Hidup Mati Berulang Kali
“Aku berlindung kepada-Mu ya Allah, dari segala ingatan tentang rumah negaraku, beserta para pembantu rumahtangga yang kami bayar sangat mahal untuk merusak rumah kami, menaruh beban sangat berat ke hati kami, merancang pembangunan pecahnya kepala kami, menjual murah kekayaan kami dan menggadaikan martabat kebangsaan kami….”
Markesot bergumam kepada dirinya sendiri, yang ia harapkan diterima oleh Tuhan sebagai doa.
Ternyata Markesot sedang berjalan kaki menyusuri rel kereta api. Lurus, jauh, seakan berujung di cakrawala.Terutama sepanjang malam hari. Pada siang hari, ia terus berjalan hanya jika kiri kanannya sepi.
Sangat jelas: jalan kaki menyusuri rel, dengan bunyi gerundalan dan doa seperti itu, apa lagi kalau bukan keputusan orang bingung, frustrasi.
Atau putus asa. Atau gila.
Kemungkinan besar Markesot sudah angkat tangan terhadap beban-beban permasalahan bangsa yang semakin kompleks, ruwet, silang sengkarut. Jangankan menyusun pikiran untuk menyelesaikannya. Sekadar menatapnya saja sudah pusing kepala. Apalagi merumuskannya, bisa retak kepalanya.
Bahkan hanya coba menggambarnya saja, tidak ketemu garisnya, jarak ruangnya, lekuk-liku lipatan-lipatannya, ketidakteraturan kumpulan titik-titiknya.
***
Tapi sudahlah. Keputusan yang paling masuk akal adalah melarikan diri entah berapa lama. Pergi, jalan kaki, menghindar dari wajah manusia dan setiap indikator negara, politik, kebudayaan, terutama pemerintah. Ngakunya mencari Kiai Sudrun untuk menumpahkan curahan hati.
“Wahai Tuhan yang Maha Dermawan, kira-kira berapa lama lagi jatah waktu hamba untuk mengalami dan memprihatini komplikasi masalah-masalah ini. Sampai kapan hamba akan menanti perintah-Mu untuk turut mengatasi semua itu sebagaimana beberapa kali di waktu-waktu yang lalu. Sedangkan hamba bukanlah siapa-siapa yang layak mendapatkan perintah-Mu. Bahkan pun hamba bukan siapa-siapa di tengah manusia”
“Kalau sampai habis jatah waktu hamba, dan belum apapun yang hamba lakukan untuk menolong keadaan ini, masih mungkinkah Engkau buka dan izinkan rentang waktu berikutnya dan berikutnya lagi? Sebab di dalam hitungan hamba, kegelapan yang sedang mengepung bangsa ini memerlukan dua atau tiga kali hidupku”
***
“Tidak terlalu menjadi masalah bagi hamba kenyataan bahwa ummat manusia dan bangsa tidak memiliki pemimpin. Sudah hamba kuatkan hati menyaksikan tanaman-tanaman tak bisa tumbuh karena tanahnya makin dirasuki narkotika dan airnya beracun. Melihat pohon-pohon kerdil karena dikuasai oleh benalu. Menatap kebun-kebun nangka yang kini ditanami cempedak. Memandang kambing dibedaki, dikostumi dengan celana, baju, jas, dasi dan sepatu, kemudian dijunjung dinaikkan panggung, dan diperkenalkan sebagai Satrio Piningit”
“Hamba tangguh-tangguhkan hati untuk berada di tengah lalu lalang manusia hidup yang kehilangan proporsi, ketepatan, empan papan, pepantes, logika, ekspertasi, kematangan, kedewasaan. Hamba kuat-kuatkan bergaul dengan manusia-manusia yang tinggal jasadnya, tulang dagingnya, aksesori hedonisnya, ditambah sedikit perasaan yang kekeringan nurani dan akal yang hampir lenyap nalarnya”
“Yang hamba sedang berjuang untuk kuat memanggulnya adalah kenyataan bahwa kebanyakan manusia sudah hampir total kehilangan pemahaman tentang Pemimpin, Kepemimpinan, Kasepuhan, Imam, Begawan, Punakawan, Panembahan, Ahlul-ahwal, Pawang, dan apa saja yang maqamat-nya menjaga keselamatan ummat manusia”
“Karena kebodohan hasil keterperdayaan massal, mereka memilih, mengangkat, menjunjung dan mati-matian membela pendusta, penindas, perampok dan penipu, yang mereka sangka pemimpin. Hamba tidak tega melihat wajah-wajah mereka, hancur hati hamba membayangkan putra-putri mereka, anak cucu mereka, generasi demi generasi berikutnya, akan mengalami hidup yang bagaimana sesudahnya. Apakah jurang akan makin dalam, kubangan hidup makin busuk, kegelapan makin kelam, sampai akhirnya warna tinggal hitam”
***
Begitulah. Kalau orang menyepi, ancaman pertama yang muncul adalah kecengengan. Kalau orang menyelinap ke jalanan-jalanan yang sunyi, dan yang ia panggul adalah kesedihan, jodoh yang mendatanginya adalah kecengengan. Mungkin yang terasa seperti kekhusyukan dan kedalaman, tapi sebenarnya ya kecengengan.
