CakNun.com
Catatan Tadabburan Universitas Mercu Buana Yogyakarta

Hidup Gravitatif dan Hidup Abadi

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 8 menit

Malam ini, Sabtu 13 Agustus 2016, Cak Nun dan KiaiKanjeng hadir di kampus I Universitas Mercu Buana Yogyakarta yang berada di Jalan Wates KM 10 Yogyakarta. Universitas Mercu Buana tengah memperingati Dies Natalisnya yang ke-30, dan dalam rangka mentasyakkurinya, panitia memohon Cak Nun dan KiaiKanjeng bisa memberikan ilmu, wawasan, dan kedalaman melalui Sinau Bareng membersamai civitas akademika dan masyarakat yang hadir pada malam hari ini.

Acara digelar di pelataran gedung Rektorat, yang merupakan kawasan paling depan dari kompleks Kampus I Universitas yang dulu bernama Universitas Wangsa Manggala ini. Masyarakat sekitar dari kampung dan desa-desa telah datang, mengambil tempat lesehan yang sudah digelar, dan bersiap mengikuti Maiyahan. Pun para jamaah Maiyah yang setia mengikuti Maiyahan di manapun. Semuanya berbaur menjadi satu, sekalipun tampak ibu-ibu mendominasi di wilayah depan panggung.

Panitia berharap Cak Nun dapat memberikan wawasan kepada Universitas Mercu Buana yang memiliki cita-cita menghasilkan lulusan yang meng-Indonesia, sekaligus pendidikan yang diselenggarakannya juga berjiwa Indonesia. Ibu Rektor ‘Alimatuz Zahra sendiri mengungkapkan dalam sambutannya bahwa kampus ini punya semboyan Angudi Mulyaning Bongso (Mencari dan membangun Kemuliaan Bangsa).

Catatan Tadabburan di Universitas Mercu Buana
Foto: Adin (Progress)

Gerimis lembut perlahan-lahan turun beberapa saat sebelum Cak Nun naik ke panggung. Sementara itu Ibu Rektor bersama jajarannya, termasuk Bapak dari Kepolisian dan Koramil setempat, perwakilan BEM, juga ketua panitia semua sudah berada di panggung berbarengan dengan Ibu Rektor memberikan sambutan. Usai sambutan Bu Rektor, Cak Nun berjalan menuju panggung. Beberapa jamaah menyalaminya. Seorang ibu yang menggendong anaknya ikut bersalaman dan menyodorkan tangan anaknya untuk mencium tangan Cak Nun.

Meng-Indonesia Bukan Berarti Menolak yang Bukan Indonesia

Nek coro cah nom, iki jenenge ulang tahun atau ultah, nek coro memperingati lahirnya Kanjeng Nabi jenenge Maulid, nek coro kampus jenenge Dies Natalis,” ucap Cak Nun di awal dengan tersenyum, menyadarkan akan beragam sebutan ulang tahun, yang sedikit banyak juga mengisyaratkan fragmentarisme dalam alam pikir dan budaya kita.

Cak Nun mengajak seluruh jamaah dan masyarakat untuk mendoakan Universitas Mercu Buana agar Allah membimbing dan mengantarkan kampus ini ke gerbang masa depan secerah-cerahnya. Agar Allah menyiapkan hidayah di ubun-ubun generasi muda, agar Allah menyiapkan kursi bagi mereka, yakni kursi yang bukan kursi politik kekuasaan, tetapi kursi yang di bawahnya terdapat alam semesta, dan Allah duduk di kursi-Nya, dan tak ada yang bisa menggoyahkan kursi itu karena berada di bawah naungan kursi Allah. Untuk itu, Cak Nun meminta kesediaan mereka berdiri bersama untuk beberapa saat, dan bersama KiaiKanjeng melantunkan lagu nasional “Padamu Negeri” dan “Syukur”.

