Hilangnya Rohani Esai
Dalam peluncuran buku “Ngelmu Iku Kalakone Kanthi Laku” ini kita menyaksikan hadirnya beberapa suhu. Selain Cak Nun, ada Pak Iman Budhi Santosa, Pak Ahmad Munif, dan Pak Rahmat Djoko Pradopo. Sayangnya, Bang Hadi ternyata tidak bisa datang. Hal yang menggembirakan bahwa beliau-beliau dianugerahi kesehatan, sehingga tetap bisa mencurahkan perhatian dan dedikasi pada semesta yang menjadi medan amanah pengabdian hidupnya.
Para suhu punya “rute kedalamannya”-nya sendiri-sendiri. Dari Cak Nun, kita merasakan suatu kemampuan menangkap esensi yang sama pada ragam bentuk perwujudan. Seperti pagi ini dikemukakan Beliau, esensi esai adalah titik tengah dalam memandang sesuatu. Dalam konteks sastra, esai adalah titik tengah antara kutub ilmu dan puisi. Kemudian, dirasakan secara lebih makro, dalam kehidupan kita saat ini, dalam hidup bernegara ini, kita sedang kehilangan esai, kehilangan titik tengah.
Antologi esai ini jadinya suatu tetenger bahwa laku untuk selalu berada pada titik tengah atau titik keseimbangan itu masih ada, berlangsung, dan dipraktikkan. Cak Nun sendiri, di tengah hilangnya rohani esai pada kehidupan politik dan bernegara kita, masih terus menulis esai, di antaranya esai-esai Daur di CAKNUN.COM yang hari ini sampai pada esai ke-237 dan belum diketahui akan berakhir pada angka berapa. Bahkan menulis esainya tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi dalam wujud keluasannya melayani pertanyaan, gagasan, keluhan, dan lain-lainnya dalam setiap Maiyahan, di mana esensi yang dapat dirasakan adalah Cak Nun melakukan peng-esai-an kembali, pen-seimbang-an kembali, pengembalian pada titik tengah dalam menatap, memikirkan, menilai, dan mengalami segala sesuatu atau persoalan yang dialami sekurang-kurangnya oleh penanya itu sendiri. (hm/jj)