Guyub Rukun Ing Desaku
Mendung gelap menggantung di langit Jogja saat sore tadi KiaiKanjeng bersiap berangkat menuju Ngluwar Magelang. Di perjalanan hujan tumpah lumayan deras dan merata sampai di kawasan Muntilan dan sekitarnya. Rahmat Allah berupa hujan itu menemani KiaiKanjeng hingga tiba di Desa Ngluwar. Namun hujan telah mulai reda dan menyisakan rintik-rintiknya. Tanah basah, pepohonan pun demikian. Dusun Karangkopek justru terasa segar. Panggung Tadabburan yang berada di depan Masjid Al-Huda harus rela terkena guyuran hujan. Tetapi tidak mengurangi suatu apapun.
Panggung menghadap ke timur di area yang lebih pas disebut pekarangan telah siap sejak siap sejak siang. Di area ini terdapat pohon-pohon kelapa yang menjulang tinggi, pohon-pohon pisang, dan yang lainnya. Di bawah pepohonan itulah sebagian jamaah akan mengambil tempat. Sementara itu di sisi kiri, terdapat dua buah rumah Jawa yang sudah cukup berumur. Gebyok bagian depan dan samping kedua rumah itu dilepas, sehingga antara teras dan ruangan dalam menjadi lapang tanpa batas. Di lantainya digelar karpet dan tikar. Di sinilah ibu-ibu dan anak-anak akan duduk mengikuti Tadabburan. Seperti saat ini sudah terlihat, para jamaah sudah memenuhi lokasi.
Sebagian dari Bapak-Bapak KiaiKanjeng sempat mengikuti shalat Maghrib berjamaah di Masjid Al-Huda ini. Bapak-bapak di dusun itu juga seperti biasanya mestinya shalat berjamaah di situ. Di shaf pertama beberapa Bapak mengambil tempat. Dari belakang tampak jelas sosoknya. Wajah-wajahnya tegas, walau mungkin sudah disertai keriput seiring faktor usia. Badannya masih tegap. Jari-jarinya besar, sekilas tampak kasar. Tentu akibat kerja-keras sehari-harinya. Sesuatu yang mengingatkan pada kejadian di mana Rasul pernah menjabat tangan seorang pekerja-pemecah batu sehingga tangannya kasar. Rasul menjabatnya dan mengatakan Hadzihi yaadun la tamassuhu naaru abadan, inilah tangan yang tidak disentuh oleh api neraka selamanya.
Tepat sesudah shalat Isya’, masyarakat dengan cepat memenuhi lokasi. Ibu-ibu dalam busana rapi, bapak-bapak sesepuh masyarakat juga demikian, dan generasi muda, semuanya bersiap mengikuti Tadabburan. Tumpukan-tumpukan karung putih yang disediakan untuk tempat duduk lesehan jamaah sudah tergelar, dan mulai ditempati.
Seorang bocah diajak ibunya datang. Ia mengenakan baju biru superman. Berjarak satu meter dari situ, seorang lelaki dewasa dengan penampilan dan sorot unik sudah duduk menyandar di tiang kayu rumah Jawa itu, seakan sudah menyatakan diri: tempat ini untukku, aku duduk di sini, dari awal sampai akhir nanti, jangan ada yang mengincar, sebab aku mau pengajian dengan sebaik-baiknya. Selalu ada mozaik-mozaik menarik dalam setiap Maiyahan.
Lampu-lampu neon seratus watt dipasang di pohon-pohon di pinggir jalan di sekitar lokasi membuat kegelapan malam di dusun berganti terang. Di area jamaah pun demikian, semuanya terang. Maiyahan bukanlah kesenian modern yang digelar dalam suasana gelap. Maiyahan atau tadabburan hendak berbagi bahagia dan berbagi ilmu melalui omong-omong atau diskusi, dan itu tidak kondusif kalau dilakukan dalam penerangan yang lemah. Apalagi, panitia dan masyarakat memiliki harapan yang tinggi kepada Cak Nun untuk dapat memberikan wawasan dan bimbingan khususnya terkait kekompakan antara generasi muda dan generasi tua di sini, serta secara spesifik lagi mengarahkan anak-anak muda agar lebih “ndalan”, yakni anak-anak muda yang energi besar dan perlu didayagunakan untuk kebaikan-kebaikan.