Kehadiran gerimis tadi seperti sebuah sapaan. Sesudah dirasa cukup, gerimis itu pamit seiring selesainya dua lagu Nasional tadi dibawakan. “Mudah-mudahan redanya gerimis ini pertanda Allah tak tega kepada Anda semua, dan pyur-pyur gerimis tadi juga menandakan Allah telah menaburkan cahaya kepada kita,” doa Cak Nun. Kemudian dijelaskan, seraya perlahan masuk ke topic yang diharapkan panitia, bahwa jika kita bermaksud meng-Indonesia kita membutuhkan rute ilmu yang jelas. Apakah jika kita mau mengindonesia itu berarti menolak yang selain Indonesia. “Barat boleh saja, dari manapun juga boleh, tetapi semua dimasukkan dalam keseimbangan keindonesiaan,” ujar Cak Nun.

Mana Kontinuasi, Mana Adopsi

Universitas itu bukan terusan dari Indonesia, tetapi dari Barat. Dan itu nggak masalah, asalkan diwataki oleh keindonesiaan. Di sini kita mendapatkan ilmu bahwa ada dua hal dalam sejarah, yakni kontinyu dan adopsi. Artinya, kontinuasi adalah kelanjutan dari perjalanan sebelumnya dalam garis diri sendiri, sedangkan adopsi adalah pengambilan atau penyerapan dari luar. Nah, kita membutuhkan pendataan apa-apa yang berasal dari nenek moyang kita, dan apa-apa yang diambil dari luar. Termasuk apa yang ada pada negara Indonesia yang merupakan adopsi. Demikian Cak Nun memberikan frame berpikir berkaitan dengan maksud mulia mengindonesia tadi. Pada dasarnya, para hadirin diajak mencari ilmu, mengolah hati, dan mencari aji. “Indonesia adalah komposisi dari beragam kesadaran itu.”

Catatan Tadabburan di Universitas Mercu Buana
Foto: Adin (Progress)

Seperti pada Maiyahan sebelum-sebelumnya, berbagai unsur dan nilai begitu rapat menyatu. Ilmu, misalnya, muncul tak harus lewat kata-kata deskriptif, melainkan melalui ekspresi, peristiwa, dan momentum. Gelak tawa pun mengandung ilmu dan muncul di sela-sela tema dipaparkan, diulas, dan dikaji. Melalui forum seperti Maiyahan ini, Allah memperlihatkan bahwa ilmu dan hidayah hadir dan masuk ke dalam diri seseorang dalam cara yang indah, nyeni, dan tak terduga detail-detailnya.

Ahmad Nursya’bani nama anak muda 21 tahun yang mewakili BEM Universitas Mercu Buana yang ikut naik ke panggung. Ia mengenakan serban yang dipapar dan dilingkarkan di badannya menutupi dadanya layaknya seorang kiai. Peci putih tak ketinggalan dikenakan di kepalanya. Cak Nun mengajaknya berbicara dan menjadikannya pintu masuk kepada ilmu. Ditanya tentang musik yang jadi tren di anak muda. “Kalau di desa saya, ndangdut Cak.”

Melihat penampilan Sya’bani ini, Cak Nun teringat suatu konsep akan lapisan generasi masa kini. Yakni generasi milenial. Sya’bani adalah salah satu contoh generasi milenial, yang selain dicirikan oleh IT Addict, dicirikan pula oleh kecenderungan untuk saleh. Terlepas apakah kriteria kesalehan itu lebih diwakili oleh tanda-tanda simbolik atau bukan, tetapi mereka punya kecenderungan pada kesalehan.

Merespons pertanyaan Cak Nun ihwal IT ini, Nursya’bani menegaskan bahwa selama ini dirinya lebih banyak pada posisi “dipengaruhi/terseret” oleh muatan-muatan yang ada dan berseliweran di internet. Generasi milenial adalah generasi yang tak bisa lepas dari internet, dan ini menggambarkan bagaimana kekuatan global telah masuk ke dalam genggaman tangan, bahkan masuk ke dalam tidur mereka. Nah, yang perlu mereka lakukan adalah mengubah dari menjadi pelengkap penderita atau objek menuju produsen, fa’il, dan subjek. Dan inilah yang harus terus-menerus diolah di Universitas Mercu Buana. “Mereka harus bisa ngimami keadaan, mereka harus jadi mujtahid, inovator, inventor, dan ing ngarso sung tulodho”.

