Evaluasi Medan Perjuangan
Pada Kenduri Cinta edisi Desember 2016 tanggal 9, seorang penanya langsung menghunuskan kalimat-kalimatnya yang berapi-api, terkesan menggugat keberadaan Maiyah yang tidak nampak hadir di acara Aksi Bela Islam 1, 2, dan 3. Dengan suara yang seakan tercekik dan sedikit bergetar, si Penanya menyesalkan sikap Maiyah (mungkin ditujukan ke Cak Nun) yang tidak nampak terlibat pada aksi aksi tersebut.
Saya pribadi tidak dapat langsung menyatakan sependapat atau tidak sependapat dengan pernyataan tersebut. Berbeda dengan ketika disampaikan usulan diadakannya semacam musyawarah darurat ataupun semacam Majelis Darurat Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh para tetua rakyat, pinisepuh bangsa, dan para pembina masyarakat untuk duduk bersama, dalam rangka fokus membahas persoalan yang dihadapi ummat dan Bangsa Indonesia saat ini dan masa depan.
Kalau fokus perjuangan hanya tertuju pada kasus yang dipicu oleh pernyataan BTP, sepertinya tidaklah cukup untuk menjadi solusi menegakkan keadilan yang sebenarnya menjadi akar permasalahan rapuhnya kedaulatan Bangsa Indonesia yang jauh lebih besar dan memerlukan daya juang yang lebih ekstra. Permasalahan yang sedang dan akan dihadapi Bangsa Indonesia terkait invasi ekonomi dan kesenjangan sosial, jangan sampai terlupakan oleh fokus kita terhadap satu-dua kasus yang bersifat by accident. Maksud saya, jangan sampai kita hanya terfokus membidikkan anak panah ke arah seorang musuh yang terperosok, sementara kita melupakan sepasukan musuh-musuh yang sedang mengepung, mengendap-endap dan siap-siap menerkam kita dari belakang.
Taruhlah kemudian BTP divonis bersalah pada kasus penistaan agama, apakah lantas itu dapat benar-benar menjadi puncak perjuangan Ummat Islam dalam usaha menegakkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia? Jika kemudian perjuangan Ummat Islam selesai sampai di situ saja, jelas motif perjuangan itu perlu dievaluasi ulang. Sedangkan di luar kasus itu, intimidasi dan usaha-usaha provokasi untuk memecah belah Ummat Islam semakin masif dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan umat Islam hadir sebagai Ummatan Wahidah. Maka perjuangan ummat Islam yang dilahirkan sebagai Bangsa Indonesia dalam usaha menegakkan keadilan dan kedaulatan-nya sebagai Bangsa Indonesia masih harus terus berlanjut.
Peristiwa Reformasi 1998 tidak dapat terlepas dari proses panjang perjuangan Maiyah dalam menegakkan keadilan dan kedaulatan Bangsa Indonesia. Bercermin dari peristiwa 1998, penggulingan kekuasaan pada saat kedaulatan rakyat belum terwujud justru memunculkan penguasa-penguasa baru yang semakin memperburuk keadaan kedaulatan Bangsa Indonesia. Dari pengalaman itu, santer isu-isu pelengseran Pemerintahan Jokowi yang sangat mungkin hanya akan mengulang-ulang sejarah. Selama kedaulatan rakyat yang menjadi representasi kedaulatan bangsa belum terwujud, pelengseran sebuah rezim kekuasaan boleh jadi sia-sia jika kondisi masyarakat justru masih tergantung pada penguasa. Alih-alih terjadi perbaikan, sebaliknya dapat memperburuk kehidupan berbangsa dan bernegara.
Perjuangan menegakkan keadilan dan memupuk kedaulatan ini semestinya menjadi usaha bersama setiap komponen bangsa secara kontinu dan komprehensif. Masing-masing komponen bangsa memiliki medan perjuangan yang ditentukan oleh peran personal di tengah kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Analogi dalam memelihara bangunan bangsa, perlu ketepatan untuk segera menentukan apa saja kerusakan-kerusakan yang sedang dialami oleh rumah bernama NKRI.
Apakah hanya warna temboknya saja yang kusam sehingga perlu dicat ulang? Ataukah ada atap-atap hukumnya yang bocor sehingga perlu segera ditambal? Bagaimana dengan tepat penataan kelistrikan, keran-keran saluran air, jendela-pintu-ruang dan perabot-perabot kenegaraan dalam distribusi lalu-lintas ekonomi-nya? Tegakkah pilar rakyat, negarawan, cendekiawan, budayawan, tentara, ulama dan pemuka-pemuka agama dalam mendirikan kedaulatan bangsa, ataukah ada di antara pilar-pilar itu yang miring karena kepentingan-kepentingan sehingga perlu ditegakkan kembali? Atau, jangan-jangan pondasi kenegaraannya sudah rapuh sehingga perlu dikembalikan ke pondasi semula, yaitu Pancasila yang sejati dan UUD 1945 yang asli.
Kesadaran perlunya evaluasi ulang terhadap kondisi bangsa dan negara akhir-akhir ini semakin bertambah dan penting untuk dapat menentukan medan perjuangan yang tepat. Akan percuma jika kita berusaha menegakkan tiang keadilan dengan cara hanya mengecat tembok-tembok kebhinnekaan. Akan sangat berbahaya jika kita memaksa menjebol pondasi hanya karena kepentingan saluran alir ekonomi yang menguntungkan golongannya sendiri. Pagar-pagar miring atau mungkin sudah roboh perlu segera diperiksa ulang supaya kemerdekaan bangsa ini benar-benar tetap terjaga. Satu tahap evaluasi kenegaraan bangsa Indonesia yang komprehensif, dapat menjadi pijakkan bagi langkah Bangsa Indonesia selanjutnya untuk teguhkan kembali kedaulatan-nya.