Tapi ke mana pula tujuan Markesot pergi?
Kalau Markesot sudah tahu ke mana, ia tak perlu melangkahkan kakinya. Ia berjalan justru untuk mencari tahu akan ke mana.
Kan mencari Kiai Sudrun? Itu jelas. Tapi siapa bisa menunjukkan Sudrun ada di mana? Ia tidak bisa dicari di timur, barat, selatan ataupun utara. Juga tak bisa dikejar ke perut bumi atau di tembusan-tembusan angkasa. Bukan itu ukurannya.
Andaikan saat ini jelas di mana Kiai Sudrun berada, jangan dipikir satu menit sesudahnya ia tetap berada di sana. Apalagi Kiai Sudrun itu jika berada di suatu tempat, ia bisa ada di tempat lain pula pada saat yang sama. Jangan marah, lebih baik meneruskan belajar fisika, ilmu gulungan ruang dan lipatan waktu, serta ketidakterbatasan semesta di mata benda dan otak manusia.
Markesot pun tak cemas meski belum jelas tujuannya.
Ah, tapi sebenarnya sangat terang benderang yang sedang dilakukannya: yakni melangkahkan kakinya. Terus melangkahkan kakinya, sampai pada suatu titik silang ruang dan waktu di mana ia akan menghentikan langkahnya.
Manusia selalu sok tahu tentang tujuan hidupnya. Padahal alamat tujuan itu sudah tertera sangat gamblang di kandungan hati dan peta kesadaran pikirannya. Yang perlu dilakukan hanyalah terus melangkahkan kakinya.
***
Yang tidak lazim adalah doa Markesot. “…masih mungkinkah Engkau buka dan izinkan rentang waktu berikutnya dan berikutnya lagi…?”
Apa maksudnya ini? Nanti setelah mati mau hidup lagi? Mau kolusi dengan Tuhan supaya diberi kesempatan hidup tidak hanya satu kali? Kalau umpama iya, hidup yang kedua sebagai siapa? Tetap sebagai Markesot? Atau dititipkan kepada seorang bayi yang lahir sesudah kematiannya?
Atau bukan jadi siapa, melainkan menjadi apa? Misalnya ular, kambing, burung elang, jin? Bagaimana kalau Tuhan kasih jatah kedua hidupnya Markesot tapi ditugasi menjadi prajurit Setan bawahan Panglima Iblis? Atau minimal Markesot lahir kembali sebagai hantu. Tapi kalau sekadar menjadi hantu, namanya tidak move on. Sekarang pun Markesot semacam hantu juga.
Terus, coba dengar kembali, betapa sembrononya kalimat ini: “…sebab di dalam hitungan hamba, kegelapan yang sedang mengepung bangsa ini memerlukan dua atau tiga kali hidupku….”
Who do you think you’re, Cak Sot? Memangnya Sampeyan ini siapa? Nabi Isa? Ditarik sejenak oleh Tuhan dari medan perang, menunggu beberapa saat untuk dikembalikan menjadi Panglima melawan segala komplikasi dampak global Dajjal dan Ya’juj Ma’juj?
Sedangkan Muhammad Saw kekasih Allah Swt, sedangkan seluruh Nabi dan Rasul, semua hamba-hamba suci dari Siti Maryam hingga Raden Syahid, hanya diberi jatah satu kali terlibat dalam kehidupan yang ini. Masih mending Nabi Nuh As dikasih durasi 900 tahun, padahal masterpiece ciptaan-Nya sendiri hanya 63 tahun.
Jadi apa-apaan ini Markesot. Mau seperti Chairil Anwar, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”? Mau hidup mati hidup mati berulangkali? Memang ada skenario penciptaan seperti itu oleh Tuhan?