CakNun.com
Catatan Mocopat Syafaat 17 Mei 2016

Dua Puluh Empat Jam Liya’buduun

Helmi Mustofa
Waktu baca ± 10 menit

Tak terasa hari-hari di bulan Mei berjalan sangat cepat. Pergantian hari sudah membawa waktu pada tanggal 17. Ada apa? Ya, apalagi jika bukan Hari Mocopat Syafaat. Hari yang oleh jamaah Maiyah di seputaran Yogyakarta dan kota-kota lainnya di sekitarnya selalu dirindukan. Dan sebagaimana terlihat, malam ini dari berbagai penjuru arah, mereka sudah berdatangan dan bersiap mengikuti kebersamaan yang senantiasa memberikan asupan bagi kebutuhan batin mereka. Tak hanya anak-anak muda, yang tua-tua bahkan juga anak-anak telah menginjakkan kakinya di pelataran TKIT Alhamdulillah ini.

Memasuki pukul 20.30, dengan duduk di antara jamaah, Mas Ramli sudah memegang al-Quran dan bersiap melantunkan ayat-ayat al-Quran, nderes firman-firman Allah, untuk memberikan atmosfer yang baik di awal Mocopat Syafaat. Mas Ramli sendiri adalah salah satu jamaah yang sudah bertahun-tahun aktif bermaiyah, khususnya di lingkup Mocopat Syafaat. Ia putra asli Lombok dan hingga kini memilih hidup di Yogyakarta bersama istri dan seorang anaknya. Selepas kuliah, Ia tak mau meninggalkan Yogyakarta, karena tak ingin berpisah dengan Mocopat Syafaat.

Sulis di Mocopat Syafaat.
Foto: Adin.

Allah memanjakan para jamaah Maiyah dengan pelbagai macam hidangan dan sajian. Baru di awal atau permulaan, usai Mas Ramli nderes al-Quran, teman-teman kelompok musik “Biasa Saja” dari Semarang dan rutin hadir di Gambang Syafaat menghadirkan diri berada di atas panggung lengkap dengan alat-alat musiknya dan segera mengisi ruang-ruang hati para jamaah dengan tembang-tembang berjenis pop balada tetapi dengan muatan-muatan mengenai kesadaran hidup.

Sesudah beberapa lagu dari Musik Biasa Saja, bersama tiga Redaktur Maiyah, Cak Nun naik ke panggung. Seperti biasa, tatap mata Beliau kepada sangat dekat, akrab, dan penuh kasih sayang. Sapaan dan doa meluncur dari bibir Beliau. Mendoakan agar jamaah selalu mendapatkan hidayah dan solusi dari Allah dalam hidup sehari-hari mereka. Kemudian dengan ringkas dan hemat waktu disampaikan oleh Beliau apa-apa yang pada beberapa sesi ke depan akan dilalui dalam Mocopat Syafaat malam ini. Yang pertama adalah laporan perkembangan simpul-simpul Maiyah oleh Redaktur Maiyah.

Mas Harianto mengambil peran utama dalam hal ini, karena memang Ia juga salah satu Isim Maiyah yang bertugas menemani simpul-simpul Maiyah. Ia sampaikan kepada para jamaah, hingga saat ini terdapat 31 simpul Maiyah, termasuk yang ada di Korea yang bernama Tong Il Qoryah (Kampung Kebersamaan). Hal lain yang diceritakan Mas Harianto adalah fenomena munculnya lingkar Maiyah. Berbeda dengan simpul Maiyah yang lebih padat sebagai satu koordinasi, lingkar Maiyah ini lebih cair. Yang tergabung dalam Lingkar ini adalah mereka yang berdomisili di kota-kota atau tempat-tempat berdekatan satu sama lain, serta ada ketersambungan meskipun masih belum padat, misalnya dengan sementara ini sering ngumpul bersama. Salah satu lingkar Maiyah yang baru lahir adalah Lingkar Daulat Maiyah Tasikmalaya. Untuk sejumlah keperluan dan persaudaraan, mereka telah juga disambungkan dengan simpul terdekat yaitu Jamparing Asih Bandung. Mas Harianto mengatakan sesungguhnya lingkar-lingkar seperti ini sangat banyak jumlahnya. Sedemikian banyaknya, ia mengurungkan niat untuk menghitung lingkar-lingkar itu, saking banyaknya.

