Generasi Putra Langit
Tahqiq“...generasi muda itu diajari untuk menjadi penerus kebobrokan, pelanjut kerusakan, dan penyempurna kehancuran. Mereka digiling oleh mesin sejarah yang meracuni mereka, sehingga menyadari bahwa tidak mungkin mereka akan temukan anti-racun dari mesin yang sama”
Memang Junit, Toling, Jitul dan anak-anak muda segenerasinya sudah makin tampak lahir sebagai “putra langit”. Generasi yang bukan merupakan produk dari generasi sebelumnya. Generasi yang bukan kontinuasi dari kebobrokan kakak-kakak dan bapak-bapaknya. Jenis keterampilannya, kekhususan ilmu dan pengetahuannya, kecenderungan alam pikiran dan semesta perhatian hidupnya, tidak merupakan kelanjutan dari ajaran-ajaran zaman yang membesarkan mereka.
Generasi yang berpikirnya lebih komprehensif, lebih memperhatikan rentang hulu hingga hilir, sangkan dan paran, inna lillahi dan ilaihi roji’un. Kalau mereka bikin warung kopi, pertama berpikir inovatif. Tidak hanya memilih jenis kopi dengan asal-usul wilayah tanah di mana ia ditanam. Tak hanya berpikir pasar mengidentifikasi kopi jenis mana yang paling digemari.
Tidak hanya berpikir bagaimana menguasai berbagai metode meracik kopi. Tidak hanya berpikir api yang mendidihkan air dinyalakan pakai bahan apa dan dengan tungku jenis apa. Tidak hanya berpikir mengeksplorasi dan mengeksperimentasi kemungkinan campuran bahan-bahan lain yang memperindah dan mempersedap rasa kopi.
Tidak hanya berpikir kopi sebagai hanya konsumsi kuliner, tapi juga menjajagi dimensi medisnya, sisi kesehatan, pengobatan, dan penyembuhannya. Tidak hanya berpikir kopi malam, yang mestinya berbeda dengan kopi pagi, kopi siang, atau kopi momentum-momentum budaya pertemuan dan kegiatan kultural manusia yang mengandung berbagai jenis suasana dan nuansa.
Tidak hanya berpikir kopi sebagai bahan primer sambil mencari bahan-bahan lain yang diposisikan sekunder dan ilustratif atau supportive. Tapi juga kopi dalam kemungkinan sekunder atau tersiernya untuk ditaburkan atau dilumurkan pada bahan primer yang dijajagi apa enaknya itu.
Bahkan tidak hanya berpikir masa depan kopi dengan multidimensi konsumsi serta kreativitasnya dalam komprehensi perniagaan rasa sedap dan “pyar”. Tapi juga berpikir jauh ke belakang: setelah sekian tahap aplikasi warung kopi, dibuka kemungkinan berkebun kopi sendiri, menciptakan hibrida kopi baru, serta berbagai kemungkinan di hulu maupun manifestasi hilirnya.
Generasi Junit Toling Jitul, yang meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak, namun mereka adalah setitik cahaya harapan masa depan bangsanya. Generasi yang belajar mencari sesuatu yang mereka pelajari kenapa harus dicari. Sesuatu yang lebih mendasar, yang mengakar, yang lebih rasional sangkan-parannya, yang lebih komplit dimensi-dimensinya dan lebih mencakrawala logika kesejarahannya.
Generasi yang tidak merasa nyaman dengan budaya copy paste, tradisi taqlid, kebiasaan kepatuhan yang tanpa pengetahuan. Generasi yang merasa pengap oleh bumi sehingga sangat merindukan belajar kepada langit. Generasi yang bukan hanya tidak akan menyerah kepada ketidakberdayaan, kepada kekuatan yang menimpa dan menindas mereka, kepada kekuasaan nasional dan global yang mengurung dan memenjarakan mereka.
Generasi yang tidak hanya melakukan perlawanan mati-matian atas kebingungan, kegalauan, dan keputusasaan. Generasi yang sangat sadar bahwa mereka sudah terpuruk dan diterpurukkan oleh keadaan yang melahirkan dan membesarkan mereka, sehingga mereka tidak menemukan kemungkinan lain kecuali berjuang melawan keterpurukan.
Generasi yang punggungnya terbentur tembok tebal tanpa bisa lagi melangkah mundur, sehingga mereka sadar tidak ada alternatif lain kecuali berjuang untuk melangkah maju, meskipun hanya sepertiga langkah. Generasi yang dicampakkan ke dalam penjara utang yang jumlahnya belum pernah mereka bayangkan meskipun di dalam mimpi yang jauh atau mendalam di lubuk kegelapan ruang. Yang bahkan tak pernah mereka kira bahwa dalam kehidupan ini ada jumlah uang sebanyak itu. Jumlah utang yang bagaikan melampaui tingginya langit dan melampaui bayang-bayang cakrawala.
Keterpurukan, keterpojokan, dan keterjerembaban yang semengerikan itu tidak menghasilkan apapun pada generasi muda itu selain tekad untuk belajar menggeliat, belajar berdiri bangkit kembali, belajar menyusun impian yang batas-batasnya ditentukan setepat-tepatnya, belajar untuk mengikhlaskan kenyataan bahwa seluruh hidup mereka akan seratus persen dipersembahkan untuk perjuangan.
Oleh institusi-institusi pendidikan buah karya zamannya, generasi muda itu diajari untuk menjadi penerus kebobrokan, pelanjut kerusakan, dan penyempurna kehancuran. Mereka digiling oleh mesin sejarah yang meracuni mereka, sehingga menyadari bahwa tidak mungkin mereka akan temukan anti-racun dari mesin yang sama. Mereka tidak bisa bergerak ke ruang lain kecuali melata dan merangkak di lorong-lorong sempit kehidupan, untuk menyusun pemikiran tentang kemungkinan sejarah yang lain, yang berbeda, bahkan mungkin yang berlawanan — dibanding yang melahirkan mereka, membesarkan, dan memenjarakan mereka.