Kerapatan tak hanya berlangsung di antara nilai-nilai dan muatan. Jamaah yang datang pun sangat rapat. Tak ada celah yang longgar tak terisi. Tak ada komando untuk merapatkan posisi satu sama lain itu. Semua berkesadaran untuk mengambil tempat dengan sebabik-baiknya, sebab mereka tahu ini bukan pertunjukan atau tontonan, melainkan forum untuk sungguh-sungguh belajar atau sinau. Di kanan kiri panggung, jamaah duduk rapi, sekalipun sebagian ada yang berdiri juga. Semuanya memfokuskan diri pada pembelajaran.

Tentang suasana yang berlangsung malam ini, bahkan sebelum Cak Nun naik, Bu Rektor menyampaikan bahwa pertemuan ini sungguh lain dari biasanya, lain daripada yan lain, terutama bagi dua puluh tahun terakhir di kampus ini.

Hidup Gravitatif

Sedikit demi sedikit kemudian Cak Nun memadukan tema kesadaran keindonesiaan dengan kesadaran gravitatif. Bahwa di dunia atau di muka bumi ini tidak ada yang tidak pusaka. Sebab semua titik itu harus gravitatif. Semua titik adalah pusat. Jika mbah-mbah kita pernah mengatakan bahwa Gunung Tidar adalah pakunya dunia, kita jangan lalu GR dan kemudian yang lain jadi sinis, sebab pernyataan itu bukan berarti yang lain bukan pusat bila kita memakai frame gravitasi tadi.

Beberapa nomor lagu telah dihadirkan KiaiKanjeng di antaranya Gundul-Gundul Pacul dan Ya Thaibah. Dengan lagu Gundul-Gundul Pacul yang pernah dibawakan di Helsinski Finlandia, Cak Nun hendak berbicara kepada anak-anak muda. Aransemen dan cara KiaiKanjeng mengolah lagu ini memperlihatkan bahwa mereka mengerti apa yang disebut modern, sebab jika tidak, tak bisa mereka bawakan lagu ini. Sebaliknya, mereka juga menguasai apa-apa yang merupakan khasanah nenek moyang. Ini adalah pelajaran bahwa kita harus mengerti masa depan dan masa lalu. Seperti itulah seharusnya Indonesia dibangun. Tetapi yang terjadi, kita tak punya manajer atau pemimpin yang memadai. Kita tak punya kepemimpinan yang memadai secara global, sementara orang-orang Indonesianya secara individu memiliki kemampuan dan kreativitas yang berkelas dunia.

Catatan Tadabburan di Universitas Mercu Buana
Foto: Adin (Progress)

Di antara asiknya Maiyahan adalah jumping atau lompatan dari satu hal ke hal lain secara unik. Selepas lagu Ya Thaibah dalam aransemen pop jazz yang dibawakan Mas Alay, tiba-tiba seorang anak muda naik ke panggung dan bertanya. Seperti pembawaannya yang apa adanya, mungkin terkesan kurang pas, pertanyaannya pun unik. “Gimana caranya nyari diri sendiri.” Lalu dia pun berjalan menuju Cak Nun minta izin untuk boleh menyalaminya. Dengan ringan hati ia dipersilakan. Juga ia salami ibu dan bapak-bapak yang lain yang ada di situ.

“Dirimu yang mau anda cari itu sendiri kan berarti ya belum jelas kan? Oleh karena itu jalani saja. Jalani apa yang kamu rasakan benar, yang kamu rasakan baik, dengan sungguh-sungguh. Nanti dirimu sendiri akan menjadi dengan sendirinya, meskipun dirimu tak menyadarinya. Dan supaya menjadinya adalah diri yang sejati, yang benar-benar diri, anda perlu tanya kepada Al-Quran dan kepada wong-wong tuwo,” jawab Cak Nun.