“Guyub Rukun Ing Desaku”. Itulah tema tadabburan malam ini di dusun Karangkopek Ngluwar Magelang. Sebuah tema yang berangkat dari kesadaran dan kolaborasi antara angakatan muda dan generasi sesepuh di sini. Sedemikian rupa sehingga suasana swadaya dan swaorganisasi dari masyarakat desa ini sangat tampak nyata. Sebuah kekuatan sosial yang sejak tahun 1980-an sudah ditegaskan oleh Cendekiawan Indonesia Soedjatmoko, bahwa swaorganisasi yang demikian merupakan ciri khas masyarakat desa di Indonesia dan seharusnya dipahami sifat-sifatnya oleh birokrasi modern sehingga pembangunan masyarakat dapat lebih bersesuaian dengan natur lokal setempat.
“Nanti kita bicarakan apakah yang baik itu desa atau kota; atau kota tapi bersuasana guyub ketimbang desa tapi sudah kemasukan kota; ataukah separuh-separuh,” ujar Cak Nun membuka sapa kepada seluruh masyarakat Ngluwar yang hadir malam ini sekaligus sedikit menyinggung tema yang diusung dalam Tadabburan. Sebelum itu, KiaiKanjeng telah memilihkan lagu yang sesuai pula, yaitu Pak Tani dari Koes Plus yang mengingatkan akan nilai-nilai keguyuban yang melekat dan menjadi ciri desa sebagai satuan sosial di masyarakat Indonesia.
Di manapun saja, Cak Nun selalu mengingatkan akan kebersamaan dengan Allah. Momentum-momentum apa saja sebenarnya bermuatan kebersamaan itu. Maka kesadaran itu, dalam detail-detailnya, perlu diperbarui terus, sebab boleh jadi kita telah menipis ingatan dan kesadarannya karena digilas oleh kesibukan dunia, oleh arus materialisasi, dan lain-lain. Cak Nun. Di awal kesempatan ini pun, Cak Nun dalam bahasa sederhana tapi mengena menggugah hati masyarakat. Dalam hal berdoa kepada Allah, misalnya, apakah yang lebih baik adalah nyuwun (minta) kepada Allah ataukah pasrah kepada Allah mau diberi apa. Dalam berdoa itu, kalimat yang paling tinggi nilainya apa di hadapan Allah? “Kalau saya pribadi adalah istighfar (meminta maaf) dan alhamdulillah (memuji syukur). Dua itu menurut saya tinggi dan efektif nilainya. Tapi ini jangan dianggap kebenaran, itu menurut saya,” papar Cak Nun. Pendalaman-pendalaman multi sisi dalam hal doa dipantikkan oleh Cak Nun kepada masyarakat. Suatu hal yang mungkin jarang diperhatikan. Bahwa di dalam doa pun ada adab batiniah yang perlu dibangun dan ditegakkan oleh setiap hamba. Termasuk pembenahan pemahaman mengenai arti doa yang selama ini diartikan permohonan atau permintaan kepada Allah. Cak Nun cenderung kalau kepada Allah itu term yang pas buka meminta, melainkan menyapa. Sering-seringlah menyapa, di situlah nanti kita punya kelayakan untuk diberi oleh Allah.
Di dekat sudut kiri panggung, seorang Bapak berpeci hitam, bersarung dan mengenakan jas sederhana berwarna coklat, sedari awal Cak Nun menyampaikan tutur kata dan sapaan selalu tersenyum hingga giginya tampak, wajahnya senyum, matanya tak pernah lepas dari sorot menyimak. Setiap kali Cak Nun melontarkan hal-hal yang lucu, ia pun tertawa. Sedemikian penuh perhatiannya, ia seakan tak pernah punya keinginan untuk menoleh ke kanan-kirinya. Ia benar-benar jenak duduk bertadabburan bersama malam ini. Ia tentu tak sendirian. Bisa jadi setiap orang yang datang di sini seperti dia.
Menariknya, masyarakat di sini sebenarnya dapat menyimak Tadabburan ini dari layar-layar televisi mereka di rumah. Pasalnya, gerakan swadaya masyarakat di sini lumayan canggih. Melalui jalur UHF mereka memasang transmitter dan mengambil dari perangkat broadcasting ADiTV yang malam ini datang merekam acara secara langsung dan memancarkannya hingga radius 500 meter. Selain masuk ke tivi-tivi di rumah, layar-layar lebar yang dipasang di enam titik juga menerima gambar dari transmitter. Namun, masyarakat lebih memilih untuk melihat dan mengikuti langsung meskipun sebagian harus melalui layar lebar di beberapa titik itu. Mereka ingin menikmati secara segala rasa dan dimensi dalam Tadabburan bersama Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Di panggung Cak Nun tidak sendirian. Seperti biasa, para pemuka diajak naik untuk bermuwajjahah dengan masyarakatnya. Pak Kapolsek, Pak Camat, Pak Kiai, dan Ketua Panitia yang mewakili generasi muda. Mereka sudah bertemu Cak Nun sejak di rumah transit. Beliau-beliau sudah ada situ, berbincang-bincang, sembari menunggu kedatangan Cak Nun. Dalam sambutannya, Pak Camat menyampaikan hatinya mongkok (tersanjung, terhormat) dengan kehadiran Cak Nun dan KiaiKanjeng di dusun Karangkopek ini. Baik MC maupun Pak Camat menyebut Cak Nun sebagai budayawan nasional. Dari dalam rumah itu, Cak Nun tersenyum-senyum saja mendengarnya.