Pak Is bersama Cucunya
Foto: Adin.

Sesudah ihwal perkembangan simpul-simpul, redaktur lain memperkenalkan tiga konsep menyangkut informasi: ibu informasi, keluarga informasi, dan masyarakat informasi. Tiga konsep yang kemarin diunggah dan dipaparkan dalam tajuk www.caknun.com. Satu bangun konsep yang relevan dengan apa-apa yang telah disampaikan Mas Harianto mengenai simpul dan lingkar Maiyah. Harapannya, seluruh jamaah Maiyah, simpul-simpul Maiyah, dan lingkar-lingkar Maiyah berproses, bertransformasi, dan bergerak menjadi satu keluarga informasi. Keluarga informasi itu sendiri memiliki ciri, karakter, dan budaya tersendiri.

Kemerdekaan Sulis di Mocopat Syafaat

Sebagaimana telah disampaikan Cak Nun di awal, malam ini Mocopat Syafaat kedatangan tamu yaitu Sulis. Pada tahun 1999, bersama Haddad Alwi, Sulis dikenal masyarakat melalui lantunan shalawatnya. Ketika itu ia masih kanak-kanak. Ia datang ke Mocopat dengan ditemani Ustadz Haydar Yahya dan Habib Alaydrus. Dua orang ini adalah sahabat karib Cak Nun. Beberapa kali pernah hadir di Mocopat Syafaat. Pada masa reformasi 1998, Ustadz Haydar inilah yang ke mana-mana di Jakarta menemani Cak Nun dalam proses-proses politik yang sangat krusial dan genting saat itu.

Mas Jijid, Doni dan dua pemuda Papua.
Foto: Adin.

Sulis yang sudah tidak kanak-kanak lagi dan telah berkeluarga sangat gembira bisa hadir di pertemuan yang tak pernah dijumpai sebelumnya. Sepenuhnya Cak Nun memberikan kebebasan kepada dia untuk berkolaborasi dengan KiaiKanjeng. Sejak di dalam rumah menunggu dimulainya Mocopat Syafaat, Sulis sudah rembug-rembug dengan Mas Islam, Mas Imam, Mas Donni dan beberapa personel KiaiKanjeng kira-kira akan membawakan lagu-lagu apa.

Baru kali pertama Ia berhadapan dan berada di tengah-tengah audiens seperti jamaah Maiyah ini. Audiens yang ternyata kompatibel dengan keinginan hatinya yang selama ini terpendam sebagai penyanyi. Di hadapan jamaah Maiyah, ia tak kuasa mengungkapkan perasaannya, “Baru kali ini, batin saya sangat puas. Selama ini saya hanya melantunkan suara sebagai penyanyi, tetapi malam ini saya bisa mengekspresikan apa-apa saja yang saya ingin, lagu-lagu apa saja….”

Dan KiaiKanjeng mengakomodir kebutuhan itu. Jamaah pun memberikan apresiasi yang tulus dan indah, dengan apresiasi dan perhatian yang utuh dari seluruh jamaah. Semua jamaah memperhatikan. Tak ada yang asik dengan dunia atau dirinya sendiri, sebagaimana selama ini sudah terkondisikan oleh ilmu-ilmu Cak Nun yang membedah  dan mendekonstruksi budaya hubungan antara orang yang tampil dan yang menonton. Di Maiyah tak ada yang menonton dan ditonton. Yang ada adalah kebersamaan membangun keindahan, juga kekhusyukan kepada Allah.

