Empat Unsur Soliditas Maiyahan Untuk Indonesia
Sudah hampir pukul 01.00 dini hari. Kepadatan tak berkurang sedikit. Jamaah bahkan tampak makin solid. Suasana panggung contohnya. Di kanan kiri dan belakangnya berdiri padat para jamaah yang hampir semuanya wajah-wajah anak muda. Perhatiannya terfokus. Menyimak kata demi kata, bagian demi bagian, dari keseluruhan apa yang berlangsung.
Kegembiraan telah pula dihadirkan melalui kolaborasi ibu-ibu dengan KiaiKanjeng yang dibangun secara spontan. Nomor Padhangmbulan dan Tombo Ati mereka tembangkan diiringi dan ditemani vokalis KiaiKanjeng. Penampilan baik lewat kerjasama spontan ini bagi Cak Nun menggambarkan masih adanya naluri bebrayan yang hatinya saling sambung. Almutahabbina fillah. Pun lagu Ruang Rindu Letto menambah varian dan keluasan musikal kultural malam ini. Kegembiraan meriah berpuncak pada penampilan One More Night Maroon 5 oleh Donni dan Permainan Cublak-Cublak Suweng dan Jamuran oleh Mas Jijid serta tentu saja Beban Kasih Asmara sebagaimana biasa.
“Pemerintah dan rakyat, Pak Lurah dan warganya, harus jejodohan. Seperti kolaborasi tadi. Seakan-akan sudah latihan. Setiap orang harus ngreasakke atau merasakan jodoh dan jejodohannya masing-masing dalam berbagai urusan…”, tutur Cak Nun memberikan apresiasi atas kolaborasi ibu-ibu. Sebelumnya, Cak Nun sempat ceritakan sedikit arti Ngaji Bareng. Ia bukan sekadar istilah. Ia adalah formula dan cara agar yang di atas panggung ini tidak merasa lebih pandai atau pinter dibanding yang duduk di depannya.
Yang hadir malam ini tak hanya masyarakat Condongcatur, jamaah Maiyah dari berbagai tempat, tetapi juga ada pasukan tim SAR. “Mereka pernah saya minta melindungi sekelompok umat Islam yang mendapat ancaman, dan alhamdulillah berhasil. Jadi, mereka bukan hanya ‘mengamankan alam’ melainkan juga ‘mengamankan sosial’. Dan hanya tim SAR DIY yang punya Dewan Syuro, istilah yang lazim ada di struktur organisasi keagamaan seperti NU…,” kata Cak Nun yang tak lain adalah ketua Dewan Syuro SAR DIY itu sendiri. Mereka mengangkat tangan, saat Cak Nun memperkenalkannya kepada segenap hadirin.
Di ruang serbaguna yang tak tampak dari belakang panggung tentu terbentuk formasi jamaah yang tersendiri tetapi dalam konsentrasi yang sama. Pun yang duduk di kursi di sebelah kiri panggung sekitar lima meter. Juga yang berdiri di sekitar pagar. Para pedagang makanan di seberang jalan kiranya juga bisa menikmati. Di dua tempat di jalan layar-layar dipasang untuk membantu jamaah yang tak tertampung. Semua membentuk kepadatan, soliditas, dan keintiman unik Maiyah. Belum lagi bila diselami suasana dan getaran di hati masing-masing. Sebagian keadaan hati mereka muncul terekspresikan lewat tanya jawab. Soliditas itu tak hanya tersusun oleh fisik, hati, dan pikiran tetapi juga oleh waktu yang mereka arungi. Enam jam tak bergeming. Untuk Indonesia yang Allah menakdirkan mereka untuk mengkhalifahinya dengan bekal Islam. (hm/adn)