Dilarang Memahami Markesot
Sapron mengatakan kepada temannya bahwa pernyataan terbaik yang pernah diungkapkan oleh Markesot selama puluhan tahun ia bergaul dengannya adalah “Dilarang memahami Markesot”.
“Kok dilarang?”, temannya bertanya.
“Mungkin aslinya Cak Sot menganjurkan agar siapa saja tidak harus atau tidak perlu mencoba memaham-mahami omongan dia”
“Lha ya kok redaksinya berbunyi ‘dilarang’?”
“Supaya lebih mencolok perhatian. Kan orang zaman sekarang tidak bisa tersentuh oleh anjuran. Larangan saja banyak dilanggar kok”
“Apa haknya melarang-larang orang?”
“Kita ambil saja sisi positifnya: Cak Sot ingin melindungi semua orang agar jangan terjebak keruwetan pikiran gara-gara mencoba memahami penjelasan-penjelasannya”
“Kalau orang dilarang memahami, kenapa dia omong?”, temannya terus bertanya.
Sapron meladeni semampu-mampunya.
“Cak Sot pernah ngobrol sama saya. Kata dia omongan itu seperti tanaman. Masuknya kata, kalimat atau susunan makna dari mulut orang ke telinga dan otak atau roso kita itu bersifat seperti bermacam-macamnya biji tanaman”
“Ah, sok filosofis memang ya dia itu”, sela temannya.
“Kata Cak Sot orang hidup tidak bisa mengelak dari filsafat, meskipun tidak setiap orang perlu menjadi ahli filsafat. Narik becak saja harus ada landasan filsafatnya, yang tercermin pada pemahamannya kenapa dia narik becak, niatnya apa, manfaatnya apa. Filsafat itu kan akar ilmu. Kalau kita narik becak tanpa fisolofi hidup yang jelas, misalnya niat mensyukuri anugerah badan sehat atau mencari nikmatnya membanting tulang untuk menghidupi anak istri, kita jadi mudah lelah”
“Memang Cak Sot pernah mengalami narik becak?”
“Bukan di situ letak masalahnya. Tapi pada keputusan filosofis setiap orang ketika melakukan sesuatu. Terserah apa narik becak, menanam jagung, membengkeli motor, menjahit topi, membangun gedung, mendirikan pabrik, atau apapun, pangkal filosofinya itu yang akan ikut menentukan segala sesuatu yang akan terjadi pada dia, di luar takdir Tuhan”
“Lha maksudnya omongan itu sama dengan benih tanaman itu apa?”
“Kalau ada kata-kata atau kalimat-kalimat yang masuk ke otak kita, sifatnya berbeda-beda. Ada yang langsung bisa dinikmati. Ada yang seperti rumput, nunggu dua tiga hari baru tumbuh maknanya. Ada yang tiga empat bulan baru berbuah seperti jagung. Ada yang bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun, seperti pohon jati, baru orang yang dimasuki kata-kata itu menemukan maknanya”
“Ya, paham kalau cuma itu. Tapi siapa yang mengurusi tumbuh tidaknya, bersemai tidaknya, atau berbuah tidaknya kalimat-kalimat itu menjadi makna hidup?”