Sejenak hujan turun pada saat kebersamaan ini memasuki pukul 23.10. Tak lama berlangsung. Dan selama itu, untuk kesekian kalinya jamaah Maiyah memperlihatkan karakternya. Tidak bubar. Tetap setia. Cukup alas yang didudukinya diangkat untuk melindungi. Sebagian dipersilakan naik ke panggung, khususnya ibu-ibu, tetapi ibu-ibu pun lebih banyak memilih bertahan di tempatnya. Tepi papan panggung pun menjadi pilihan lain, juga bagian belakang. Sebagian jamaah memilih berada di situ, sampai pun ketika hujan reda.

Sementara itu nomor-nomor KiaiKanjeng terus bergulir. Mbak Yuli mempersembahkan nomor Berguru yang dimusikkan dari syair puisi Cak Nun. Kuch-kuch Hota Hai dinyanyikan oleh Mas Imam dan Mbak Yuli. Juga nomor munajat Ilahana disenandungkan oleh mbak Nia. Dan ketika hujan turun tadi Cak Nun meminta KiaiKanjeng menyambut dan mengiringinya dengan Shalawat Nariyah.

Paska hujan reda, sedikit perubahan yang tampak, jamaah di bagian belakang berdiri, karena hujan turun tadi, tetapi semua tetap dalam konsentrasi dan perhatian yang tak bergeser. Mereka menyimak gugus-gugus ilmu yang mengalir dalam Sinau Bareng malam ini. Cak Nun meneruskan soal gravitasi. Keseimbangan itulah grvitasi. Miring kemanapun harus taat pada gravitasi. Gravitasi itu Allah yang menciptakan. Bergravitasi itu supaya kita bisa tegak. Teknologi pun demikian rumus dan realitasnya. Gedung pun juga begitu, hanya penggunaannya yang ada urusannya dengan bermasalah atau tidak. Jadi syariat Allah itu yang awal adalah sunnatullah. Gravitasi adalah ketentuan Allah, dan itu berlaku untuk akhlak, untuk konsep pendidikan, dan kebudayaan. Lalu Cak Nun menjelaskan Pancasila dalam perspektif gravitasi ini. Setiap sila harusnya jelas gravitasinya.

“Bu, yang hadir ini sebagian adalah jamaah Maiyah. Jamaah Maiyah itu bukan sebuah keanggotaan seperti pada organisasi pada umumnya. Mereka adalah orang-orang yang bersentuhan hatinya satu sama lain. Lalu mereka saling membukakan sesuatu di antara mereka. Dan saling menemukan puzzling masing-masing. Nah mereka ikut memberikan persembahan untuk dies natalis ke-30 Universitas Mercu Buana lewat lagu yang akan dibawakan Mas Doni dan Mas Imam Fatawi,” kata Cak Nun mengantarkan dua nomor yang memperkaya kegembiraan malam ini sekaligus menunjukkan bagaimana paradigma KiaiKanjeng dalam mengolah musik.

Seperti biasa, kesempatan bertanya atau menyampaikan pendapat telah dibuka untuk para jamaah. Pertanyaan muncul sangat bermacam-macam. Mulai dari bagaimana menuju Indonesia yang seperti diidealkan, tentang ikhlas, hingga pertanyaan manakah yang lebih dulu antara kiamat dan tercapainya sila kelima Pancasila. Sementara itu, Kiai Muzammil yang malam itu turut hadir diminta Cak Nun memaparkan apa itu shalawat Nariyah.

