CakNun.com
Daur 1195

Freedom of Destroying

Emha Ainun Nadjib
Waktu baca ± 3 menit
Ta’qid“Hubungan baik menjadi hubungan buruk. Silaturahmi menjadi kebencian. Komunikasi menjadi permusuhan. Dan itu tidak hanya antar manusia. Bisa antar kelompok. Bahkan mungkin antar Negara. Bisa tawur semua di dunia ini”

“Di rumahmu, kalau anakmu omong kepadamu atau kepada Ibunya, atau kamu dan Ibunya bicara kepada anak kalian, serta siapapun berbicara kepada siapapun di dalam rumahnya — apakah bebas sebebas-bebasnya ataukah ada aturan dan batasan-batasannya?”, Markesot bertanya.

“Ya ada aturannya”, jawab Tarmihim, “mosok bebas sebebas-bebasnya”

“Apakah ada aturan yang menentukan bahasa, kata, nada dan nuansa yang berbeda-beda antara anak kepada Ibunya dengan Ibu kepada anaknya?”

“Dengan sendirinya ada”.

“Dengan sendirinya. Apa maksudmu?”

“Kan ada sopan santun. Ada paugeran. Ada subasita. Ada tata krama. Ada etika. Kan pelakunya semua manusia”

“Kalau aturan dan batasan itu tidak ada, berarti bukan manusia yang melakukannya, tapi hewan misalnya?”

“Hewan pun punya aturan. Kerbau mengerti bagaimana mengabdi dan bagaimana mengayomi. Macan yang katanya buas dan ganas saja punya aturan dengan keluarganya”

“Kalau binatang kan memang tidak punya freedom of expression dan tidak paham freedom of speech. Kebebasan mengungkapkan diri, kemerdekaan berbicara”

“Cak Sot dulu pernah menjelaskan bahwa kalau Malaikat, alam, hewan dan makhluk selain Jin dan Manusia, segala perilakunya dibimbing oleh sunnahnya Tuhan. Jadi kalau bicara kebebasan, letaknya di tangan kekuasaan Tuhan”

“Kalau Jin dan Manusia?”

“Kata Cak Sot dulu Tuhan meminjamkan sebagian kecil kekuasaan-Nya kepada Jin dan Manusia. Dua makhluk ini dilimpahi hak pakai kekuasaan untuk menentukan hidupnya, mengambil keputusan tentang apa yang akan dilakukannya. Tetapi tetap saja kebebasan Jin dan Manusia tidak berposisi untuk melanggar aturan mendasarnya Tuhan, kecuali mereka akan mengalami bencana, adzab dan neraka”

“Jadi”, Markesot mengejar lagi, “dalam kehidupan di alam semesta, dalam kehidupan bernegara, bermasyarakat, di rumahmu, di Masjid, di pasar, di jalan raya, di hutan belantara pun — tetap diperlukan aturan dan batasan?”

“Hancur kalau tidak ada itu”, jawab Tarmihim.

“Hancur bagaimana?”

“Hubungan baik menjadi hubungan buruk. Silaturahmi menjadi kebencian. Komunikasi menjadi permusuhan. Dan itu tidak hanya antar manusia. Bisa antar kelompok. Bahkan mungkin antar Negara. Bisa tawur semua di dunia ini”

“Nah, Him”, kata Markesot kemudian, “di dalam komunikasi yang berlangsung di telepon yang kamu genggam itu, aturan dan batasan seperti yang kamu ungkapkan tadi belum ada. Belum terbentuk. Belum diformulasikan. Masih bergantung pada setiap orang yang terlibat di dalamnya. Tergantung apakah seseorang yang menulis, menyalurkan, mengutip atau apapun, termasuk mencampuradukkan, memanipulasi, memotong-motong sesuai dengan selera atau kepentingannya — memiliki moral sosial atau tidak, berbudaya atau tidak, punya kemuliaan pribadi atau tidak, punya rasa keutuhan kebudayaan bersama semua orang lain atau tidak.”

Tarmihim nutul-nutul dengan satu jarinya ke layar gadget-nya.

“Di genggamanmu itu semua orang bisa bicara apa saja, dengan cara apa saja, kapan saja, tanpa pagar baik atau buruk, benar atau salah, menguntungkan atau merugikan, menggembirakan atau menyakitkan, jujur atau dusta, sungguhan atau main-main. Dan pelakunya tidak mendapatkan akibat atau hukuman seperti seharusnya manusia yang melakukan perusakan.”

“Ya, Cak Sot”, Tarmihim berguman.

“Di genggamanmu itu mengalir arus dari seluruh dunia, yang tidak hanya freedom of speech atau freedom of expression, tapi juga freedom of destroying, freedom of hurting, freedom of character killing. Bahkan kebebasan untuk menyakiti, kebebasan untuk menghina, kebebasan untuk membuka aurat siapapun setelanjang-telanjangnya.”

“Saya tidak pernah membayangkan sejauh itu, apalagi berniat sejahat itu”, kata Tarmihim.

“Terbuka lebar-lebar pintunya kalau misalnya kamu ingin tampil tidak sebagai dirimu, hadir dengan akun abal-abal apapun, kamu kirimkan peluru-peluru perusak dunia dan kehidupan, masuk ke dalam saraf-saraf otak ratusan juta pembaca. Bahkan kamu bisa menciptakan tokoh-tokoh, mengarang ucapan-ucapan apapun, mengatasnamakan Tuhan dan Nabi-nabi, memperdaya penduduk dunia, menyebarkan kepalsuan ilmu dan pengetahuan, menghembuskan tipu muslihat. Teorinya kamu tetap bisa dilacak. Tetapi urgensi dan kesempatan untuk melacakmu mungkin hanya 0,1% dibanding 99,9% destruksi yang telah kamu sebarkan”

“Apa sampai sejauh dan separah itu bahayanya, Cak Sot?”, Tarmihim bertanya.

“Tergantung ukuran nilai yang kamu pakai”, jawab Markesot, “tergantung kelengkapan parametermu atas nilai-nilai hidup manusia, juga tergantung kecerdasanmu melihat lingkupnya, skalanya, dimensi-dimensinya. Sepanjang kamu online interkomunikasi dengan Tuhan dan teguh menjaga akal sehat, kamu tidak akan terlalu bisa disentuh oleh bahaya-bahaya itu. Serendah, sekecil dan selemah apapun kita sebagai manusia, prinsip dasar atas yang kamu genggam itu adalah upayakan menjadi subjek, hindari jadi objek, pelengkap penderita, sandera, narapidana dan budak dari air bah apapun di dalamnya”.

Lainnya

Exit mobile version