Di antara yang kerap dipesankan Cak Nun kepada jamaah adalah agar mereka jangan gampang tertekan, jangan gampang ngersulo (mengeluh), jangan mbentoyong dan metenteng terhadap dunia. Kemudian jamaah di sini diajak bersama-sama memohon ampunan Allah dengan melantunkan istighfar. Dan untuk ‘alhamdulillah’-nya, jamaah diajak mengucapkanannya tapi digabung dengan kegembiraan. Nomor shalawat Alhamdu Lillah wasy Syukru Lillah dengan dibagi ke dalam tiga bagian. Dalam nomor ini juga terkandung ajakan untuk bershalawat kepada Nabi yang memiliki peran sebagai guru (mu’allim) bagi umat manusia. Shalli wa sallim ‘alal mu’allim….
Kesempatan diberikan kepada para narasumber. Salah satunya, Pak Kapolsek Ngluwar mengingatkan satu hal saja kepada masyarakat. Yakni akan bahaya narkoba. Kini narkoba mengancam anak-anak karena ada yang dijual dalam bentuk permen dengan harga sepuluh ribu. Para orangtua hendaknya benar-benar menjaga anaknya. Kemudian Cak Nun merespons, “Sangat luar biasa, dibanding sepuluh tahun silam, ndlesep-ndelespnya sudah sangat dahsyat. Kalau seseorang terkena narkoba akan sangat sulit pemulihannya, terutama karena biayanya sangat besar. Dan ternyata, obat satu-satunya untuk orang yang menggunakan narkoba hanyalah satu, niat yang sungguh-sungguh.”
Memenuhi kebutuhan akan kesegaran dan gejolak jiwa muda, Cak Nun meminta Mas Alay bawakan beberapa nomor lagu. Yang pertama adalah Ya Thoybah yang diaransemen agak pop. Video klip KiaiKanjeng pada nomor ini dulu diambil syutingnya di Belanda saat Cak Nun dan KiaiKanjeng tur dua minggu di sana. Di sela-sela jadwal acara, tim dokumentasi menyempatkan diri secara improvisatoris merekam suasana klip tersebut. Klip yang berlatar suasana sebuah hutan kecil di sebuah kota di Belanda.
Tentang dan untuk anak-anak muda di sini, Cak Nun sangat berpesan agar mulai sekarang mereka menyadari akan tidak ringannya tantangan yang mereka hadapi. Karenanya, mereka harus mulai golek sing apik (mencari yang baik), mencari yang abadi dan sejati, dan mengetahui apa yang temporer dan sementara. Dalam konteks ini pula, Cak Nun meminta perwakilan Maneges Qudroh (MQ) untuk naik ke panggung. Kepada jamaah, Cak Nun memperkenalkan Maneges Qudroh (MQ) adalah lingkar Maiyah anak-anak muda di Muntilan dan sekitarnya untuk nglumpuk berbuat baik.
Pukul 00.15, tak terasa sudah melewati tengah malam. Jamaah masih setia menyimak Tadabburan. Satu dua terlihat penjaja makanan keliling, duduk di teras masjid istirahat, memejamkan mata, tapi terlihat dia tetap dalam sadar menyimak apa-apa yang disampaikan Cak Nun di panggung. Keranjang tempat makanan yang dijajakan diletakkan di sebelahnya, dan sepertinya sudah berkurang isinya. Rezeki telah diterimanya. Malam ini rezekinya pun tak hanya laku jualannya, melainkan juga rezeki ilmu dan kegembiraan.
Jika dia sendiri seorang ibu yang masih punya anak-anak kecil atau sekurang-kurangnya ada anak-anak kecil di sekilingnya, dia pun mendapatkan ilmu pendidikan. Seorang bertanya tentang pendidikan TPA. “Anak usia lima tahun, sebenarnya tidak usah diajari apa-apa. Bahkan membaca menulis. Kita cukup mengawalnya saja. Sebab anak-anak itu sedang melakukan penelitian ke dalam – ke luar. Dia akan mengenali siapa dirinya, siapa orangtuanya, dll. Sesungguhnya anak itu punya perjanjian dengan Allah. Allah punya kehendak kepada anak-anak. Kitalah yang harus banyak belajar mengenali kehendak Allah itu. Maka sebanyak mungkin orangtua memberikan pengalaman, dan hadirkan Allah, Rasulullah, dan akhlakul karimah. Sementara yang berlangsung sekarang banyak orangtua yang ‘bernafsu’ pada anak-anaknya”, papar Cak Nun.