Begitulah, Sulis dengan sangat ringan bercengkerama dan bercanda dengan Mas Imam dan Mas Donni. Ia pun membawakan beberapa nomor lagu: Ya Thaybah yang dulu dilantunkannya dalam album Cinta Rasul; habis itu nyanyi campursari  Sewu Kuto bersama Mas Imam dan Mas Donni; dilanjutkan dengan bangga ia mempersembahkan lagu yang dibawakan Ibu Novia Kolopaking yaitu Asmara; lompat kemudian ke lagu Barat Leaving on the Jet Plane-nya Jhon Denver yang kemudian di-cover oleh Chantal K. Ia benar-benar dberi ruang oleh KiaiKanjeng. Itulah salah satu cara dan bahasa Cak Nun dan KiaiKanjeng menghormati tamu. Di situ pula Sulis bahagia mengekspresikan diri. Ia menemukan kebahagiaan tersendiri. “Matursuwun matursuwun, Cak,” ucapnya kepada Cak Nun.

Seperti dapat dirasakan siapapun yang hadir di sini, Mocopat Syafaat adalah ramuan yang terdiri atas kemurnian, kemerdekaan, dan keleluasaan. Tak ada kekakuan atau keketatan yang membelenggu. Tak cuma pada jamaah, KiaiKanjeng pun sama. Bisa dilihat dengan gamblang dan pasti tersorot kamera, malam ini Pak Is berada di panggung ditemani cucunya. Si cucu tertidur di pangkuannya sembari sang kakek meniup serulingnya, mengantarkan keindahan kebersamaan Maiyah.

Sajojo
Foto: Adin.

Sebagai proses transisi dari Sulis-KiaiKanjeng menuju segmen selanjutnya, Cak Nun mengajak semua jamaah bershalawat dengan khusyuk. Bersama narasumber lain, Sulis sendiri juga masih diajak, bahkan diminta ikut pegang mic dan turut ikut bershalawat. Di panggung, selain Ustadz Haydar dan Sulis, telah pula naik ke sana yaitu Mas Sabrang yang kali ini mengajak beberapa temannya.

Dua Pemuda Papua Muncul Dari Jamaah

Tidak bermaksud hiperbolis, tetapi memang keindahan kebersamaan di Mocopat Syafaat tak bisa dititipkan pada kata-kata. Harus dirasakan langsung. Karena esensinya adalah kesimultanan dari berbagai keindahan. Keindahan musik, berpadu dengan keindahan ketakterdugaan, keindahan hati ikhlas dan sikap terbuka, dan unsur-unsur keindahan lainnya. Usai shalawatan, Cak Nun mempersilakan KiaiKanjeng menghadirkan One More Night melalui bibir dan gerak Doni. Sudah sering dibawakan, tapi tak pernah ada kata bosan. Boleh jadi karena penghadirannya malam ini tidak sama dengan sebelum-sebelumnya. Yang hari ini adalah ketulusan hari ini dan tentunya kontekstual untuk keperluan dan suasana hari ini. Seakan tak ada yang bernama pengulangan. Pada nomor ini Donni tak ubahnya leader yang mendistribusikan tugas kepada personel-personel lainnya.

Di tengah eksposisi pada beberapa alat musik, di mana Mas Jijid diminta menyanyikan lagu cublak-cublek suweng, tiba-tiba setelah itu ia beralih ke lagu Papua Yamko Rambe Yambo, sambil telunjuk tangannya menunjuk ke tengah jamaah. Semua mata mencari-cari siapa gerangan yang dituju oleh telunjuk itu. Rupanya ada pemuda Papua yang datang di Mocopat Syafaat. Mas Jijid dengan jeli melihat di antara padatnya kumpulan orang yang berhimpun di situ. Ia ingin menghormati teman Papua itu. Kontan, Cak Nun meminta dua orang Papua itu maju ke panggung. Tidak terduga. Satu bentuk persaudaraan itu segera menghias di panggung. Namanya pemuda Papua itu adalah Haris dan Lazarus.

