Diridloi oleh Pasar
Ta’qid“Tetapi saya terus berusaha agar berada di titik tengah antara ibadah dengan berkah. Jangan sampai miring apalagi terlalu miring ke nafsu terhadap berkah”
Sama dengan Tarmihim, hati Sundusin pun terkesiap tatkala bertemu dan menatap wajah Markesot. Ia kaget sendiri karena tidak menyangka Markesot bisa menjadi setua itu. Sundusin membodoh-bodohkan dirinya sendiri yang selama ini diam-diam berpikir seolah-olah ada manusia yang merdeka dari sunnah proses penuaan. Nabi pun tidak. Rasul pun tidak. Entah Jin dan Malaikat. Kedua yang terakhir ini mungkin supra-biologis ekosistem kemakhlukannya.
Ketika Markesot pamitan untuk ke belakang dan melakukan shalat dluhur — yang bisa cepat bisa juga sangat lama — Sundusin berbisik kepada Tarmihim: “Hatinya terlalu mendalam”
“Fisiknya sangat kuat, tapi hatinya terlalu lembut”, Tarmihim merespons.
“Selama ini saya menyangka dia tidak pernah tua. Goblog benar pikiran saya”
“Tidak pernah sakit tubuhnya, tapi perasaannya selalu sakit”
“Semuanya dipikir, semuanya dirasakan, semuanya dimasukkan ke hati terlalu mendalam”
Tarmihim tersenyum. “Waktu kecil dia dipanggil Nukik. Sekarang saya baru sadar hidup Cak Sot memang menukik ke bawah…”
“Semua orang bekerja keras mendaki naik, dia menukik”, Sundusin ikut tersenyum.
“Tapi Cak Sot memang tidak pernah berjuang untuk meningkatkan diri. Dia tidak berkarier. Tidak mengejar pangkat, tidak menumpuk harta, tidak membangun eksistensi”
Ndusin tertawa, “Kamu petani Lombok ngomong eksistensi segala”
“Kita kan sama-sama jebolan Patangpuluhan. Semua kosakata yang berkaitan dengan sakit jiwanya manusia kita kenal”
“Apakah dulu kita pernah menyimpulkan bahwa itu sakit jiwa?”
“Paranoia. Merasa dikejar-kejar oleh macam-macam, sehingga manusia mengejar macam-macam itu. Kata Cak Sot dulu, akhirnya mereka tidak peduli bahwa mereka manusia, karena habis waktunya untuk bersaing membangun eksistensi, untuk tampil jadi ini itu, untuk menghimpun kekayaan…”
“Dan karena kita tidak ikut semua arus itu, maka terjerembab menjadi petani Lombok dan pedagang angkringan”
Keduanya tertawa.
“Kita tidak terjerembab. Kita memilih”
“Memilih jadi petani lombok?”
“Tidak. Bukan taninya, bukan lomboknya, juga bukan angkringannya. Kata Cak Sot dulu, audiens kita bukan publik, bukan masyarakat, bukan peta ketokohan dan kesuksesan di tengah dan di antara manusia. Audiens kita adalah Tuhan. Terserah kita melangkah ke mana, tinggal di mana dan mengerjakan apa, sejauh itu membuat kita selamat dan tidak dimarahi oleh audiens kita…”
Ndusin tertawa agak keras. “Bahasa jelasnya, kita pun menukik bersama Nukik…”
Tiba-tiba Markesot muncul. “Minta maaf selama kalian bersama saya dulu tidak pernah sedikit pun saya mampu menjadi contoh soal entrepreneurship…”
Tarmihim dan Sundusin tidak siap untuk menanggapi.
“Semua orang pandai di dunia berpendapat bahwa ilmu memerlukan jembatan ke pasar. Itu yang disebut entrepreneurship. Kewirausahaan. Bagaimana setiap orang, terutama anak-anak muda, belajar, melatih diri dan mengembangkan kemampuan kewirausahaan. Dan puncak usahanya adalah penguasaan pasar”
Sundusin mulai bisa menanggapi. “Saya jualan angkringan selalu sangat senang kalau orang datang ngangkring menikmati makanan dan minuman di angkringan kami. Tetapi ramainya orang datang ke angkringan saya adalah akibat dari kualitas makanan minuman yang saya siapkan serta nyamannya pelayanan yang saya selenggarakan. Itu akibat, bukan tujuan. Kan Cak Sot yang dulu mewanti-wanti jangan sampai kita salah menentukan titik berat niat atau tujuan apapun yang kita lakukan. Tujuan angkringan saya adalah memproduksi kualitas dan kenikmatan pelayanan. Itulah prinsip ibadah, yang menghasilkan berkah. Tetapi saya terus berusaha agar berada di titik tengah antara ibadah dengan berkah. Jangan sampai miring apalagi terlalu miring ke nafsu terhadap berkah”
Markesot tersenyum.
“Di masa tua ini saya selalu merasa bersalah kepada kalian dan semua teman-teman”, kata Markesot lagi, “karena sama sekali saya tidak pernah mendorong kalian untuk menjadi orang yang hidup sukses di dunia”
“Tapi saya sukses kok, Cak Sot”, Tarmihim menyahut, “Saya sukses menyayangi tanah, sukses menghormati tanaman, meskipun sering pusing kepala kalau sampai ke pasar”
“Berarti pasarnya yang gagal”, potong Sundusin.
“Pasar di dunia tidak pernah gagal”, Markesot menyahut, “hanya pengabdi pasar yang bisa sukses atau gagal. Pasarnya tidak pernah gagal. Kalau pasar sepi, manusianya yang gagal. Pasar di dunia adalah Tuhannya manusia. Semua manusia mengabdi kepada pasar. Bahkan Negara yang sebenarnya merupakan pagar yang melindungi warga negaranya dari liarnya kebebasan pasar, sekarang pagar Negara itu malah mengabdi kepada pasar dan membiarkan warga negaranya yang terdiri atas manusia-manusia itu jatuh bangun di pasar, sementara sebagian sangat kecil dari manusia yang menjadi malaikat-malaikat penguasa pasar. Demokrasi adalah ibadah mahdloh untuk mengabdi mengabdi kepada pasar dan diridloi oleh pasar.”