Dalam soal dunia pendidikan yang sama sekali tak ideal ini, saran Cak Nun sederhana saja: jangan melawan seratus persen, tapi juga jangan terlalu kompromis. Kemudian ada pertanyaan mengenai kearifan lokal Jawa dalam korelasinya dengan kualitas kerja manusia. Untuk hal ini Cak Nun langsung menandas, “Jangan pakai istilah kearifan lokal. Itu cara orang Barat mengerdilkan Anda. Sebagus apapun Anda tetap dilokalkan, padahal nilai-nilai Jawa itu universal, bahkan kosmis. Sebut saja kearifan Jawa atau kearifan universal.”
Lalu Cak Nun menceritakan asal-usul penjajahan global. Sejak abad ke-13 Eropa menyadari bahwa yang kuat adalah Islam dan Jawa. Karena itu sejak itu didatangkan Portugis untuk menghancurkan dua kombinasi kekuatan nilai (Islam) dan budaya (Jawa). Sebab Jawa dan Islam itu berjodoh. “Karena itu di manapun, di surau-surau, langgar, masjid, kawinkanlah Jawa dengan Islam, dengan batas-batas syariah yang harus tetap dipenuhi,” pesan Cak Nun.
Di antara dan selang-seling dengan paparan ilmu, KiaiKanjeng telah menghadirkan beberapa nomor lagu, di antaranya Sebelum Cahaya, One More Night Maroon 5, Beban Kasih Asmara, dan terakhir adalah nomor menjunjung nilai guyub rukun Gugur Gunung.
Di bagian akhir dari pertemuan ini, Cak Nun makin intensif memberikan wejangan untuk anak muda di Karangkopek ini. Agar mereka berbakti kepada orangtua, misalnya menjadikan orangtua sebagai dorongan untuk menyelesaikan sekolah atau kuliah. Terakhir, Cak Nun berharap dan berdoa, “Mudah-mudahan anak-anak muda di sini sepulang acara ini diberikan hidayah oleh Allah dan diberi potensi dan kekuatan yang baru.”
Seperti permintaan panitia kepada tim Cak Nun dan KiaiKanjeng, bahwa anak-anak muda di sini juga perlu ditambani (diobati) oleh Cak Nun, di penghujung Tadabburan usai doa bersama yang dipimpin Kiai Muzammil, Cak Nun meminta KiaiKanjeng melantunkan Tombo Ati. Berbarengan dengan itu jamaah sudah berjalan rapi di depan panggung untuk berjabat tangan dengan Cak Nun dan para narasumber lain. Pada saat itulah, Cak Nun menerima jabat tangan jamaah termasuk anak muda dan menyentuh pundak mereka atau sesekali mengusap kepala mereka.
Dusun Karangkopek malam ini menjadi saksi akan iktikad baik sebuah masyarakat dengan lapisan anak-anak mudanya yang makin merasakan kebutuhan untuk menjadi lebih baik, lebih bermanfaat, atau dalam bahasa mereka lebih ‘ndalan’. Dan Cak Nun bersama KiaiKanjeng telah berupaya mengantarkan maksud baik naik ke langit melalui Tadabburan, yang kali ini terasa sebagai sebentuk ikhtiar merespons niat baik dengan niat baik. Keikhlasan demi keikhlasan memancar dari wajah-wajah mereka. Karangkopek di masa mendatang akan diwarnai oleh generasi muda yang malam ini telah dibasuh dan didoakan oleh Mbah Nun.
Acara sudah selesai, jabat tangan juga sudah usai, orang-orang telah kembali ke tempat masing-masing. Tinggal beberapa kerumunan kecil mengitari Mbah Nun dan para narasumber yang sesaat lagi akan masuk ke rumah transit lagi, untuk sejenak istirahat dan menikmati hidangan. Sementara itu Mas Adin masih sibuk dengan kameranya. Berdiri ia naik ke atas sound untuk mengabadikan momen-momen terakhir. Beberapa personel KiaiKanjeng menerima sapaan jamaah atau foto bersama dari mereka. Lampu panggung sudah dipadamkan, karung-karung tempat duduk lesehan mulai dilipat dirapikan. Panitia mengabarkan bahwa untuk Tadabburan malam ini telah disediakan dua puluh enam titik parkir untuk motor dan mobil, dan semuanya penuh tak bersisa. Sebuah saksi lain dari kebersamaan Tadabburan di dusun ini, yang belum pernah terjadi sebelumnya.