Falyatalaththof, Falyataletto
Diskusi dengan Letto di Kadipiro beberapa waktu yang lalu atas penyelenggaraan “Perpustakaan EAN” sangat saya nikmati.
Pertama, jumlah anak-anak muda yang hadir, dengan mendalami apa yang mendorong mereka untuk hadir, apa yang mereka cari dan kemudian apa yang mereka olah yang tercermin dari dialog yang terjadi: sangat mengurangi kecemasan saya terhadap hari depan generasi anak-anak dan cucu-cucu saya.
Kedua, jawaban-jawaban para patriot Letto sangat menambah kelegaan hati saya. Mereka melangkah di jalur yang memang seharusnya, yang tidak membuat mereka dicegat oleh tembok raksasa atau jurang yang memperosokkan.
Ketiga, ada dimensi, wilayah, konteks yang merupakan kontinyuasi ruang waktu dari diskusi mereka, sehingga malam itu belum diungkapkan oleh hadirin maupun oleh Letto sendiri.
Dan itu yang coba saya tuliskan, sekedar untuk menyentuh pintunya.
Wudlu Letto dan Karya Sembahyang
Anak-anak muda itu datang ke forum Letto tidak dengan posisi awam: nge-fans ke Letto, misalnya. Mereka bukan anak-anak muda elementer dan muqallidin, pembebek, anut grubyug, rubuh-rubuh gedhang.
Pun bukan kecengengan “penggemar musik”, yang menemukan musik hanya di lagu, nyanyian, album, mayor minor label, indi ondo endi…. Mereka punya software untuk menemukan nyanyian di gerak-gerak daun, di arus listrik, di berputarnya roda, di teknologi, Negara, peradaban, terlebih-lebih lagi di firman-firman Tuhan. Meskipun belum loading….
Anak-anak muda itu berduyun-duyun datang ke Kadipiro dan tidak mau dihentikan dialognya sampai jam berapapun karena kesadaran lyrics. Kesadaran susunan huruf dan kata. Aspirasi kalimat. Dan untuk apa kalimah kalau tidak thayyibah. Kaum muda pendiri masa depan itu berkumpul di Kadipiro untuk mengembarai, menelusuri, merambah, mendalami, merenangi, slulup, untuk melihat, menemukan, mengalami sesuatu, agar mereka punya pijakan batin dan logika untuk mengucapkan masyaallah, subhanallah, alhamdulillah, astaghfirullah, Allahu Akbar, la haula wa la quwwata illa billah…meskipun mereka ucapkan dengan bahasa dan formula yang berbeda.
Itulah Kalimah Thayyibah. Ia bukan kalimat syariat. Ia kalimat kesadaran, sesudah momentum penyadaran. Ia kalimat thohir, suci, sesudah thoharoh, proses pensucian, yang membuat Allah menyebut mereka muthohharun, hamba-hamba yang disucikan.
Bukan ‘suci’ dalam pemahaman sangat dungu dan sempit pada kebudayaan masyarakat dan ilmu sekolahan. Suci itu artinya tidak fals. Tepat. Pada posisinya. Obyektif. Sportif. Pas. Tidak fals bukan hanya nadanya. Karya musik itu sendiri tidak fals di tengah zaman. Letto itu sendiri tidak fals di tengah konstelasi kebudayaan. Juga individu-individu Letto tidak boleh fals di tengah bebrayan.
Pekerjaan sehari-hari para personil Letto itu berwudlu. Karya musik dan ekspressi keseluruhannya adalah shalat yang ditegakkan.
Fals itu Najis
Modal utama para penembus rahasia ilmu, yang kemudian menjadi innovator atau inventor, adalah kesucian batin dan imaginasi akal.
4 kali 5 sama dengan tigapuluh, itu najis. Dana insentif 10 juta rupiah diterimakan 7 juta rupiah, itu najis mugholladloh, najis berat. Berpikir tidak jujur mengandung berbagai level najis.
Kesucian batin diburamkan oleh najis-najis. Imaginasi akal akan berbias-bias dan sukar tiba di titik makrifat kalau dikawal oleh najis-najis logika dan pola pikir.
Semua pekerja ilmu, teknologi, orang bertani, Ulama penafsir, akademisi analis, pengamat politik, dan siapapun serta apapun saja, modal utama pekerjaannya adalah kesucian batin dan imaginasi akal.
Di tahun 1974 ada seseorang menulis “Kiai Harus Seniman”. Apalagi ilmuwan, pejabat publik, mandataris pengelolaan kesejahteraan rakyat, terlebih lagi para penyangga keadilan hidup.
Tuhan menyuruh manusia melakukan tadabbur atas firman-firmannya. Bekalnya sama: kesucian batin dan daya imaginasi akal. Tafsir merupakan bagian yang teknis-akademis dari tadabbur. Berabad-abad Agama dikudeta oleh etos Tafsir dan menutup pintu tadabbur.