Dua orang Papua yang masih remaja itu berjalan menuju ke panggung, dan langsung ikut nyanyi. Sudah pasti mereka dipersilakan memperkenalkan diri kepada jamaah. Rupanya mereka diajak temannya yang menceritakan “ada acara seperti ini lho”. Kalau mau tau, pokoknya datang saja. Mereka datang, dan merasakan “aroma” yang lain daripada yang lain. Mereka senang dengan suasana kebersamaan di Mocopat Syafaat, dan berharap agar kebersamaan ini bisa terwujud terus. Bagi Cak Nun, tidak sempurna kalau mereka hanya menyanyi satu kali dan tidak bernyanyi lagi. Lagu Sajojo pun dipilih dan dinyanyikan diiringi KiaiKanjeng dan dinyanyikan oleh mereka berdua. Di salah satu bagian saat menyanyikan lagu ini, KiaiKanjeng mengimprovisasi dan mengilustrasinya dengan suara kendang dan ketipung dangdut, sehingga membuat mereka agak bengong dan terdiam tetapi sembari tetap menikmati. Semacam ekspresi persaudaraan dua latar belakang budaya yang berbeda.

Sabrang (Noe Letto) Mocopat Syafaat
Foto: Adin.

Munculnya tamu tak terduga adalah rahmat Allah yang harus disyukuri. Rencana yang sudah disusun bisa untuk beberapa waktu disisihkan demi memilih rencana Allah yang hadir melalui rahmat itu. Yang dihadirkan Allah secara langsung lebih baik dari yang direncanakan, karena di dalamnya pun ilmu banyak diselipkan. Cak Nun berpesan, “Jangan pernah mengalami satu menit pun tanpa mengambil ilmu yang akan membuat Anda berkembang dan mendapatkan manfaat. Inilah rahmat Allah. Tak terduga sebelumnya.”

Sampai pukul 01.00 lebih, bergulir terus zat-zat kimia kebahagiaan di dalam perjumpaan malam ini. Ada pola-pola dan keteraturan yang memang terasa di dalam Maiyah. Keteraturan tanpa urutan.Tertib tanpa disuruh tertib. Berbuat baik tanpa disuruh berbuat baik. Menurut Cak Nun, itulah sebenarnya kepemimpinan. Ruangan terbuka yang padat oleh jamaah ini seperti tak berkurang volume maupun densitasnya. Kini Mas Sabrang memperkenalkan teman-teman yang ditemaninya itu. Salah satunya adalah gitaris grup band Jikustik: Dadi.

Sebenarnya Dadi hanya ingin mendengarkan dan mengikuti acara, menyimak uraian-uraian Cak Nun, tetapi malah oleh Cak Nun diajak naik untuk berinteraksi dengan jamaah. Ia tak bisa mengelak dan kemudian mengungkapkan, “Ini adalah pengalaman menggetarkan. Ini malam pertama saya hadir di Maiyah, dan saya berharap seterusnya bisa datang. Sebelumnya saya sering mengikuti via youtube. Dan selalu saya bertanya-tanya, kok bisa Cak Nun seperti itu ya.”

Perkenalan hendaknya jangan mengandalkan persentuhan fisik saja, karena banyak keterbatasannya. Masih terentang jarak. Karena itulah musik dihadirkan untuk menggapai rentang itu. Juga sastra. Dengan musik itu, cinta bisa dengan kontan dapat dirasakan. Demikianlah ujar Cak Nun merespons beberapa tamu. Dan Mas Dadi pun mempersembahkan satu nomor berjudul: Puisi.

Seturut dengan penjelasan itu, Cak Nun sedikit menyinggung mengenai surga yang jumlahnya ada empat. Dalam bahasa Teknologi Informasi, gambaran software tertinggi di sana adalah bidadari. Yakni dekskripsi tentang tingkat presisi atau ketepatan tepung. Di surga, keinginan para ahli surge dipenuhi dengan tingkat akurasi dan presisi yang sangat tinggi. “Karena itu belajarlah presisi kelembutan….,” pesan Cak Nun.

20160517-ms-06
Foto: Adin.

Seperti pada bulan-bulan sebelumnya, jamaah yang hadir sangat banyak. Jalan dari ujung selatan hingga utara tak menyisakan ruang kosong. Sebagian menyimak dari layar putih yang dipasang di atas jalan. Sebuah kesetiaan, ketahanan, dan keistiqamahan mereka peragakan secara menakjubkan. Dingin atau sumuk, tak jadi soal bagi mereka. Sesak atau tidak tak masalah. Berdiri atau duduk no problem. Mereka berfokus pada nilai-nilai yang tinggi.