“Saya juga pernah menanyakan itu kepada Cak Sot. Kata dia yang menentukan ya akal pikiran orang itu sendiri. Kalau dia membiasakan otaknya bekerja, ya mungkin akan dapat makna. Tapi kalau dia malas memutar otaknya, apalagi sampai akal pikirannya membeku, ya kata dan kalimat yang masuk itu akan hanya menjadi sampah”
“Kan tidak mungkin otak membeku”
“Ya mungkin tidak sampai beku, tapi nganggur. Kata anak sekarang, tidak loading. Mesin berpikirnya karatan”
“Tapi buktinya banyak orang pikirannya biasa-biasa saja bisa sukses hidupnya. Banyak orang tidak pinter bisa kaya. Banyak orang tidak intelektual tapi berperilaku baik, sementara yang pandai-pandai malah sibuk dengan kesombongannya sebagai orang pandai”
“Itu bab berikutnya”
“Apakah makna itu penting? Apakah pemahaman terhadap kehidupan itu perlu? Buktinya pemimpin-pemimpin kita makin lama makin tidak dipersyarati oleh matangnya pemahaman terhadap kehidupan. Orang bikin Sekolahan dan Universitas, tapi di puncaknya mereka memilih pemimpin tertinggi dengan tidak mempedulikan hasil Sekolahan dan Universitas. Pemimpin tertinggi kita makin lama makin kurang berpendidikan, baik pendidikan sekolahan maupun pendidikan kehidupan yang di luar itu dan lebih luas dari ilmu persekolahan”
“Ternyata diam-diam kamu terpengaruh oleh omongan-omongan Markesot juga rupanya”
“Ndak dong. Tidak perlu seorang Markesot untuk menemukan kenyataan seperti itu. Kuli-kuli pasar saja tahu bahwa makin lama pemimpin-pemimpin itu makin tidak bermutu, makin tidak jelas ukuran untuk layak menjadi pemimpin”
“Cak Sot sangat banyak bicara tentang kepemimpinan. Tapi yang kita bicarakan sekarang kan justru dilarang memahami Markesot, terlebih-lebih lagi bab kepemimpinan”
“Kalau dilarang memahami ya mending tidak usah mendengarkan”
“Lho dengarkan saja, itu lebih menguntungkan”
“Ndak nalar kamu ini”
“Kita memang tidak perlu mendengarkan, apalagi memahami. Cukup mesin memori otak dan perasaan jiwamu saja yang mendengarkan, kita bisa tetap main gaple”
“Gimana itu…”
“Cak Sot pernah menasihati saya, ‘Kamu tidak perlu berpikir. Wakilkan kepada otakmu untuk berpikir, dan ucapkan di batinmu terima kasih kepada Tuhan yang telah selalu memperbantukan gelombang akal-Nya membantu otak kita untuk mengolah nilai-nilai”
“Aduh filsafat lagi”
“Maka puluhan tahun saya dengarkan terus apa saja yang nyerocos dari mulut Cak Sot. Dia pernah membisiki mungkin kalimat-kalimatnya bukan almari besi yang berisi emas berlian intan dan tumpukan uang. Mungkin ada di antara seribu kalimatnya, terdapat satu kata atau kalimat yang ternyata adalah kunci untuk membuka almari besi itu”
“Ya kalau ya. Kalau tidak?”
“Ya siapa tahu ya”
“Sangat spekulatif dong”
“Semua hal dalam hidup ini ya spekulasi, kecuali yang sudah terjadi. Padahal begitu terjadi, ia langsung menjadi masa silam. Yang kita hadapi setiap detik adalah sesuatu yang kita belum tahu, sehingga posisi kita selalu adalah spekulasi. Lha supaya spekulasi itu tidak membosankan dan membuat kita putus asa, kita wujudkan menjadi usaha terus-menerus, kerja keras dan doa kepada Tuhan”
“Doa ya kepada Tuhan, mosok kepada tukang patri”
“Lho jangan lupa ada lho sejumlah orang yang memperlakukan Cak Sot seperti Tuhan. Butuh warungnya laku datang ke Cak Sot, bukan berdoa kepada Tuhan”
“Ah, itu kan cuma minta urun doa, minta bantuan agar Cak Sot juga ikut mendoakan”
“Tapi nanti kalau warungnya tetap tidak laku Cak Sot yang disalahkan, karena mustahil dia berani menyalahkan Tuhan”
“Memang sih banyak orang datang ke Kiai atau Ulama, tapi muatan di dalam hatinya adalah ‘medukun’. Diam-diam memperlakukan Kiai itu sebagai dukun. Jadi konstruksi hubungannya berbeda dengan hubungan Kiai-Santri yang seharusnya. Kalau Kiai-Santri itu urusan pembelajaran hidup menuju dan dalam lingkup ridlo Tuhan. Kalau ‘medukun’ itu membawa hajat yang semestinya dibawa langsung ke Tuhan, tapi dibawa ke Kiai, karena menyimpulkan bahwa si Kiai itu orang dekatnya Tuhan”
“Jelas sekarang bahwa meskipun kamu tampaknya banyak membantah Cak Sot, tapi kamu diam-diam menjadi murid tekun-nya Markesot”
“Itu jelas fitnah. Saya tidak pernah paham kepada Markesot”
“Makanya tadi saya bilang ke kamu pernyataan ‘Dilarang Memahami Markesot’, supaya kamu merasa lebih aman. Untuk apa memahami Cak Sot. Dia cuma Ahli Dubur”.