Itu sebuah alhamdulillah, karena yang dimaksud Agama hanya urusan eksklusif, tafsir Qur`an, syariat pokok dan ibadah mahdloh. Jadi selamatlah dunia musik, kesenian, pengelolaan sosial, teknologi manusia kebudayaan, dari kudeta itu, dan tetap terbuka bagi mereka tradisi peradaban tadabbur.
Malaikat Makna
Orang yang sibuk di kotak ilmu, diungguli oleh orang yang menggenggam dan mengolah ilmu didampingi tradisi estetika: dan itulah yang disebut kesucian batin dan imaginasi akal.
Aktivis ilmu, Agama, dan apa saja, akan dikagetkan oleh aktivis lain di bidang yang sama tapi membawa bekal kesucian batin dan imaginasi akal. Maka “Kiai Harus Seniman”, “Ilmuwan Harus Seniman”, “Arsitek Harus Seniman”, dan aslinya “Presiden Harus Seniman”. Semua aktivitas berpuncak pada kesadaran “ini seninya”. Maka ada seni memancing, seni berdagang, seni beternak, seni managemen, seni bangunan, seni menggergaji, seni berperang.
Kalau seni yang dimaksud adalah senirupa, maka lingkup tanggungjawabnya hanya seputar rupa yang kasat mata, meskipun para kurator bisa mendramatisasikannya dengan bumbu khayalan dan mithologi atas karya senirupa.
Demikian juga lingkup-lingkup tanggung jawab terbatas pada seni tari dan bagian-bagian kesenian yang jasadiyah lainnya. Sementara seni drama dan teater meskipun merangkum jasad dan segala yang kasat mata, puncak maknanya ada di kata dan kalimat.
Pun musik, berpuncak di liriknya. Dan itu yang memagnet anak-anak muda berdatangan ke diskusi Letto.
Sebab pada lirik, teks, kata, kalimat, sastra, puisi: tidak banyak lubang untuk bersembunyi dari pertanggungjawaban. Setiap huruf dan kata menyangga tanggungjawab secara bulat. Berat, tinggi, keutuhan dan totalitas tanggungjawab itu yang membuat lirik puisi juga mengandung kemungkinan bagi manusia untuk sampai di puncak-puncak makna.
Dan manusia hidup sejenak di Bumi ini memerlukan rupa dan warna, tapi akan ditinggalkannya. Makna lah yang menerbangkannya ke keabadian, “kholidina fiha abada”, tidak hanya kekal tapi juga abadi.
Karena Letto memuat makna dalam liriknya, disupport oleh “Mulk” (jamak dari Malaikat) yang terbang melintasi semesta mengangkut keindahan lagu yang berjodoh dengan makna itu, maka anak-anak muda itu mengerumuninya. Sebab Letto bukan grup musik, Letto adalah bagian dari kandungan batin mereka sendiri.
Klinik As-Syu’ara
Tidak bisa ditemukan logika dan pemahaman lain bahwa karena puncak makna dalam misykah lirik puisi itu maka Tuhan menurunkan firman dengan bab khusus: As-Syu’ara. Para penyair.
Penyair sangat penting, karena ia bertugas memetik puisi dari alam, dijadikan lirik lagu. Ia yang mengantarkan batin manusia sampai ke kesuciannya, dan membawa akal manusia dengan progressi tanpa henti imaginasinya.
Lirik puisi ditugasi oleh Al-Lathif, Yang Maha Lembut, untuk mentransformasikan dimensi kelembutan. Bukan “Sandaran Hati” atau “Sebelum Cahaya”nya, tapi kelembutannya.
Bahwa Letto adalah kelompok musik, yang menyusun lagu-lagu, menuliskan lirik-lirik, adalah bagian atau tidak mau menjadi bagian dari industri — itu semua teknis administratif. Yang utama adalah berkeliling untuk menjalani tarekat klinik As-Syu’ara.
Lihatlah. Seolah tidak sengaja tapi tidak ada yang berani menyimpulkan bahwa hal itu tidak disengaja, sehingga pasti disengaja: titik tengah Kitab Allah Al-Qur`an adalah kata falyatalaththaf. Maka hendaklah ia berlaku lemah lembut.
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: Sudah berapa lamakah kamu berada (disini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (disini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun.
Maka Letto mencari dirinya di Gua Kahfi. Menyelami firman-firman Al-Kahfi. Menjadi Ashabul-Kahfi sebagaimana Kiai Kanjeng bapak-bapak mereka. Tuhan bercanda tak akan kasih tahu berapa jumlah persisnya Ashabul-Kahfi. Tapi sedikit menginformasikan bahwa satu malam itu bisa terasa sama dengan 309 tahun, atau sebaliknya. Kekekalan dan keabadian adalah pesawat Arasy ‘Adhim yang Letto berjuang membeli tiketnya.
Maka falyataLetto. Wahai, Letto, berlakulah lemah lembut. Falyatalaththof.
Kadipiro 14 April 2014.