seorang sahabat Markesot dari seberang pulau menyebutnya sebagai “orang yang mewakafkan hidupnya untuk masyarakat”.
Markesot punya latar belakang keluarga, tingkat ilmu, bakat, fadhilah dan berbagai kemampuan untuk sangat tidak mustahil menjadi pengusaha besar, menjadi orang nomor satu di Negaranya, menjadi tokoh utama di bidang apa saja yang ia maui – kalau ia mau. Bidang apa saja. Benar-benar bidang apa saja.
Tetapi sampai usia senjanya sekarang, Markesot tidak menjadi apa-apa, bukan siapa-siapa dan tidak punya apa-apa. Ia no-one dan nothing. Markesot sama sekali bukan orang yang sukses, bukan contoh keberhasilan dalam ukuran umum. Ia tidak menjadi apapun dan siapapun, kecuali bagi sejumlah orang yang mengenalnya. Ia bukan uswatun hasanah dalam pengertian populer dan mainstream: seseorang dengan nama besar, terkenal, kaya, berjabatan tinggi, berpengaruh secara nasional, diperhitungkan oleh peta kekuatan dan kekuasaan.
Beberapa orang bahkan menyebut hidupnya Markesot itu sia-sia dan mubadzir. Seandainya pun ia gumpalan emas, praktiknya ia hanya bongkahan batu di pinggir jalan. Andaikan pun ia mutiara, tak ada teknologi alat gosok untuk memunculkan kemutiaraannya. Seumpamanya ia kayu unggul, ia hanya ganjal almari. Semisal ia batu mulia, letaknya hanya sebagai alas kaki orang buang air besar.
Teman-temannya di Patangpuluhan dulu menemukan sejumlah kesimpulan, bahwa kegagalan hidup Markesot itu disebabkan oleh pilihan ideologinya. Tetapi jangan menyangka yang disebut ideologi itu adalah sebagaimana daftar sekian jenis ideologi yang dikenal oleh peta ilmu dan praksis manifestasinya oleh golongan-golongan manusia yang berseberangan dan membenci satu sama lain di muka bumi.
Kristalisasi nilai dan sublimasi ilmu yang ada pada Markesot yang dijalaninya sebagai ideologi kehidupannya adalah pandangan bahwa hidup adalah “membayar hutang kepada Tuhan”, “merasa bersalah kepada alam dan manusia”, dan “sadar gagal sebagai khalifah Allah”.
Dari anugerah kehidupan yang sangat indah ini Markesot mengambil koordinat yang paling derita, tingkat yang paling nadir dan berlawanan lintang-bujurnya dengan kenikmatan, serta liang yang paling penuh kegelapan. Sejumlah teman menyebut Markesot seorang fatalis. Lainnya menganggapnya nihilis. Lainnya lagi menggelarinya sial dan melankolis.
Markesot sudah terbang ke depan hingga ke ujung dari hidupnya, dan sudah menghitung bahwa apapun yang ia lakukan, berikan dan korbankan, tak kan cukup untuk membayar hutangnya kepada Tuhan. Maka ia selalu bersedih setiap saat, meskipun berupaya selalu memberikan senyuman kepada setiap orang di depan dan sekitarnya. Bahkan membangun kegembiraan, membesarkan hati dan optimisme kepada siapapun saja.
Kehancuran nilai ummat manusia di seantero bumi sangat ia tanggung sebagai beban di dalam jiwanya. Kerusakan Negara, kemunafikan para pemimpin dan kebodohan mereka yang dipimpin, sangat menekan batinnya di semua siang dan malam. Segala jenis kerusakan dan kebobrokan, yang kecil atau besar, yang lokal maupun nasional dan global, sangat ia panggul sehingga semakin lama semakin melemahkan mentalnya.
Ke manapun Markesot menghadapkan wajah, tampak olehnya wujud-wujud perselingkuhan manusia kepada Tuhan, terasa oleh hatinya kekejaman dan kehinaan antara manusia, kelompok atau lapisan, bahkan mewujud secara sangat nyata berbagai macam mekanisme tipu muslihat, serta manifestasi perilaku manusia yang memain-mainkan kehendak Tuhan.
Markesot selalu menangis batinnya karena merasa bersalah tidak bisa melakukan apapun untuk menyelamatkan manusia, dan selalu terjerembab pada kesadaran bahwa ia gagal berlaku sebagai khalifah Tuhan dalam kehidupan.