Tentang Tujuan Diciptanya Jin dan Manusia

Sementara itu, Kiai Muzammil tengah mendapatkan giliran untuk berbicara. Satu ayat dibabar pemahamannya. Wa ma kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun. “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah.” Sayang arti ibadah telah disempitkan. Pikir Pak Muzammil. Ayat itu jelas menginformasikan bahwa dua puluh empat jam tidak boleh ada kegiatan manusia selain beribadah. Sayangnya ‘ibadah’ disangka hanya ibadah mahdhoh. Ibadah mahdhoh sendiri jika ditotal waktunya, misal sholat, tak akan sampai memenuhi satu jam. Lalu sisa waktu lainnya? Maka bagi Kiai Muzammil, lakukan apa-apa saja dengan menemukan hubungannya dengan Allah sehingga bernilai ibadah.

Kata Kiai Muzammil lebih lanjut, ayat-ayat al-Quran yang berhubungan ibadah jika ditotal waktu pelaksanaannya tidak sampai dua puluh empat jam. Di luar jam-jam itu, apa tidak melakukan sesuatu, karena tak ada dalilnya? Kiai Muzammil menjelaskan bahwa pada ibadah yang sudah jelas aturan, contoh, dan teknis pelaksanaannya pada Nabi Muhammad Saw, kita harus melakukannya sama persis. Kalau menambah-nambahi, maka itulah bid’ah. Kemudian jika ada kebaikan yang tidak ada contohnya langsung dari Kanjeng Nabi, ya tetap dilakukan sepanjang kita mampu menemukan hubungannya dengan Allah. Sebab kalau tidak, kita akan terperosok pada kondisi tidak ‘liya’budun.’

Saat bertemu dengan para penggiat Teater Flamboyan dalam rangkaian Rihlah Cammanalllah, bertempat di Rumah Seni Husni Jamaluddin, Kiai Muzammil memaparkan hal yang sama, yakni tafsir atas ayat tujuan diciptakannya jin dan manusia. Semangatnya, Ia ingin mengapresiasi teman-teman Flamboyan dengan segala aktivitas seni dan teaternya, dan semua itu merupakan ibadah, sepanjang mampu menghubungkan nilainya pada pengabdian kepada Allah. Di Mocopat Syafaat ini, Cak Nun merespons dan melengkapi penjelasan Kiai Muzammil dengan mengembalikan pada pengertian dan landasan mengenai “ibadah makhdhoh” dan “ibadah muamalah” sebagaimana jauh sebelumnya sudah dijelaskan dan menjadi salah satu ilmu dasar Maiyah.

20160517-ms-07
Foto: Adin.

Dari pembahasan mengenai ibadah, Cak Nun belok sejenak menjelaskan ihwal “sakinah”. Biasanya doa dan harapan yang diucapkan kepada pasangan pengantin baru adalah: semoga menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warahmah. Pada pengertian Cak Nun, merujuk pada penjelasan Cak Fuad, sakinah bukanlah kondisi statis. Ia juga bukan pada posisi yang sama dengan mawaddah dan rahmah. Mawaddah adalah rasa ingin selalu bersatu dengan orang yang dicintai. Rahmah adalah atmosfer untuk selalu memiliki mawaddah tadi. Adapun sakinah adalah tujuan yang untuk mencapainya diperlukan mawaddah dan rahmah tersebut. Maka kata yang digunakan adalah ‘ila’ (menuju) dan bukan ‘fi’ (di dalam). Maka doa kepada pengantin mungkin bisa diubah menjadi: Dengan berbekal mawaddah dan rahmah, semoga kalian mencapai sakinah.