Catatan Tadabburan di Universitas Mercu Buana
Foto: Adin (Progress)

Menanggapi pertanyaan terakhir itu, Cak Nun teringat akan sejumlah sebab. Salah satunya sebab dari bangsa Indonesia itu sendiri. Sila kelima dapat tercapai kalau kita mau mengakui kesalahan-kesalahan kita, mau membenahi dan membangunnya kembali. Kita juga perlu mengakui bahwa kita salah memilih pemimpin. Kita perlu mengubah sikap dan pikiran kita yang selama ini mempertentangkan, misal, antara Islam dan demokrasi. Kita tak berani bertanya pemimpin yang benar itu seperti apa. “Saya tentu bukan tidak setuju dengan demokrasi. Saya hanya takut anda tak berani berpikir selain demokrasi. Anda jumud dalam demokrasi itu. Islam bukan hanya mengandung faham-faham demokrasi, bahkan memperdalam demokrasi. Bahkan nilai-nilai Jawa pun demikian,” papar Cak Nun seraya memberikan sejumlah contoh.

Hidup Kita itu Abadi

Menukik lebih jauh, kini jamaah disodori pertanyaan oleh Cak Nun, “Kalau kita membangun rumah, misalnya, itu untuk hitungan sementara atau abadi?”. Terdengar sedikit jawaban, “Sementara.” Lalu diuraikan oleh Cak Nun bahwa kita ini sebenarnya hidup abadi, kholidina fiha abada. Mati yang kita alami hanyalah transformasi. Karenanya kalau kita bikin rumah, atau melakukan apapun, apalah artinya jika bukan untuk selamanya, jika tidak bisa dibawa untuk selamanya. Orientasi seperti itulah yang bikin KiaiKanjeng awet, papar Cak Nun sembari menjawab pertanyaan seputar KiaiKanjeng.

Switch di bagian akhir ini, dari kedalaman dan pendalaman ilmu, Cak Nun meminta Doni membawakan lagu Nothing Compares to You yang tentu mendapat sentuhan musikalitas KiaiKanjeng. Lewat nomor ini pula hendak ditunjukkan bahwa kemampuan keindonesiaan adalah silakan ada muatan Barat, ada Sunda, ada Jawa, atau ada yang lainnya, tetapi semuanya tetap bergravitasi kepada Indonesia. Dan memenuhi permintaan panitia akan lagu Ilir-ilir, Cak Nun dan KiaiKanjeng mempersembahkan salah satu nomor utama dalam album Menyorong Rembulan KiaiKanjeng itu, sekaligus sebagai bentuk kekhusyukan dalam mendoakan universitas Mercu Buana.

Sampai menjelang pukul 01.00, acara masih berjalan dengan sangat khidmat. Tetapj jatah waktu telah berlalu, dan harus segera diakhiri. Meskipun mungkin maunya tak ingin kebersamaan ini berakhir. Cak Nun melukiskan keadaan seperti ini tak lain bahwa jamaah Maiyahan telah berlatih untuk hidup abadi. Dan ini berlangsung setiap kali Maiyahan. Kiai Muzammil dipersilakan memimpin doa penutup. Bu Rektor tetap mengikuti acara hingga selesai, dan ikut bersalaman bersama Cak Nun dengan para jamaah yang antri tertib satu per satu berjalan ke depan panggung untuk berjabat.

Nomor Allah Wujud Qidam Baqa yang dilantunkan mbak Yuli mengiringi prosesi salaman ini. Disambung dengan nomor Dunya La Tarham oleh Mbak Yuli-Mbak Nia. KiaiKanjeng tak lelah menemani masyarakat untuk belajar kehidupan, belajar bergravitasi kepada titik pusat kehidupan itu sendiri, dan belajar mengembalikan Indonesia pada gravitasinya.

Yogyakarta, 13-14 Agustus 2016

Lainnya

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

KiaiKanjeng of the Unhidden Hand

Sejak jum’at siang (8/5) KiaiKanjeng sudah berada di Jakarta untuk malamnya menghadiri Kenduri Cinta, setelah menjalani rangkaian Maiyahan di Jawa Timur, mulai tanggal 4 Mei 2015 di Universitas Airlangga Surabaya, kemudian 5 Mei 2015 di Universitas PGRI Adibuana Surabaya, dilanjutkan tanggal 6 Mei-nya di Sidoarjo.

Kenduri Cinta
Kenduri Cinta
Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Topik