Dulu Studium General, Sekarang Ngaji Bareng
Ribuan mahasiswa baru Universitas Negeri Malang (UM) malam ini mendapatkan kuliah umum yang oleh rektor diwajibkan untuk mereka ikuti. Kuliah umum ini dulu di dunia kampus dikenal dengan Studium General, tetapi kini bernama (me)Ngaji Bareng. Sebabnya, yang menyampaikan kuliah umum ini adalah Cak Nun dan KiaiKanjeng.
Gedung Graha Cakrawala UM tempat berlangsungnya acara ini padat dan gempita. Khususnya ketika Cak Nun, KiaiKanjeng, bersama Rektor yang telah mereka nantikan melangkahkan kaki ke panggung. Baik lantai di depan panggung, balkon lantai 1 dan 2, semua penuh oleh peserta. Uniknya banyak para mahasiswa baru ini tak mengenakan jas almamater, bahkan tak sedikit di antara mereka mengenakan peci, sarung, atau baju koko. Ada pencarian dan konvergensi antara “rasa” pendidikan modern-Barat dengan pendidikan dalam formulasi pengajian. Acara tadi dibuka dengan Shalawatan dan pembacaan al-Quran. Mengawali kuliah umum ini Cak Nun mengajak semua peserta berdiri menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan Syukur.
Bukan untuk kali ini saja Cak Nun dan KiaiKanjeng mendapatkan permohonan untuk mengisi acara resmi kampus seperti kuliah umum dan wisuda. Sudah sering permohonan sejenis diterima termasuk seperti malam ini di UM. Penting dicatat bahwa kuliah umum seperti ini ditemani seperangkat alat musik gamelan, sebuah pemandangan yang kurang lazim tetapi menggambarkan out of box thinking dari rektor untuk menginisiasi format baru ini. Bahkan dalam sambutannya, Pak Rektor akan menyupayakan supaya acara seperti ini secara reguler digelar di UM.
Dihadirkannya Cak Nun dan KiaiKanjeng yang “ideologi” hidupnya adalah melingkar dan melingkari sesuatu, mencari dasar, membangun keutuhan, mengolah mikro-makro dan makro-mikro, serta mendekosntruksi untuk mendapatkan konstruksi baru, terasa sangat klop dengan kebutuhan membekali mahasiswa baru yang akan memulai kehidupan intelektual di kampus. Di awal, Cak Nun mengundang beberapa mahasiswa baru untuk digali cari berpikirnya, misalnya ditanyakan kepada mereka apa beda antara sekolah (seperti ketika mereka masih SMA) dan kuliah (yang baru mulai mereka tapaki ini).
Pertanyaan ini mengantarkan pada pemetikan pemahaman dasar mengenai jenjang dan jenis pendidikan sebagaimana ada dalam khasanah Islam, sekalipun belum benar-benar menyifati praktik pendidikan Islam saat ini. Cak Fuad diminta mengenalkan pada adik-adik mahasiswa baru ini konsep dasar itu: dari tadris (madrasah) hingga kulliyah, dari jaami‘ah, kulliyah, hingga qismun. Cak Nun sendiri menegaskan kuliah yang bermula dari bahasa Arab kulliyah yang berarti ‘setiap’, dan itu juga berarti ‘semua’. Setiap bertitik berat pada detail, sedang semua adalah menyeluruh alias komprehensif. Diajak sejenak mereka meraba, kira kuliah di kampus itu menyeluruh atau komprehensif atau tidak.
Menariknya, kuliah umum ini tak hanya diikuti oleh para mahasiswa baru tetapi terbuka untuk umum. Karena kapasitas yang ada batasnya, para jamaah atau hadirin yang tak tertampung disediakan tempat di area terbuka di luar gedung yang dilengkapi layar untuk mereka bisa mengikuti. Dan jamaah di luar sangat membludak. Para jajaran rektor dan dosen juga ikut menyimak Ngaji Bareng ini. Klop atau konvergensi lain yang dapat disaksikan adalah bertemunya para remaja generasi milenial ini dengan Cak Nun. Hal yang dalam banyak Maiyahan belakangan ini menjadi fenomena tersendiri yaitu banyaknya generasi muda yang datang menjadi audiens mayoritas atau tersendiri di dalam Maiyahan. Para generasi muda ini menemukan sesuatu pada Cak Nun, pada keindahan KiaiKanjeng, dan ilmu hidup Maiyah yang dituturkan Cak Nun. (hm/adn)