Pada segmen terakhir, Cak Nun membuka kesempatan kepada para jamaah untuk bertanya. Sejumlah jamaah berpartisipasi mengajukan pertanyaan yang beragam, mulai soal penciptaan Adam atau manusia, posisi setan, tentang dihina, ihwal organisme, hingga cerita tentang kelegaan dan rasa senang karena mimpi bertemu Cak Nun. Pertanyaan-pertanyaan itu diapresiasi dengan baik oleh Cak Nun. “Semua pertanyaannya bagus. Itulah fakta hidup. Tetapi beberapa pertanyaan tadi itu muncul karena kurang menggumpalnya kita dalam bertauhid kepada Allah sehingga bertanya seperti itu, seperti detail penciptaan Adam dari tanah liat tadi. Ada jarak yang membentang.” Intinya ada hal-hal atau wilayah dalam sejarah manusia yang sudah sangat sulit untuk mendapatkan bulat-bulat penjelasan dan informasi objektif detailnya, sehingga sikap yang diperlukan bukan sikap ilmiah melulu sebab tak tersedia bahan dan metodologi untuk itu. Yang mungkin dilakukan adalah tadabbur: ayat-ayat itu langsung diterima dengan iman dan dari situ lahir out put sosial yang baik.

Kemudian mengenai organisme dan organisasi, Cak Nun menguraikan bahwa organisasi itu sunnatullah. Bahasa sederhananya, jika jodoh ya berjodoh. Janganlah kita anti organisasi dan mendewakan organisme. Yang salah bukan organisme atau organisasi, melainkan pada niat dan tujuan kita. Sudah jelas orang mukmin digambarkan oleh Rasulullah sebagai saling menguatkan satu sama lain (yasyuddu ba’dhuhum ba’dhon). Organisasi dibutuhkan pada momentum di mana memang dibutuhkan organisasi yang pada tingkatnya yang solid dan seakan sudah otomatis ia menjadi organisme. Batasnya adalah jangan melanggar sunnatullah.

***

Selain Cak Nun, Kiai Muzammil dan Mas Sabrang turut merespons pertanyaan-pertanyaan yang terlontarkan tadi. Sebelumnya, lagu Cinta Bersabarlah Letto disuguhkan olehnya. Tidak ketinggalan pula puisi Pak Mustofa W Hasyim. Salah satu poin terakhir yang disampaikan Cak Nun adalah soal Tadabbur yang pada tiga bulan terakhir ini didalami oleh Maiyah. Tadabbur menjadi topik pembelajaran dan pendalaman Maiyah dan dirasakan urgensinya pada saat ini, karena ada beberapa kondisi yang mungkin mengitari: “Karena Anda dibikin merasa tidak paham Islam; atau karena Anda dibikin tidak otentik dalam berhubungan dengan Allah; atau karena di dalam jarak antara Anda dengan Allah selalu ada pihak yang menghalangi,” jelas Cak Nun.

20160517-ms-08
Foto: Adin.

Pukul tiga lebih, akhirnya Cak Nun mengajak seluruh jamaah untuk mengakhiri perjumpaan dan kebersamaan Mocopat Syafaat dengan doa khidmat kepada Allah Swt. Dan sebagaimana biasa, usai berdoa, para jamaah mengantri untuk berjabat tangan dengan Cak Nun, Mas Sabrang, Kiai Muzammil, serta narasumber lain. Mereka menjabat tangan Cak Nun untuk pamit tetapi sekaligus untuk mengekspresikan rasa terima kasih dan rasa cinta kepada sosok yang mereka panggil Mbah Nun. Cara mereka mencium tangan dan memeluk sangat menggambarkan satu di antara kekayaan dan kedalaman ragam cinta yang berlangsung di dalam Maiyah. Sebelum subuh, para jamaah yang telah duduk berjam-jam tanpa rasa capek dan pegel itu kembali ke rumah masing-masing, dan selalu rindu untuk segera bertemu kembali pada bulan depan.

Lainnya

Hilwin Nisa
Hilwin Nisa

Tidak

Tidak
Sunda Mengasuh___

Sunda Mengasuh___

Sudah sejak pukul 18.00 penggiat Jamparing Asih berkumpul di gedung RRI.

Jamparing Asih
Jamparing Asih